• Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Skip to footer

Mosaic MennonitesMosaic Mennonites

Missional - Intercultural - Formational

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami
  • English (Inggris)
  • Español (Spanyol)
  • Indonesia

Hendy Matahelemual

Harapan untuk Masa Depan: Merayakan 30 Tahun Damascus Road

March 20, 2025 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Dinginnya sisa musim dingin di Midwest mungkin tidak sebanding dengan Pantai Timur, tetapi itu tidak mengurangi harapan yang dipicu oleh para pemimpin kulit berwarna dan banyak undangan istimewa yang diberikan kepada mereka yang berpartisipasi dalam acara Hope for the Future MC USA di Goshen, Indiana. 

Tahun ini, tema konferensi adalah Merayakan 30 Tahun Pelatihan Anti-Rasisme Damascus Road, yang sekarang dikenal sebagai Roots of Justice training. Sekitar 130 orang berkumpul di Goshen College, tempat acara ini berlangsung. Hari pertama kami dimulai dengan resepsi malam di sebuah penginapan lokal, diikuti dengan ibadah dan sesi pada hari berikutnya. Ada sesi panel yang menampilkan semua pelatih dari Damascus Road / Roots of Justice, dan saya merasa terhormat serta bersyukur menjadi bagian dari panel tersebut. 

Hendy Matahelemual on a panel with other current and former Roots of Justice trainers. Photo by Juan Moya, Anabaptist World.

Pekerjaan anti-rasisme merupakan bagian penting dari prioritas Mosaic Intercultural kami. Sebelum kita benar-benar dapat berkumpul sebagai sesama di hadapan Tuhan—seperti yang digambarkan dalam Wahyu 7:9—kita harus mengatasi masalah utama yang sering diabaikan: dosa rasisme. Dosa ini telah membagi umat manusia menjadi dua kelompok—yang tertindas dan penindas, yang inferior dan superior, yang dominan dan yang tunduk—berdasarkan etnis, warna kulit, dan ras. 

Dr. Regina Shands Stoltzfus, pembicara utama pertama hari itu, mengingatkan kami untuk mengakui pekerjaan anti-rasisme di masa lalu dan masa kini saat kita mempersiapkan masa depan. Dia adalah rekan penulis Been in the Struggle bersama Tobin Miller Shearer. Mosaic mengadakan studi buku lintas budaya tentang topik ini dan mengundang kedua penulisnya untuk memimpin diskusi webinar melalui Zoom. Jika Anda melewatkannya, Anda dapat melihatnya di [tautan ini]. 

Hendy Matahelemual (left) and Mosaic Conference Board Member Maati Yvonne (fourth from left) with the other past and current Roots of Justice trainers present at the Conference. Photo by Juan Moya, Anabaptist World.

Saat saya merenungkan praktik spiritual dari pengakuan (acknowledgment), saya bergabung dalam sesi kelompok kecil tentang identitas multiras, lintas etnis, dan transrasial di gereja. Di sinilah saya menyadari bahwa sebagian besar dari kita, termasuk saya sendiri, membawa campuran identitas. Hanya dengan mengakuinya—dan diakui—itu adalah pengalaman yang membebaskan. 

Hari kedua diakhiri dengan Gala Dinner, di mana, untuk pertama kalinya, saya mendengar lagu Arirang yang dibawakan oleh saudara-saudari kami dari latar belakang Korea. Lagu ini melambangkan kesedihan dan harapan rakyat Korea yang merindukan Korea yang bersatu. Gala ini menjadi ruang untuk menghormati para tetua kami dan merayakan kebersamaan, dan ya, ada banyak tarian yang terjadi di sana. 

Suzette Shreffler membagikan kisahnya saat kami memulai hari terakhir konferensi. Sebagai keturunan Penduduk Asli Amerika, dia tumbuh sebagai bagian dari sistem sekolah asrama Indian, yang memaksa keluarganya untuk berasimilasi dengan budaya Euro-Amerika dengan tujuan menghapus bahasa, tradisi, dan identitas Pribumi. 

Dia mengalami trauma antargenerasi, tetapi syukur kepada Tuhan, dia menemukan kedamaian dalam Yesus melalui pelayanannya di Gereja Mennonite setempat. Dia menjadi perempuan Northern Cheyenne pertama yang mendapatkan kredensial dari Central Plains Mennonite Conference. Kisah ketahanannya menjadi cahaya harapan bagi masa depan, dan saya percaya masih banyak kisah lain yang menunggu untuk diceritakan. 

Mosaic Mennonite Conference Executive Committee Board Member Maati Yvonne was one of seven elders honored at the 12th annual Hope for the Future celebration. Photo by Juan Moya, Anabaptist World.

Acara ini diakhiri pada hari Minggu dengan Dr. Rev. Lerone Martin, yang membagikan salah satu khotbah Dr. Martin Luther King Jr. Dr. Martin adalah profesor Studi Agama dan Direktur Martin Luther King, Jr. Research and Education Institute di Stanford University. Saya sangat terkesan dengan bagaimana khotbah Dr. King tetap sangat relevan hingga hari ini. 

