• Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Skip to footer

Mosaic MennonitesMosaic Mennonites

Missional - Intercultural - Formational

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami
  • 繁體中文 (Cina)
  • English (Inggris)
  • Việt Nam (Vietnam)
  • Español (Spanyol)
  • Indonesia
  • Kreol ayisyen (Creole)

Articles

Hubungan yang Layak Diperjuangkan

May 18, 2023 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Ditulis untuk Anabaptist World – Tautan Artikel

Saya suka menonton film, dan salah satu yang menarik perhatian saya tahun ini adalah “Everything Everywhere All at Once” (Segalanya Dimana saja Sekaligus). Ketika saya membaca bahwa itu membahas tema filosofis tentang keberadaan kita, depresi, trauma generasi, dan identitas Asia-Amerika, saya tahu saya harus melihatnya.

Film ini menceritakan kisah tentang keluarga imigran Asia di Amerika Serikat yang berjuang untuk menemukan makna, cinta, koneksi, keamanan, harapan, dan iman sambil mengalahkan kekuatan jahat di multiverse. Itu terhubung dengan saya di banyak tingkatan – sebagai orang Asia, sebagai imigran, dan sebagai orang beriman.

Mungkin kesan pertama dari film ini  serasa berantakan, kacau dan rumit, tetapi pada intinya adalah cerita sederhana – sebuah kisah rekonsiliasi.

© A24 Films

Saya kagum dengan bagaimana film ini menangkap realitas kacau dari sebuah keluarga imigran. Terkadang semuanya tampak terjadi sekaligus, dan kita dipaksa untuk beradaptasi dengan cepat hanya untuk bertahan hidup.

Hidup di lebih dari satu budaya, seperti yang dilakukan para imigran, itu berantakan, menyakitkan, dan kacau. Mungkin juga tidak teratur dan membingungkan. Tapi kemudian Anda akan melihat sesuatu secara berbeda dari sudut pandang budaya lain, dan Anda akan menyadari bahwa sesuatu yang penting dalam budaya sendiri belum tentu penting dalam budaya orang lain.

Film ini mengingatkan saya pada peran seni bela diri dalam budaya yang berbeda. Setiap budaya, terutama di Asia, memiliki disiplin seni bela diri sendiri. Dan, bertentangan dengan apa yang media gambarkan sebagai aksi kekerasan, seni bela diri menawarkan transformasi konflik dengan cara damai.

“Seni bela diri sejati bukanlah tentang mematahkan tulang lawan atau memaksa menyerah secara memalukan. Hasil tersebut hanya mengarah pada konflik lebih lanjut. Itu tentang perdamaian dan antikekerasan dan hasil yang aman dan terhormat untuk semua, ”kata Steve Thomas, seorang pendeta Mennonite yang memegang sabuk hitam di Tae Kwon Do.

Itulah hasil dari seni bela diri yang digunakan oleh protagonis, Evelyn Wang, yang diperankan oleh aktris Malaysia Michele Yeoh, dalam Segalanya Di Mana Saja Sekaligus. Dia berjuang untuk membawa perdamaian, tanpa kekerasan dan rekonsiliasi. Dia melakukan ini dengan menggunakan kekuatannya untuk menghubungkan dan memahami kerinduan dan keinginan terdalam lawan dan kemudian memenuhinya, menyebabkan semua berhenti berkelahi dan berdamai.

Film ini mengingatkan saya bahwa kita sedang berperang melawan kekuatan gelap. Ada kekuatan gaib gelap dalam film yang mencuri cahaya, kegembiraan dan harapan dan menciptakan keputusasaan, mempengaruhi semua orang di sekitarnya — terutama satu orang yang ingin mengakhiri semua keberadaannya karena orang itu terluka. Orang yang terluka menyakiti orang.

Hal ini mengingatkan saya bahwa “perjuangan kita bukanlah melawan musuh darah dan daging, tetapi melawan penguasa, melawan penguasa, melawan kekuatan kosmik kegelapan saat ini, melawan kekuatan roh jahat di sorga” (Efesus 6:12 ). Satu-satunya cara untuk menang adalah mendamaikan orang melalui jalan kasih yang ditunjukkan Yesus Kristus kepada kita.

Semuanya Di Mana Saja Sekaligus menceritakan kisah rekonsiliasi antara orang tua dan putri mereka. Ini adalah rekonsiliasi antara budaya dan generasi. Kita memang perlu berjuang untuk hubungan kita, dan film ini menunjukkan caranya.

Semua adegan perkelahian antara ibu dan anak perempuan dan antagonis lainnya mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang rasa sakit dan trauma satu sama lain. Pada akhirnya ada pengakuan bahwa kita semua manusia, rusak dan membutuhkan penebusan.