Dalam khotbahnya, Dr. King berbicara tentang tiga serangkai kejahatan: Rasisme, Kemiskinan, dan Kekerasan. Harapan saya untuk masa depan, bersama dengan Mosaic Conference, adalah bahwa kita dapat menghadapi semua ini dengan cara Yesus. Prioritas konferensi kami sudah ditetapkan untuk menghadapi kekuatan jahat ini saat kita semakin menjadi lebih Intercultural, Formational, dan Missional dalam jalan Yesus, di dunia yang sekaligus rusak dan indah. 


Hendy Matahelemual

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual, Hope for the Future, Maati Yvonne

Iman dalam Transisi: Refleksi atas Pelatihan Pelayanan Interim 

February 20, 2025 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Selama satu minggu yang dingin dan bersalju, beberapa pendeta dari Konferensi Mennonite Mosaic dan Konferensi Allegheny, yang berasal dari berbagai latar belakang, menghadiri program pelatihan Intentional Interim Minister di Princeton, New Jersey. 

Beth Kenneth, Koordinator Konsultasi dan Pelayanan Coaching untuk Center of Congregational Health, memimpin sesi tentang Workplace Big 5 Assessment.

Pelatihan ini diselenggarakan melalui kolaborasi antara Eastern Mennonite University dan Center for Congregational Health serta berlangsung di Erdman Center, Princeton University. Pelatihan selama empat hari ini diadakan pada tanggal 10 hingga 13 Februari, hanya satu hari setelah Super Bowl. Pelatihan ini dapat terlaksana berkat dukungan dari Lily Grant. 

Sebelum mengikuti pelatihan, para peserta diminta untuk mengisi kuesioner Workplace Big 5 Assessment guna mengidentifikasi tipe kepribadian mereka. Penilaian ini terbukti sangat bermanfaat dalam membantu para pendeta memahami kepribadian, kekuatan, dan tantangan mereka, sehingga dapat melayani dengan lebih efektif. Beberapa dari kami bahkan terkejut dengan hasil yang muncul, yang memberikan wawasan baru tentang diri kami sendiri dan pendekatan kami dalam pelayanan. 

Pembicara utama dalam pelatihan ini adalah Rev. Dr. Marvin L. Morgan, yang memiliki pengalaman luas sebagai pendeta dan intentional interim minister. Latar belakang akademisnya serta pengalamannya yang kaya dalam pelayanan sangat berharga bagi kami semua. 

Sejujurnya, ketika pertama kali mengikuti pelatihan ini, saya belum terlalu familiar dengan konsep pelayanan interim. Namun, melalui pengalaman ini, saya menyadari betapa pentingnya setiap pemimpin untuk siap memimpin dalam masa transisi. Pelayanan interim dapat menjadi jembatan penting yang membantu gereja menemukan pemimpin yang tepat untuk masa depan mereka. Saya sendiri menjadi pendeta di gereja saya saat ini berkat keberhasilan beberapa pendeta interim sebelumnya. Mereka membantu jemaat merangkul dan menghargai warisan mereka sekaligus menatap masa depan dengan harapan. 

Rev. Dr. Marvin L. Morgan, left, leads one of the sessions. Photo by Jaye Lindo.

Amy Yoder McGloughlin, executive minister untuk Konferensi Allegheny, menyatakan, “Pelatihan ini membantu saya untuk berpikir tentang apa yang dibutuhkan jemaat dan organisasi di masa transisi—bagaimana kita membantu jemaat merayakan masa lalu mereka dan menatap masa depan dengan sukacita.” 

Charlene Smalls, ketua Faith and Life Committee serta pendeta di Ripple Church, berbagi, “Saya benar-benar terinspirasi oleh betapa komprehensifnya kelas ini, yang mencakup baik aspek manusia maupun administrasi dalam pelayanan sebagai pendeta interim. Saya juga terinspirasi oleh rekan-rekan yang hadir—kelompok yang beragam, namun bersatu dalam komitmen mereka yang mendalam terhadap panggilan pelayanan pastoral.” 

Banyak dari kami juga merasa dikuatkan oleh pemahaman bahwa pelayanan interim bukan hanya peran bagi mereka yang sedang melayani sebagai pemimpin saat ini, tetapi juga kesempatan bagi pendeta yang sudah berpengalaman untuk memberikan kembali dalam cara yang baru. 

Dari kiri ke kanan: Hendy Matahelemual, Jaye Lindo, Ben Wideman, Amy Yoder McGlaughlin, Jason Kuniholm, Jenifer Eriksen Morales, Christina Manero, Jacob Cook, Charlene Smalls, Pavel Gailans, Marvin L. Morgan

Jaye Lindo, pendeta 7 Ways Church Fellowship sekaligus staf Mosaic, merefleksikan, “Yang paling menginspirasi bagi saya adalah bahwa pelayanan interim yang disengaja bisa menjadi cara yang bermakna bagi para pendeta yang akan pensiun untuk tetap melayani. Setelah dilatih melalui Intentional Interim Minister Training, mereka dapat menggunakan pengalaman dan pengetahuan mereka untuk membimbing gereja melalui proses pencarian pendeta baru yang penuh tantangan. Pelatihan ini memberikan jemaat alat-alat praktis untuk lebih memahami diri mereka sendiri dan apa yang benar-benar mereka yakini.” 