Tema film rekonsiliasi mengingatkan saya pada Lukas 1:17, di mana seorang malaikat memberi tahu Zakharia bahwa putranya, Yohanes, akan “membalikkan hati orang tua kepada anak-anaknya, dan orang yang tidak taat kepada hikmat orang benar, untuk mempersiapkan suatu umat. dipersiapkan untuk Tuhan.”

Yohanes mempersiapkan jalan bagi Yesus, yang pelayanannya adalah rekonsiliasi. Sebagai Anabaptis, rekonsiliasi adalah inti dari pekerjaan kita.

Saya mengundang Anda untuk menonton Semuanya di Mana Saja Sekaligus dan menyelami narasi unik yang tidak muat dalam satu kotak. Masuki pikiran Evelyn Wang dan pahami perjuangannya untuk mendamaikan hubungannya dengan putri, ayah, suami, teman, dan lainnya.

Film ini memenangkan tujuh Academy Awards, termasuk Film Terbaik dan Aktris Terbaik. Michele Yeoh adalah wanita Asia pertama yang memenangkan Oscar untuk Aktris Terbaik. Dalam pidato penerimaannya, dia berkata, “Untuk semua anak laki-laki dan perempuan kecil yang mirip dengan saya malam ini, jangan pernah berhenti bermimpi. Sejarah sedang dibuat.”

Perjalanan menuju rekonsiliasi antara generasi dan budaya masih panjang, tetapi layak untuk diperjuangkan. Tuhan, menyertai  kita semua.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Satu Bahasa Beragam Budaya

April 13, 2023 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Perintisan jemaat adalah amanat agung dari Tuhan Yesus. Seperti tercatat  dalam Injil Matius, “Karena itu pergilah jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama bapa anak dan roh Kudus dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu dan ketahuilah aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir jaman. ( Matius 28:19-20)

Amanat ini berlaku Universal kepada semua suku bangsa semua bahasa dan budaya bukan hanya suku tertentu saja. Seperti tercatat dalam kitab Wahyu 7:9 “Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka.”

Seperti gereja Yerusalem yang mayoritas adalah orang Ibrani dan kemudian berkembang menjadi gereja di Anthiokia dimana bangsa Yunani dan bangsa bangsa lain ada di sana, Saya percaya gereja Multikultural adalah Penyempurnaan amanat Agung dari Tuhan Yesus. 

Saat ini saya mengembalakan gereja imigran Indonesia di Philadelphia. Kami menggunakan gedung di mana gedung ini dipakai oleh dua kongregasi lain, Gereja orang kulit putih dan hitam yang berbahasa Inggris dan juga gereja immigrant dari suku Karen di Myanmar (Burma). Setiap tahun kami mengadakan ibadah bersama sama, Yang biasanya diterjemahkan ke dalam tiga bahasa Inggris Burmese dan Indonesia. 

Bahkan Jemaat Indonesia yang saya layani, Meskipun sama sama datang dari Indonesia dan sama sama bisa berbahasa Indonesia Tetapi mereka datang dari budaya yang berbeda beda. Karena Indonesia adalah negara di mana banyak suku bangsa bahasa yang ada disana. Bahkan semboyan negara Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika yaitu berbeda beda tetapi tetap satu. 

Suku Batak dari Sumatra utara memiliki budaya yang berbeda dengan orang Chinese Indonesia dari Kalimantan Barat. Suku Sunda di Jawa Barat memiliki budaya yang berbeda dengan suku Toraja di Makassar. 

Bahkan semua suku bangsa yang tinggal di Jakarta memiliki perbedaan dengan yang tinggal di Surabaya. Dan masih banyak lagi perbedaan perbedaan yang lain.

Indonesia menganut satu bahasa pemersatu namun memiliki berbagai ragam budaya. Indonesia memiliki 1300 kelompok etnik dan 700 bahasa, Sehingga Bahasa Indonesia diadopsi sebagai Lingua France, Bahasa pemersatu, Satu bahasa beragam budaya (One language many cultures). 

Satu bahasa beragam budaya juga merupakan salah satu topik yang akan dibahas dalam Konferensi Sent bulan Mei ini dimana Konferensi Mosaik akan memimpin sesi ini. 

Konferensi Sent adalah konferensi yang diadakan untuk memperlengkapi, menghubungkan dan memperkuat jaringan pemimpin dan para perintis gereja. Konferensi Sent tahun akan diadakan di Philadelphia Selatan, pada tanggal 4-7 Mei 2023 dan merupakan hasil kerja sama dari Mennonite Mission Network, Konferensi Mennonite Mosaik, Gereja Mennonite AS dan Everence. 

Tema konferensi tahun ini adalah Eksplorasi Pelayanan Multietnis yang diambil dari Wahyu 7:9. Saya percaya acara ini dapat memperlengkapi kita semua dalam melayani jiwa jiwa sesuai dengan Amanat Agung dan Visi Gereja di masa depan. 

Tidak bisa dipungkiri Bahasa Inggris telah menjadi bahasa pemersatu khususnya dalam konteks pelayanan di AS. Tapi meski sebuah komunitas berkomunikasi dengan bahasa Inggris, budaya yang ada dalam komunitas tersebut belum tentu sama.  Sebuah kesalahan umum adalah menganggap jika satu bahasa pasti akan secara otomatis satu budaya,  belum tentu demikian. Ini akan menjadi potensi konflik dan kesalah pahamkan jika tidak disadari dan dimengerti. 

Saya mau mengajak para pemimpin, para Pelayan Tuhan dan anggota anggota gereja untuk mengikuti konferensi sent untuk lebih lagi belajar mengenai pelayanan multietnis, dan Juga untuk saling terhubung dengan para pelayan lainnya terutama dengan yang memiliki latar belakang budaya bahasa dan suku bangsa dengan kita. Karena didalam Yesus kita berbeda beda tetapi tetap satu. Tuhan Yesus memberkati. 

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Anggota Dewan Pertama dari California, Lucy Hannanto Parsono

April 13, 2023 by Cindy Angela

UPDATE DARI DEWAN KONFERENSI

Pada tanggal 20 Maret 2023, rapat dewan gabungan (berbasis kantor Lansdale dan berbasis Zoom), dewan Konferensi Mosaic menunjuk Lucy Hannanto Parsono ke posisi yang belum habis masa jabatannya. Dia akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Kris Wint, pendeta di Finland Mennonite Church. Masa jabatan Wint berakhir ketika jemaat Finland menarik diri dari Mosaic pada musim gugur 2022.

Hannanto Parsono adalah penatua di Internasional Worship Center di San Gabriel, CA. Dia dan suaminya, Alfred, tinggal di Hacienda Heights, CA. Mereka adalah orang tua dari seorang putri dan memiliki tiga cucu yang juga tinggal di California selatan. Lucy lahir di pulau Sumatera tetapi dibesarkan di Tangerang, di pulau Jawa dekat Jakarta di Indonesia. Orang tua Lucy memeluk agama Kristen dari Agama Budha, meskipun dia dibesarkan di gereja. Dia pindah ke California pada 1980-an dan sekarang menjalankan bisnis impor/ekspor yang sebagian besar berurusan dengan perdagangan antara AS dan Indonesia.

Dalam penegasannya untuk bergabung dengan dewan Konferensi, dia merasa terdorong oleh keluarga dan mentornya yang berkata, “Pekerjaan seperti ini adalah hidupmu.” Lucy senang menemukan kesempatan untuk melayani di gereja dan melihat ini sebagai cara lain untuk melayani dan belajar dalam komunitas Mosaic. Lucy menerima penegasan yang kuat atas perannya dari Leadership Ministers Aldo Siahaan dan Jeff Wright serta kakaknya, Buddy Hannanto, pendeta di IWC.

Filed Under: Articles Tagged With: Conference Board, Conference News, Lucy Hannanto Parsano

Crazy for Jesus: Cerita Panggilan Virgo Handojo

March 29, 2023 by Conference Office

oleh Virgo Handojo

Masa kecil saya dipenuhi dengan tradisi dan ritus kebudayaan Tionghoa yang masih berakar di hati saya. Hormatilah dan kasihilah orang tuamu, keluargamu, dan sesamamu, maka engkau akan beroleh berkat. Sayang, kenangan indah itu tidak berlangsung lama. Perubahan kebijaksanaan politik di Indonesia pada waktu itu melarang pengembangan tradisi Tionghoa, bahkan membaca karakter Mandarin pun dianggap suatu kejahatan politik. Meskipun begitu ajaran dan tradisi Tionghoa masih membekas di batin saya.

SD dan SMP merupakan tempat kedua di mana saya mengenal Tuhan. Saya dididik di sekolah Katolik. Di sini saya belajar bahwa mengikuti misa di gereja lebih penting dari pengetahuan tentang Tuhan atau belajar dari Alkitab. Setiap hari tertentu kami diwajibkan untuk ke gereja. Tidak heran, sewaktu duduk di bangku SMP saya kemudian mengikuti  katekisasi selama satu tahun untuk dibaptis menjadi Katolik.