Di luar aspek teknis dan strategis pelayanan interim, banyak dari kami merasa sangat tersentuh oleh dimensi spiritual dari panggilan ini. Pendeta interim melangkah masuk ke dalam jemaat di saat-saat yang krusial, memberikan pelayanan pastoral, penegasan, dan bimbingan saat komunitas menghadapi perubahan. 

Pavel Gailans, pendeta interim di Homestead Mennonite Church di Florida, menambahkan, “Tubuh Kristus memiliki banyak kebutuhan. Pendeta interim yang disengaja dipanggil untuk menjadi gembala-penjaga yang menemani umat Tuhan di saat krisis. Ini adalah waktu untuk mendengarkan, berdoa, mencari bimbingan dari Roh Kudus, dan kemudian memimpin orang lain dengan kasih dan belas kasihan. Pelatihan ini membantu saya menyelami lebih dalam hati Tuhan bagi umat-Nya.” 

Pelatihan ini mengingatkan kami bahwa transisi adalah bagian penting dari pekerjaan Tuhan dalam Gereja. Kisah Musa dan Yosua menggambarkan ini dengan baik—Musa memimpin orang Israel melalui padang gurun, tetapi Yosua membawa mereka masuk ke Tanah Perjanjian. Tuhan meyakinkan Yosua, “Seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau; Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau” (Yosua 1:5). Saat kami kembali ke pelayanan kami, kami melakukannya dengan kepercayaan bahwa Tuhan hadir dalam setiap transisi, membimbing kami dengan hikmat dan kasih karunia-Nya. 


Hendy Matahelemual

Hendy Matahelemual is the Associate Minister for Community Engagement for Mosaic Conference. Hendy Matahelemual was born and grew up in the city of Bandung, Indonesia. Hendy lives in Philadelphia with his wife Marina and their three boys, Judah, Levi and Asher.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Komunitas yang Terkasih (Beloved Community)

January 23, 2025 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Kingdom Builders Network Philadelphia (Jaringan Gereja-gereja Anabaptist di Philadelphia) bersama dengan Mennonite Central Committee East Coast mengadakan acara Hari Pelayanan (Service Day) pada hari Senin, 20 Januari 2025 untuk memperingati Hari Martin Luther King Jr., dengan tema Mengembalikan Harapan dan Martabat. 

Dinginnya udara di Philadelphia, ditambah salju yang menggunung, tidak mengurangi antusiasme para relawan yang datang dari setiap penjuru kota dan suburban Philadelphia, untuk berpartisipasi dalam acara ini. Mereka Acara dimulai pada pagi hari pukul 09.00, dengan kehadiran kurang lebih 100 orang. 

Para relawan menggambar lukisan Mosaik dari Dr Martin Luther King Jr secara bergantian., dengan arahan dari Artis Mural, John Lewis.

Salah satu tradisi yang dilakukan dalam Hari Pelayanan ini adalah mempersiapkan 500 bingkisan yang berisi kebutuhan perawatan tubuh sehari-hari, seperti sabun, sampo, handuk, dan sebagainya, untuk dikirimkan ke penjara-penjara bagi para tahanan. 

Martin Luther King Jr, memiliki visi tentang Komunitas yang Terkasih (Beloved Community), bagaimana sebagai pengikut Yesus kita menjalankan visi ini lebih dari sekedar retorika saja. Oleh sebab itu dalam acara ini juga diadakan diskusi panel yang mengundang berbagai nara sumber yang secara khusus bekerja di dalam komunitas immigran untuk berusaha menginspirasi dan mencari solusi bersama bagaimana Komunitas terkasih ini bisa terlaksana.  

Pelantikan Donald Trump sebagai Presiden AS ke-47, yang bertepatan dengan Hari Martin Luther King Jr., menjadi sebuah ironi yang mencolok. Dr. King dikenal memperjuangkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan inklusi, sedangkan kebijakan Trump, seperti deportasi massal dan pembatasan imigrasi, sering dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.  

Di tengah ancaman deportasi, kehidupan sehari-hari terus berjalan, dan ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa “Komunitas Terkasih” dimulai dari kepedulian kita terhadap sesama, terutama mereka yang membutuhkan bantuan. Populasi imigran yang semakin berkembang di Philadelphia telah memperkaya kota ini, namun juga mengungkapkan ketegangan dan kesalahpahaman yang ada.  

Diskusi panel bersama nara sumber, (kiri-kanan, Ps Hendy Matahelemual (moderator), Hani White (board Indonesia Diaspora Philadelphia), Thoai Nguyen (CEO SEAMAAC), Blanca Pacheco (New Sanctuary Movement Philadelphia).

Menanggapi tantangan ini, Thoai Nguyen, CEO SEAMAAC (South East Asian Mutual Assistance Association Coalition), menyatakan bahwa jika kita semua mau lebih mengenal asal-usul atau nenek moyang kita, kita akan lebih peka terhadap perbedaan dengan orang lain. Hal ini menjadi awal dari saling pengertian yang dapat menciptakan komunitas yang penuh kasih.  

Blanca Pacheco, wakil direktur dari Sanctuary Movement of Philadelphia, dalam diskusi panel juga mengajak untuk memberikan tekanan politik melalui “rally” atau “demo damai” guna memastikan pemerintah kota Philadelphia menjaga statusnya sebagai kota suaka atau “sanctuary city.” 