Senin sore 5 Maret di tahun 1979 memang hari biasa, namun luar biasa bagi hidup saya. Tuhan menjamah hidup saya. Tiong Gie, teman sekampung dan sepermainan mengajak saya ke sebuah persekutuan doa dimana saya mengalami kelahiran baru (Yoh 3:7-8; 2Kor.5:17). Sulit digambarkan dengan kata-kata, namun saya telah merasakan jamahan tangan Ilahi (2009: 80-81).Sejak itu saya mulai belajar mendengar dan menaati suara Tuhan dan hidup bersama dengan-Nya.

Sementara itu, Tuhan mulai memperluas pelayanan dan hubungan saya dengan orang Kristen yang lain. Lewat Keluarga Sangkakala yang dipimpin oleh Bapak Adi Sutanto dengan persekutuan doa di Kapuran 45, Semarang, Tuhan mulai melatih hidup saya bersama dengan pemuda-pemudi sebaya saya.

Secara bergiliran kami berkhotbah, menjadi penginjil keliling ke desa-desa dan kota-kota lain. Adik-adik sayapun semuanya menjadi aktivis dalam pelayanan dan memimpin persekutuan doa rumah tangga di kampung-kampung, sekolah-sekolah, dan di rumah-rumah. Melalui jaringan keluarga, pekerjaan, sekolah, dan pelayanan yayasan Sangakakala, kegerakan rohani dan persekutuan-persekutuan doa ini menyebar ke kota-kota lain seperti Kudus, Pati, Ungaran, Jogya, dll.

Lewat pelayanan-pelayanan ini saya bertumbuh baik secara rohani ataupun pengalaman dalam pelayanan. Pada waktu itu kami juga mulai merintis gereja-gereja, baik di desa maupun di kota, di dalam maupun di luar negeri. Lewat gerakan pemuda-pemudi ini bermunculan banyak yayasan misi, sinode dan gereja-gereja baru baik di dalam ataupun di luar negeri.

Saya sendiri terlibat dalam perintisan Sinode Jemaat Kristen Indonesia (Sinode JKI) yang secara teologis berafiliasi dengan gerakan Anabaptist Kharismatik. Di tahun 1986 saya ditahbiskan dan melayani di gereja Jemaat Kristen Indonesia Maranatha, Ungaran. Bersama sinode JKI  kami merintis Sekolah Alkitab Maranatha yang menjadi benih dari Sekolah Tinggi Sangkakala, Salatiga. 

Tahun 1987 berbekal uang $65 saya mendarat di Los Angeles untuk sekolah di Fuller Theological Seminary. Atas anugerah Tuhan saya berhasil menyelesaikan tiga Master degree di bidang Intercultural Studies, Theology, dan Leadership dan di tahun 2000 Ph.D. Marriage and Family Studies dari School of Psychology. Tahun 1989 Tuhan mempertemukan saya dan istri dengan Ibu Dina Boon dari kota Sierra Madre, CA. Kami diminta untuk membersihkan rumah Ibu Dina Boon dari kuasa-kuasa gelap. Lewat pelayanan ini lahirlah International House Fellowship di rumah Ibu Dina Boon. Akhir 1990 persekutuan keluarga ini berkembang menjadi 30-50 orang dari 10-13 macam bangsa. Lewat persekutuan ini, lahirlah Jemaat Kristen Indonesia Anugerah (JKIA) pada tanggal 19 September 1992 di gereja Free Methodist Church, Pasadena. Kebaktian Perdana di mulai hari Minggu 20 September 1992. Beberapa bulan kemudiaan gereja pindah ke Sierra Madre Congregational Church, 191 W. Sierra Madre, CA 91024.

Di San Jose Mennonite General Assembly (4 Juli, 2007) JKIA bersama dengan dua gereja Indonesian Mennonite di LA dan Philadelphia Praise Center (PPC), mendirikan Indonesian Mennonite Association (IMA). Hari ini IMA telah menjadi salah satu anggauta dari Racial Ethnic Council dari Mennonite Church USA bersama dengan African American Mennonite Association, Iglesia Menonita Hispaña, Native Mennonite Ministries, dan African Belizean Caribbean Mennonite Mission Association. Sungguh, Tuhan itu ada, ajaib, dan sangat mengasihi kita semua. Amin.

Filed Under: Articles, Call to Ministry Stories Tagged With: Call to Ministry Story, JKI Anugerah, JKIA, Virgo Handojo

Cerita Panggilan Makmur Halim: Kasih Karunia Tuhan

March 16, 2023 by Conference Office

oleh Makmur Halim

Saya lahir dalam keluarga Budha, orang tua saya tidak mengenal Yesus, tetapi jika saya menjadi seorang Kristen, satu-satunya hal yang mereka lakukan adalah tidak mengizinkan saya menerima baptisan air. Di masa kecil saya, orang tua saya membawa saya ke Sekolah Baptis di Sumatera Selatan, tempat saya dilahirkan. Saya mulai belajar tentang Yesus di sekolah Kristen ini, membaca Alkitab dan pergi ke Gereja, namun, di rumah saya juga menyembah roh leluhur, mengidolakan, dan pergi bersama orang tua saya ke kuil Buddha.