Ajakan untuk mendukung usaha-usaha lokal yang dimiliki oleh para imigran juga merupakan cara yang baik untuk mendukung mereka. “Daripada membeli jajanan pencuci mulut di Walmart atau Costco, saya lebih memilih membeli dari penjual lokal di Philadelphia. Memang sedikit repot, tetapi sangat bermanfaat untuk mendukung usaha kecil milik imigran,” ujar Hani White, anggota dewan dari Diaspora Indonesia di Philadelphia, dalam diskusi panel.  

“Demikianlah kamu, hendaklah saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yohanes 13:34), mengingatkan kita bahwa kasih kepada sesama adalah dasar dari komunitas yang seharusnya kita bangun bersama.  

Ketika cuaca di pantai timur sangat dingin, sebaliknya bara hutan dan puing puing rumah di utara kota Los Angeles masih hangat. Solidaritas kita haruslah melintasi batas-batas wilayah yang ada, dan harus menembus batas batas lapisan masyarakat, mulai dari imigran yang tidak memiliki surat sampai dengan konglomerat dan orang orang kaya, biarlah keadilan sosial bisa terwujud di dalam Komunitas yang terkasih ini.  

Ketika retorika Exceptionalist Amerika terjadi maka sebagai komunitas terkasih kita dengan sengaja peka terhadap apa yang terjadi di belahan dunia lain.  Salah satu caranya adalah dengan mencari tau, dengan membaca, dengan pergi ke belahan dunia lain dan belajar. Hanya dengan inilah kita tidak terjebak hanya mementingkan diri sendiri, dan mulai bertindak lokal namun berpikir secara global.  

Semoga mimpi dari Dr. Martin Luther King Jr, mewujudkan Komunitas terkasih, bisa terwujud dalam tahun tahun kedepan, Ini adalah tanggung jawab kita semua sebagai pengikut Yesus.  Damai sejahtera Tuhan beserta kita semua.  


Hendy Matahelemual

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual, MCC East Coast, MLK Day, MLK Service Day

Dukungan Konferensi Mosaic Mennonite untuk Gereja Indonesia di Tengah Ancaman Deportasi

December 5, 2024 by Cindy Angela

Oleh Hendy Matahelemual

Pada momen-momen genting dalam sejarah, komunitas iman sering menjadi tempat berlindung bagi mereka yang merasa terancam dan terpinggirkan. Begitu pula yang terjadi sehari setelah pengumuman kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, ketika ketegangan dan kekhawatiran menyelimuti komunitas immigrant, termasuk warga gereja Indonesia di South Philadelphia. Pernyataan Trump dalam kampanyenya mengenai deportasi massal dan rencana untuk mencanangkan keadaan darurat nasional imigran ilegal menimbulkan keresahan yang nyata di tengah komunitas yang rentan. 

Ps Danilo Sanchez, menyampaikan dukungan dan doa kepada komunitas imigran Indonesia, di Indonesian Light Church Philadelphia.  

Di tengah situasi tersebut, Mosaic Mennonite Conference menunjukkan komitmennya terhadap prinsip kasih, keadilan, dan solidaritas melalui kunjungan Pastor Danilo Sanchez ke tiga gereja Indonesia di South Philadelphia: Gereja ILC, PPC, dan NWC. Kehadiran ini bukan hanya sebuah formalitas, melainkan sebuah simbol nyata dari dukungan moral, spiritual, dan emosional terhadap komunitas yang sedang menghadapi tekanan besar. 

Kekuatan dari Kehadiran: Pastor Danilo Sanchez Membawa Pesan Pengharapan 

Dalam kunjungannya, Pastor Danilo Sanchez menyampaikan pesan yang penuh pengharapan dan kekuatan, mengingatkan umat tentang pentingnya bersandar pada Tuhan dalam situasi sulit. Ia mengutip Mazmur 46:1-2, “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan yang sangat terbukti.” Firman ini menjadi landasan untuk mengingatkan komunitas bahwa meskipun ancaman datang dari dunia luar, Tuhan tetap setia menjaga dan melindungi umat-Nya. 

Pesan ini penting tidak hanya secara spiritual tetapi juga secara psikologis. Ketika ketakutan akan deportasi menjadi nyata bagi banyak anggota komunitas, memiliki pemimpin iman yang hadir secara langsung dan menyuarakan dukungan bisa memberikan rasa aman yang sangat dibutuhkan. Pastor Danilo juga mengajak komunitas untuk tetap bersatu, mengandalkan kekuatan doa, dan berani berdiri teguh dalam menghadapi ketidakpastian. 

Dukungan dari Mosaic Mennonite Conference: Solidaritas Melampaui Batas 

Mosaic Mennonite Conference memahami bahwa iman tidak hanya berbicara tentang hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal dengan sesama. Dalam kunjungannya, konferensi ini menegaskan komitmen mereka untuk mendukung gereja-gereja Indonesia di South Philadelphia, yang menjadi bagian penting dari komunitas imigran. Dengan latar belakang Mennonite yang kaya akan sejarah perdamaian dan keadilan sosial, dukungan ini mencerminkan nilai-nilai utama konferensi tersebut: mengasihi tetangga, melindungi yang lemah, dan memperjuangkan keadilan. 

Selain pesan spiritual, Mosaic Mennonite Conference juga memberikan dukungan praktis, seperti informasi tentang hak-hak imigran dan akses ke bantuan hukum jika diperlukan. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana iman dapat diterjemahkan menjadi tindakan konkret yang membantu individu dan komunitas bertahan di masa sulit. 