Sampai saya berada di tahun terakhir saya di SMA pada bulan November 1980, saya bertemu dengan seorang pendeta yang meyakinkan saya kepada Kristus dan meninggalkan kepercayaan sinkretis saya. Saya dibaptis pada Januari 1981, menerima panggilan Tuhan pada tahun yang sama dan pergi ke Bethel Seminary di Jakarta.

Saya terlibat dalam pelayanan di Gereja Bethel Indonesia sampai saya lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1988, Tuhan membuka jalan mengirim saya ke Portland Bible College, dan pada tahun 1990 saya pergi ke Seminari Multnomah di Portland, Oregon, dan kemudian pada tahun 1992, saya diterima oleh Fuller Seminary untuk gelar Doktor dan lulus pada tahun 1998.

Orang tua saya mengenal Kristus pada tahun 1991. Saya menikah dengan istri saya, Manishati Dachi, pada tahun 1993 dan Tuhan memberi kami dua Anak. Saya juga menggembalakan Gereja Indonesia di Downey, California, melakukan pekerjaan misi di Sao Paolo, Brazil, dan melakukan perjalanan pelayanan ke Eropa. Pulang ke Indonesia pada tahun 1999, mengarahkan Program Pascasarjana di Sekolah Alkitab di Jawa Timur, dan mengajar di seminari di Indonesia dan di Australia, dan menulis dua buku.

Photo provided by Makmur Halim

Pada tahun 2004, kembali ke AS, berencana untuk mengejar gelar PhD saya, tetapi menghentikannya karena berbagai alasan. Tahun 2007 menggembalakan GKMI Immanuel (juga dikenal sebagai ICCF) hingga saat ini, juga mengajar paruh waktu di Union University of California (UUC) dan Union University International (UUI) di Westminster, CA. Hanya oleh kasih karunia Tuhan saya bisa berpergian melalui pelayanan dengan keluarga saya.

Filed Under: Articles, Call to Ministry Stories Tagged With: Call to Ministry Story, Indonesian Community Christian Fellowship, Makmur Halim

Berpusat pada Kristus

March 9, 2023 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Pada hari Jumat 24 February 2023, seluruh staff Mosaic Mennonite Conference mengikuti Webinar yang berjudul, “The Centered-Set Church: Menemukan model gereja yang berpusat pada Yesus di tengah dunia yang terus berubah”. Webinar ini yang dibawakan oleh Mark Baker, professor di bidang teologi dan misi di Fresno Pasific Biblical Seminary, dimana beliau menulis buku dengan judul yang sama. Webinar ini diadakan oleh Gereja Mennonite British Colombia, Kanada.

Banyak hal menarik yang saya dapatkan dalam seminar ini, khususnya bagaimana pendekatan legalistik dan penentuan garis batas yang kaku tidak banyak membantu dalam kehidupan bergereja. Mark Baker, menawarkan sebuah pandangan alternatif , kelompok yang berpusat pada Yesus (Centered Group).

Komunitas yang berpusat pada Yesus (Centered Group) akan lebih baik dan memiliki keterbukaan kepada orang luar daripada yang berpusat pada aturan, budaya, tradisi, dan tata cara yang kaku (Bounded Group) dan juga lebih baik daripada Kelompok yang tidak memiliki prinsip yang jelas, terlalu banyak toleransi dan semua diperbolehkan (Fuzzy Group).

Setiap komunitas gereja pastinya memiliki dinamika dan perjalanan formasi yang berbeda beda. Sebagai Pastor salah satu gereja imigran Indonesia, saya menemukan bahwa pandangan pandangan teologi, pendapat, pemikiran pemikiran tidak begitu memiliki andil besar dibandingkan dengan hubungan dan fungsi saling tolong menolong (gotong royong) di dalam komunitas.

Mungkin istilah yang mendekati menggambarkan hal ini adalah ungkapan dalam bahasa Inggris, “People don’t care how much you know until they know how much you care”. Arti care disini adalah bagaimana sebagai seorang pelayan menjawab kebutuhan sehari-hari lebih dari pemikiran pemikiran teologis. Pendekatan “Menara Gading” tidak relevan menghadapi masalah di “Akar rumput”.

Hal ini berbicara bagaimana hubungan personal dan hubungan di dalam komunitas antar pribadi begitu penting daripada peraturan-peraturan atau tradisi-tradisi yang ada. Karena semua peraturan, tradisi, dan pendekatan akan dengan sendirinya dikompromikan dalam penyesuaiannya ketika hubungan pribadi antar pribadi terjadi.

Praktek apa yang boleh, apa yang tidak boleh, siapa yang boleh melayani siapa yang tidak boleh, siapa yang boleh dinikahkan siapa yang tidak boleh dinikahkan, semua akan diuji dalam hubungan pribadi bersama dengan Tuhan dan bersama sama di dalam komunitas. Menetapkan sebuah standar yang kaku yang dipaksakan untuk semua individu yang memiliki perjalalan dan proses yang berbeda beda dan unik, bagi saya tidaklah bijaksana.

Profesor Mark, memberikan ilustrasi yang menarik mengenai permainan sepak bola (soccer), sebuah klub sepak bola yang dibatasi (bounded group) akan mencari pemain yang memiliki skill, kriteria fisik dan statistik tertentu. Pemain yang tidak memiliki kriteria tidak akan lolos seleksi. Di sisi yang lain ada sebuah klub sepak bola yang memperbolehkan siapa saja untuk bergabung dan tidak ada seleksi khusus, tetapi sepakat untuk tunduk dalam peraturan sepak bola yang sudah berlaku (Centered Group)- contohnya, yang boleh memegang bola sepak hanyalah penjaga gawang di wilayah yang sudah ditentukan, dan lain sebagainya.

Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, dengan jelas menunjukkan kekesalannya dengan perpecahan dan peraturan-peraturan yang tidak semestinya diterapkan dalam gereja di Galatia. Peraturan-peraturan yang membuat pengikut Yesus menjadi terpecah belah. Rasul Paulus geram bahwa injil kabar baik berusaha diputar balikkan demi kepentingan kelompok yang ingin memiliki derajat lebih tinggi dari kelompok yang lain.

Paulus berusaha membawa jemaat Galatia kembali berpusat pada Injil Yesus, dan bukan pada peraturan, tradisi, dan pembatasan yang kaku. Karena di dalam Yesus kita semua dibenarkan karena iman bukan karena usaha kita (Gal 3:11). Sebagai orang-orang merdeka, kita dipanggil bukan untuk hidup dalam dosa melainkan hidup melayani seseorang akan yang lain oleh kasih (Gal 5:13)

Ada sebuah cerita yang menarik yang dibagikan oleh pembicara tentang bagaimana cara beternak di Australia. Dikarenakan begitu luasnya ladang disana, membangun dan merawat pagar akan menghabiskan banyak uang dan tenaga. Oleh sebab itu, para peternak di Australia tidak memiliki pagar sama sekali. Melainkan mereka membangun sumur, karena ternak tidak akan pergi jauh dari sumur air.

Saya percaya bahwa alternatif gereja yang berpusat pada Yesus adalah gereja yang memiliki fokus memuji dan menyembah Tuhan, meninggikan dan membesarkan nama-Nya dan ajaran-ajaran-Nya. Identitas kita adalah di dalam Yesus, dan identitas di dalam Yesus bukanlah sebuah keseragaman, melainkan sebuah ajakan untuk menerima kasih karunia dari Tuhan. Komunitas orang percaya dipanggil untuk menjadi sumur dimana Yesus bisa tinggal dan memberikan kesegaran bagi yang haus akan hadirat-Nya.

Hari ini gereja menghadapi banyak tantangan dan permasalahan seperti gereja di Galatia. Injil Yesus bukan lagi menjadi pusat melainkan isu-isu kontroversial. Istilah demi istilah, label demi label, dan resolusi demi resolusi dibuat dan ditulis untuk membatasi bukan untuk menyatukan, dan memberikan harapan.

Saya mau mengajak kita semua untuk kembali kepada Injil Yesus, sama seperti anak yang hilang yang kembali kerumah Bapak-Nya dan atau sebagai anak sulung yang harus belajar rendah hati dan merayakan kepulangan sang adik kerumah Bapak-Nya.

Sebagai Mosaik kita adalah anak-anak Tuhan yang hancur karena dosa, namun disatukan dan dipulihkan oleh kuasa Darah Yesus, identitas kita yang baru adalah di dalam Yesus, mari tinggalkan manusia lama kita dan bersatu bersama saudara saudari seiman didalam kesatuan roh. Hanya darah-Nya yang menyatukan mendekatkan kita dan memulihkan.