Ps Danilo Sanchez, Bersama Youth Group di gereja Nations Worship Center

Mengandalkan Tuhan dan Tetap Teguh 

Komunitas iman memiliki peran penting dalam memberikan kekuatan dan pengharapan, terutama di tengah ancaman yang dirasakan seperti yang dihadapi oleh gereja-gereja Indonesia ini. Dalam situasi ini, umat diajak untuk mengingat janji Tuhan dalam Yesaya 41:10, “Jangan takut, sebab Aku menyertai engkau, jangan bimbang, sebab Aku ini Allahmu.” Pesan ini menjadi peneguhan bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan umat-Nya, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun. 

Melalui kunjungan Pastor Danilo Sanchez dan dukungan Mosaic Mennonite Conference, komunitas gereja di South Philadelphia diingatkan bahwa mereka tidak sendiri. Solidaritas, doa, dan kasih menjadi kekuatan utama untuk melangkah maju, tetap teguh, dan berani menghadapi apa pun yang akan datang. Dalam kasih Tuhan, mereka menemukan kekuatan untuk tetap berharap, bersatu, dan terus menjadi terang bagi dunia. 

Filed Under: Articles Tagged With: Danilo Sanchez, Hendy Matahelemual, Indonesian Light Church, Nations Worship Center

Regenerasi Gereja: Memfasilitasi Peran Anak Muda dalam Pelayanan

June 20, 2024 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Di dalam Alkitab disebutkan bahwa ketika Roh Tuhan turun kepada semua manusia maka anak anak dan teruna-teruna akan bernubuat dan mendapatkan penglihatan, orang tua akan mendapatkan mimpi (Yoel 2:28 ; Kis 2:17).

Dan bagian kita adalah peka terhadap tuntunan Roh Tuhan. Ini berarti sebagai orang yang cukup dewasa, mendengarkan dan memfasilitasi anak-anak muda di gereja adalah sebuah tugas yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena di tangan anak-anak muda inilah masa depan gereja ditentukan.

Berdasarkan data pada tahun 2019, setiap tahun ada 3000 gereja berdiri dan 4500 gereja tutup di Amerika Serikat. Artinya jika angka ini stabil maka dalam satu tahun gereja kurang lebih gereja berkurang 1500 gereja / tahun. Di South Philadelphia sendiri ada beberapa gereja tutup, beralih kepemilikan, dijual, dikarenakan tidak ada lagi jemaat yang beribadah disana. Memang ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini, namun saya percaya faktor regenerasi adalah salah satunya.

Sejak saya dipercayakan menggembalakan gereja Indonesian Light Church di kota Philadelphia, pada tahun 2018, salah satu kerinduan kami adalah memiliki jemaat dan pelayanan anak muda yang banyak. Pada waktu itu jemaat anak muda kami hanya ada dua orang saja.

Namun setelah beberapa waktu, Tuhan percayakan beberapa anak muda lain bukan saja. Memang melayani anak muda memiliki keunikan dan tantangannya tersendiri, selain perbedaan usia, kebanyakan anak muda di gereja imigran Indonesia, adalah generasi 1.5, artinya mereka hidup di dalam 2 budaya (Indonesia dan Amerika). Dan sebagian besar dari mereka hanya bisa berbahasa Inggris.

Dan bagi kita yang dipercayakan sebagai pemimpin, mendengarkan suara Roh Kudus didalam anak anak muda inilah yang menjadi tantangannya tersendiri. Bagaimana seimbang dalam mendidik, mengajar, mendisiplin dan memperhatikan, mendengarkan dan memfasilitasi.

Rasul Paulus berkata di kitab Efesus, mengenai Ayah  yang harus mendidik, mengajar dan membimbing tanpa membangkitkan amarah dari anaknya. (Efesus 6:4)  Saya percaya ini berlaku juga buat anak-anak rohani. Jangan takut menegur namun sekaligus jangan lupa untuk memperhatikan dan mendengarkan mereka.

Gereja-gereja Indonesia yang tergabung dalam Mosaik pun menyadari hal ini, sehingga langkah nyata dan konsisten untuk regenerasi dan memfasilitasi anak anak muda telah diambil. Berikut highlights beberapa momen penting dari youth Gereja-gereja Indonesia Mosaik beberapa waktu kebelakang.

Pelayanan multimedia dan soundsystem adalah salah satu pelayanan yang banyak diminati anak muda. Foto diambil dari arsip Gereja JKI Anugerah, California.
Retreat International Worship Church di California berjalan sukses melibatkan banyak anak muda, dan didukung oleh Dana Operasi Misi dari Konferensi Mosaik. (Foto arsip IWC Multimedia)
Pentahbisan Graciella Odilia sebagai Youth Pastor di Gereja Nations Worship Center, Philadelphia, PA (Foto arsip NWC)
Indonesian Light Church Youth mengadakan acara Malam Pujian Penyembahan yang mengundang anak-anak muda dari gereja-gereja lain di South Philadelphia. (Foto arsip: ILC)
Anak anak muda mengambil komitmen untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru selamat dan hidup mengadalkan Tuhan setiap waktu. (Foto arsip: ILC)

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Pentakosta: Awal Persatuan Umat Manusia dalam Roh Kudus 

May 23, 2024 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Pentekosta adalah hari dimana Roh Kudus turun atas murid murid yang memberikan sebuah tanda dimana bahasa bukan lagi sebuah kendala dimana semua bangsa bisa saling mengerti dan mengenal satu sama lain.  

Pentekosta adalah sebuah pertanda bahwa pekerjaan Tuhan mempersatukan umat manusia yang terpecah pecah karena dosa sudah dimulai. Kutuk menara babel di dalam Yesus sudah dihancurkan, dan kuasa Roh Kudus datang membawa perdamaian bagi bangsa bangsa.  

Pentekosta adalah sebuah titik awal dimana visi Tuhan dalam kitab wahyu akan tergenapi. Visi dimana segala bangsa, suku, kaum dan bahasa akan berdiri di depan tahta anak domba, sambil menyanyikan: “Keselamatan bagi Allah, yang duduk dan bertahta, Keselamatan bagi Anak domba yaitu Yesus Kristus” 

Dalam kehidupan kita sebagai manusia, kita hidup di dunia yang hancur namun sekaligus indah. Studi ilmiah mengonfirmasi bahwa manusia lebih erat terkait daripada yang kita kira. Susanna Manrubia, seorang ahli biologi evolusi teoretis di Pusat Nasional Bioteknologi Spanyol, mengatakan, “Kita semua membawa gen nenek moyang kita karena kita berbagi nenek moyang yang sama.” 

Mungkin orang lupa bahwa kita adalah satu ras yang disebut kemanusiaan. Kita tersebar di seluruh Bumi, berevolusi secara budaya dan fisik. Mereka yang pergi ke utara memiliki kulit terang. Mereka yang tinggal dekat dengan khatulistiwa memiliki kulit gelap. Mereka yang terpapar lebih banyak sinar matahari mengembangkan bentuk mata yang berbeda. 

Setelah waktu yang lama berlalu, mereka bertemu lagi, tetapi mereka telah lupa bahwa mereka adalah saudara. Selama berabad-abad mereka bertarung dan mencoba mendominasi satu sama lain. Di beberapa tempat, mereka yang berkulit terang menjadi lebih kuat dan memerintah yang lain. Dan inilah yang menjadi kehancuran kita.  

Tetapi Pentekosta membawa harapan yang baru sebuah janji yang akan digenapi, bahwa kelak kita semua akan bersatu dan hidup dalam perdamaian.  

Kehidupan kita sebagai komunitas rohani pun tidak terlepas dari pengaruh kehancuran ini. Rev Dr. Martin Luther King Jr, berkata,” Kita harus menghadapi kenyataan yang menyedihkan bahwa pada pukul sebelas pagi hari Minggu, ketika kita berdiri untuk menyanyikan ‘Dalam Kristus tidak ada Timur atau Barat,’ kita berdiri di jam dimana kita sebagai jemaat paling terpisah di Amerika Serikat.” Terpisah karena bahasa, budaya, warna kulit, bentuk mata dan lain sebagainya.  

Mengapa hal itu bisa terjadi? Dimanakah kuasa Roh Kudus? Tanpa kuasa Roh Kudus upaya mempersatukan budaya dan bahasa yang berbeda beda didalam komunitas gereja akan menjadi sia-sia.  

Kejarlah buah buah Roh (Gal 5:22-23) , karena keinginan daging kita pastinya hanya ingin bergaul dan hidup dengan orang-orang yang memiliki satu bahasa, satu budaya, satu kota, dan lain sebagainya, karena ini akan memberikan rasa nyaman dan aman.  

Mengandalkan kekuatan kita sendiri untuk mencapai perdamaian dan persatuan adalah hal yang mustahil. Kita tidak bisa membuat strategi dalam satu generasi kita untuk memulihkan luka ratusan generasi kebelakang kita, hanya kuasa Roh Tuhan sajalah yang bisa melakukannya, karena hanya kuasa Tuhan yang bisa bekerja melewati batas ruang dan waktu.  

Apa yang menjadi bagian kita sebagai umat percaya? Ibrani 10:25: berkata hal yang sederhana namun sangat penting bagi kita “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” 

Hadirilah setiap pertemuan ibadah konferensi, pertemuan doa konferensi, pertemuan iman dan hidup (Faith and Life), dan pertemuan-pertemuan lainnya, baik zoom maupun secara langsung, karena ketika kita bertemu, berdoa di dalam nama Tuhan Yesus, hadirat-Nya nyata di dalam Roh Kita bersama sama.  

Beberapa minggu lalu Philadelphia Praise Center menjadi tuan rumah acara tahunan Ibadah Pentakosta jaringan gereja-gereja Anabaptis Mennonite di Kota Philadephia (KBN). Tanpa Roh Kudus acara ini tidak mungkin terlaksana, kita bisa beribadah bersama-sama, Roh Kuduslah menyatukan kita semua.  

Mari dengan semangat Pentakosta kita melangkah dalam iman untuk memperbesar lingkaran pergaulan kita, dengan kerendahan hati kita mau mengampuni kesalahan bangsa dan generasi, dan dengan penuh keberanian kita mau menghampiri tahta kasih karunia Tuhan bersama sama saudara saudari yang sudah dipersatukan oleh darah Yesus. Tuhan memberkati kita.  