Hanya Kristus Harapanku, Dia terang dan Kuatku, Batu penjuru yang teguh di kala badai menderu. Kasih dan damainya besar kalahkan takut dan gentar. Penghiburku naunganku dalam kasih-Nya ku teduh

KUTIPAN LIRIK LAGU In Christ Alone (OLEH by Keith & Kristine Getty)

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Harapan untuk Masa Depan

February 9, 2023 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Minggu lalu saya baru menghadiri acara Hope for the Future di Atlanta, Georgia. Acara ini merupakan pertemuan tahunan yang dihadiri oleh para pemimpin kulit berwarna (BIPOC) di MC USA, yang bertujuan untuk memperlengkapi, saling menguatkan dan menjalin hubungan satu sama lain.

Menarik bahwa pertemuan kali ini dihadiri oleh 12 orang pemimpin berdarah Asia, dimana di dunia Mennonite hal ini sangat jarang sekali terjadi. Dan hampir setengahnya berasal dari Konferensi Mennonite Mosaik, dan 4 diantaranya berasal dari Indonesia termasuk saya sendiri.

Pemimpin Pelayanan berlatar belakang Asia di acara Hope for the Future (Harapan untuk Masa Depan)

Saya pernah mendengar cerita dari seseorang yang pernah menjadi Konsulat Jenderal Indonesia untuk Amerika Serikat mengenai Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Ia berkata Indonesia merupakan negara keempat terbesar dari jumlah populasi di seluruh dunia, tetapi mengapa jumlah orang Indonesia yang bekerja di PBB sangat sedikit. Ia berkata secara proporsional harusnya lebih banyak lagi.

Tentunya ada banyak faktor yang mempengaruhi hal ini. Tetapi saya melihat di lingkaran gereja-gereja sudah mulai ada perubahan yang cukup signifikan. Misalnya di Mennonite Mission Network sekarang sudah memperkerjakan dua orang yang memiliki latar belakang dari Indonesia. Mosaik sendiri sekarang memiliki tiga pekerja pelayanan berlatar belakang Indonesia.

Mosaik Board and Staff di acara HFF, Atlanta, GA

Perkembangan ini tentunya tidak terlepas dari batas batas wilayah geografis yang semakin hari semakin pudar. Perpindahan penduduk tidak bisa lagi dibatasi oleh peraturan peraturan yang kaku. Masa depan adalah setiap negara adalah multinasional dan multikultur.

Bersyukur untuk visi dari Konferensi Mosaic adalah Intercultural atau Antar Budaya, dimana meskipun berada di budaya dominan yang berbeda budaya minoritas bisa menjadi garam dan terang ditengah tengah budaya lain. Memberi warna dan rasa ketimbang tertekan dan terasimilasi, inilah sebuah harapan untuk masa depan gereja-gereja di dunia.

Saya percaya konferensi Mennonite Mosaik yang mayoritas berasal dari Budaya Eropa, Swiss Jerman bisa bersama sama membentuk komunitas Intercultural  dimana Identitas masing masing memberi warna Identitas komunal sebagai Tubuh Kristus, dimana Yesus adalah kepala.

Tentunya jalan masih panjang dimana kecenderungan tiap tiap budaya untuk tinggal di dalam gelembung budayanya sendiri masih besar. Terlebih lagi dimana trauma-trauma antar generasi belum pulih betul. Tetapi saya percaya dimana ada keterbukaan disitu ada pemulihan.

Semakin setiap cerita dan kesaksian timbul disitulah hubungan terbangun, dan kesadaran bahwa sebenarnya kita memiliki persamaan yang jauh lebih banyak daripada perbedaan. Meskipun warna kulit dan mata kita berbeda, darah kita sama sama merah dan tulang kita sama sama putih. Meski kita berbeda secara budaya, bahasa, kebiasaan, Tuhan yang kita sembah dan Buku suci yang kita baca sama.

Tuhan Yesus mati buat kita semua, dimana darah-Nya menyatukan kita, yang tadinya jauh menjadi dekat. Sehingga saya percaya visi Tuhan bagi gereja, dalam Wahyu 7:9 sudah mulai terwujud,   Sesudah itu saya melihat lagi, lalu nampak lautan manusia yang luar biasa banyaknya–tidak ada seorang pun yang dapat menghitung jumlahnya. Mereka adalah orang-orang dari setiap bangsa, suku, negara, dan bahasa.” Tuhan Yesus memberkati.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Gereja dan Budaya

January 26, 2023 by Cindy Angela

Refleksi dari Pertemuan Indonesian Pastors and Leaders Gathering

Oleh Hendy Matahelemual

Gereja dan Budaya menjadi topik yang akan dibahas dalam pertemuan pastor-pastor dan pemimpin pelayanan berbahasa Indonesia di Konferensi Mosaik. Topik Gereja dan Budaya akan dibahas sepanjang tahun 2023. Pertemuan ini dirancang diadakan satu bulan satu kali melalui zoom.