Rev.Dr Calenthia Dowdy dari Philadelphia Fight memimpin doa makan Acara Pentakosta Kingdom Builders Network Philadelphia. Makan bersama adalah salah satu bagian dari ibadah yang penting.  
Acara ini dihadiri Gereja-gereja Anabaptist Mennonite di kota Philadelphia. 
Gereja Pena De Horeb membawakan lagu pujian di dalam acara Pentakosta Kingdom Builders Network Philadelphia 
Pastor Julie Hoke dari Germantown Mennonite Church menjadi pembawa acara 

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Menjangkau Melalui Olahraga

May 9, 2024 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Bermain basket bersama jemaat gereja ILC dan teman-teman setiap akhir pekan.
Mengikuti kompetisi sepakbola 6 vs. 6 bersama rekan-rekan sepelayanan di Philadelphia.

Menjangkau melalui olahraga adalah strategi yang efektif dan dapat mencapai banyak orang. Olahraga adalah kebutuhan bagi setiap individu untuk menjaga kesehatan tubuhnya. Melalui aktivitas olahraga berkelompok, perjuangan untuk konsisten bisa lebih mudah. Meskipun berolahraga sendiri membutuhkan disiplin, namun dengan adanya teman akan membuatnya lebih menyenangkan dan mendorong. 

Penggunaan olahraga sebagai sarana penjangkauan bukanlah hal baru. Banyak gereja dan organisasi rohani yang telah melakukannya sejak lama. Contohnya adalah Young Men’s Christian Association (YMCA) yang didirikan pada abad ke-19 di London. YMCA bertujuan untuk memberikan kegiatan positif yang berlandaskan iman Kristen kepada anak muda. 

Ketika saya pertama kali datang ke Amerika Serikat, saya merindukan kesempatan untuk bermain basket dan sepak bola. Namun, saya harus menunggu lama, terutama dengan adanya pandemi. Akhirnya, kesempatan itu datang dan saya aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan olahraga seperti basket, sepak bola, dan badminton bersama komunitas gereja dan teman-teman. 

Partisipasi dalam olahraga tidak hanya memberikan manfaat kesehatan fisik, tetapi juga menjadi wadah untuk berkomunikasi, membangun hubungan, dan peluang pemuridan. Saya juga menyaksikan Pastor Buddy Hannanto dari International Worship Church, Los Angeles, California, yang memiliki hobi hiking. Beliau sering mengajak jemaat untuk hiking, yang tidak hanya mempererat hubungan tetapi juga menjadi kesempatan untuk penjangkauan. 

Ada pepatah yang mengatakan, “Sekali mendayung dua tiga pulau terlewati.” Berolahraga bersama tidak hanya membuat tubuh sehat tetapi juga mempererat hubungan dengan sesama. Oleh karena itu, penting untuk tidak hanya berkumpul untuk makan bersama, tetapi juga untuk berolahraga bersama. 

Dengan memiliki badan yang sehat dan hubungan yang erat melalui aktivitas olahraga bersama, kita bisa mengalami berkat Tuhan Yesus. Mari kita terus menjaga tubuh dan semangat kita melalui olahraga dan hubungan yang erat dengan sesama. 

Hiking bersama Ps Buddy dan jemaat IWC di Los Angeles, CA

Sekali mendayung dua tiga pulau terlewati. Badan sehat karena berolahraga ditambah dengan hubungan dengan sesama semakin erat dan dekat. 

Kita sudah seringkali mendengar bahwa jamuan makan membuat kita dekat, saya ingin menambahkan bahwa olahraga bersama pun bisa menjadi penyeimbang yang baik. Sehingga tidak hanya makan bersama, tetapi juga berolahraga bersama.  

Mari kita memiliki badan yang sehat dan juga hubungan yang erat dengan aktifitas berolahraga bersama. Tuhan Yesus memberkati.  

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Perjalanan (ke barat) yang panjang

April 18, 2024 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Setiap orang dari Indonesia pasti tidak asing dengan cerita novel dari abad ke-16 Dinasti Ming di Tiongkok yang berjudul “Perjalanan ke Barat” yang memiliki empat tokoh utama: Biksu Tong, Sun Go Kong, Tie Pat Kai, dan Sam Cheng. (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Arthur Waley pada tahun 1942 dengan judul “Monkey: A Folk-Tale of China”),  

Novel ini mengisahkan perjalanan keempat tokoh tersebut dalam misi mengambil kitab suci di Barat, melalui 14 musim panas dingin, menghadapi 81 gangguan dari siluman dan setan sebelum akhirnya mencapai tujuan dan membawa kembali kitab suci itu ke Tiongkok. 

Namun, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa cerita ini diilhami oleh kisah nyata perjalanan seorang biksu Tiongkok bernama Xuanzang yang pada tahun 629-645 Masehi yang pergi ke India dan berhasil kembali ke Tiongkok membawa 657 teks kitab suci.   

Meski hanya 75 teks saja yang ia berhasil terjemahkan ke Bahasa Mandarin dari 657 teks, namun dari apa yang ia berhasil terjemahkan memiliki makna yang sangat signifikan.  