Pertemuan bulan ini dihadiri oleh beberapa pemimpin pelayanan yang kompeten sebagai narasumber. Pastor Virgo Handojo,PhD (JKI Anugerah), Pastor Aldo Siahaan (PPC) , Pastor Lindy Backeus (EMU), PhD, Pastor Stephen Zacheus (JKI Anugerah), dan saya sendiri.

Pertemuan dibuka dengan doa dan pembacaan ayat Firman Tuhan yang diambil dari Kitab Roma 12:2 (BIS): “Janganlah ikuti norma-norma dunia ini. Biarkan Allah membuat pribadimu menjadi baru, supaya kalian berubah. Dengan demikian kalian sanggup mengetahui kemauan Allah–yaitu apa yang baik dan yang menyenangkan hati-Nya dan yang sempurna.”

Pastor Lindy membagikan kesaksian singkat, dimana ia melihat Mennonite memiliki tradisi untuk melawan budaya yang ada, menyendiri dan menjaga jarak, tetapi kemudian bertransformasi dimana Gereja ingin membawa dampak dan mengubah budaya dan tidak dirubah oleh budaya sebagaimana diingatkan oleh Roma 12. Dan ini merupakan pergumulan yang dihadapi Gereja-gereja di Konferensi Mosaik saat ini.

Pastor Virgo Handojo, memberikan pandangan dalam kacamata praktis psikologi dimana faktor kasih menjadi hal yang utama dimana orang bisa menjadi kuat menghadapi dan berinteraksi dengan budaya sekitarnya. Khususnya para imigran Indonesia dalam pergumulannya di Amerika Serikat, apakah akan tetap memegang budaya Indonesia, meninggalkan budaya Indonesia dan mengakomodasi budaya dominan atau mengambil nilai-nilai yang baik dan menyesuaikannya dengan budaya Indonesia.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa imigran yang mengambil kearifan budaya asal dengan juga mengambil nilai-nilai yang baik dari budaya lokal dominan ditambah dengan memberi tempat tertinggi dari ajaran gereja mengenai Kasih dan Kebenaran, akan menghasilkan pribadi pribadi dengan resiliensi yang tinggi. Dimana para imigran ini tidak menyendiri tetapi berada ditengah-tengah budaya, menyuarakan kebenaran, menjadi garam dan terang bagi budaya dan masyarakat yang ada disekitarnya.

Tantangan sebagai komunitas orang percaya adalah bagaimana kita membuka Firman, mengartikan budaya sekitar dan mencari Firman Tuhan yang tepat untuk diaplikasikan sesuai dengan konteks masing masing (kontekstualisasi).

Dalam konteks Gereja Imigran khususnya di Philadelphia, Pastor Aldo Siahaan mengemukakan bahwa tantangan Gereja adalah bagaimana menjadi Gembala yang Baik, supaya orang orang percaya tidak meninggalkan Firman Tuhan dan lebih mempercayai budaya dominan, dalam hal ini budaya Amerika.

Sebagai imigran Indonesia kita perlu bangga dengan kearifan budaya lokal kita, masalahnya banyak orang Indonesia khususnya di Amerika tidak bangga dengan budaya Indonesia, ujar Pastor Stephen Zacheus. Hal ini disebabkan mungkin trauma-trauma yang didapati di Indonesia seperti peristiwa 98, dll, tetapi muncul harapan ketika situasi Indonesia menjadi lebih baik, sehingga budaya Indonesia bisa kembali menjadi sorotan.

Mari kita sama-sama berdoa supaya gereja, komunitas orang percaya bisa mengerti apa yang menjadi kehendak Tuhan, dan menjalankannya sesuai dengan tempat dimana kita ditempatkan masing-masing oleh Tuhan. Tuhan Yesus memberkati.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual, Indonesian Pastors and Leaders Gathering

  • « Go to Previous Page
  • Go to page 1
  • Interim pages omitted …
  • Go to page 6
  • Go to page 7
  • Go to page 8
  • Go to page 9
  • Go to page 10
  • Interim pages omitted …
  • Go to page 18
  • Go to Next Page »

Primary Sidebar

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami

Footer

  • Home
  • Hubungi Kami
  • Pertemuan Konferensi
  • Visi & Misi
  • Sejarah
  • Formasional
  • Antar Budaya
  • Tim Misi
  • Institut Mosaic
  • Memberi
  • Penatalayanan
  • Keamanan Gereja
  • Artikel

Copyright © 2025 Mosaic Mennonite Conference | Privacy Policy | Terms of Use
Aligned with