Dari cerita ini saya ingin merefleksikan perjalanan saya ke barat namun dalam konteks yang berbeda. Sebagai salah satu staff pelayanan untuk gereja-gereja Mosaik Indonesia di California Selatan, perjalanan ke Los Angeles dari Philadelphia cukup sering saya lakukan dan setiap perjalanan memberi arti dan kesan yang berbeda.  

California Selatan, khususnya Los Angeles, merupakan kota dimana paling banyak diaspora dari Indonesia, mungkin dikarenakan cuaca cukup mirip dengan di Indonesia, jika dibandingkan dengan daerah daerah lain di Amerika Serikat.  

Ada tiga konggregasi Mosaik Indonesia di greater Los Angeles, antara lain; Imanuel International Fellowship di Colton, JKI Anugerah di Pasadena dan International Worship Church di San Gabriel, dan ada satu rekan pelayanan kami Konggregasi Ark of Christ di Anaheim yang sedang mempertimbangkan keanggotaan bersama dengan Mosaik.  

Saya pribadi sangat menyukai California Selatan, ada kesan yang berbeda yang saya rasakan dengan iklim padang gurun disana. Selain Pohon pohon palem, padang gurun, gunung-gunung batu, Kunjungan dengan komunitas-komunitas Mosaic di California pun membuat setiap perjalanan dalam rangka pekerjaan serasa berkunjung kerumah keluarga sendiri.  

Selain menjalin tali silaturahmi, setiap kunjungan membawa sebuah pemahaman baru mengenai pelayanan yang memperkaya pemahamaan kita bersama. Perjalanan kita masih panjang dan masih banyak yang harus kita pelajari bersama-sama karena Transformasi bersama adalah salah satu tujuan kita hidup berkomunitas.  

Sebagai konferensi yang memiliki latar belakang budaya Swiss-German yang begitu panjang dan proses asimilasi ke dalam Budaya Barat Eropa-Amerika yang begitu lama, kehadiran budaya-budaya baru seperti budaya Hispanik, Afrika dan tata krama dari Timur merupakan sebuah tantangan tersendiri dalam konferensi ini. 

Namun, komitmen kita bersama yang memusatkan iman kepada Yesus, kehidupan kepada komunitas, dan upaya perdamaian pasti akan membuat perjalanan kita semakin indah seiring berjalannya waktu. 

“Jika mau berjalan cepat berjalanlah sendiri, namun Jika mau berjalan jauh berjalanlah bersama” 

Saya diingatkan tentang cerita kedua murid Yesus yang sedang dalam perjalanan ke Emaus. Mereka berjalan dari Yerusalem ke Emaus, menempuh jarak 7 mil, ketika mereka bercakap-cakap dan bertukar pikiran, Yesus mendekati mereka dan berjalan bersama mereka. 

Namun, mereka tidak menyadari bahwa Yesus bersama-sama mereka, sampai pada saat mereka makan bersama, dan Yesus mengambil roti, mengucapkan berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. (Lukas 24:13-35) 

Ayat ini mengingatkan saya tentang dua hal, pertama adalah terkadang kita terlalu fokus pada tujuan kita sehingga kita lupa menikmati perjalanan yang ada sehingga kita melewatkan kehadiran Tuhan dalam setiap proses kehidupan kita. 

Dan kedua adalah bagaimana makan bersama adalah bagian penting dari membangun sebuah hubungan, bahkan ketika kita makan bersama pewahyuan Ilahi dapat terjadi. Ini terjadi kepada dua murid Yesus. 

Dalam perjalanan saya di kota Los Angeles, California, pergi dari satu tempat ke tempat yang lain membutuhkan waktu yang cukup panjang. Namun, dalam perjalanan saya, saya diperkenalkan dengan sebuah lagu himne dari Afrika Selatan yang berjudul, Hamba nathi yang berarti “Marilah berjalan bersama-Ku”. 

Pada kesempatan ini ijinkan saya untuk berbagi lagu tersebut:  

Berikut terjemahan dari liriknya:  

Datang, dan berjalanlah bersama, karena perjalanannya jauh 
Bagikan bebanmu dan bernyailah bersama  
Datang, dan angkatlah, berikanlah hidup baru.  
Berikan kami damai, ketika perjalanan selesai . 
Reff: Perjalanan, perjalanan, perjalanan yang jauh  

Dalam perjalan rohani kita yang sangat jauh ini, berjalanlah bersama sama saudara-saudari seiman kita dan nikmatilah setiap proses yang ada bersama dengan Tuhan. Karena Dia tidak pernah sekalipun membiarkan kita dan meninggalkan kita. Tuhan Yesus memberkati.  


Hendy Matahelemual

Hendy Matahelemual is the Associate Minister for Community Engagement for Mosaic Conference. Hendy Matahelemual was born and grew up in the city of Bandung, Indonesia. Hendy lives in Philadelphia with his wife Marina and their three boys, Judah, Levi and Asher.

Filed Under: Articles, Blog Tagged With: Hendy Matahelemual

  • Go to page 1
  • Go to page 2
  • Go to page 3
  • Interim pages omitted …
  • Go to page 9
  • Go to Next Page »

Primary Sidebar

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami

Footer

  • Home
  • Hubungi Kami
  • Pertemuan Konferensi
  • Visi & Misi
  • Sejarah
  • Formasional
  • Antar Budaya
  • Tim Misi
  • Institut Mosaic
  • Memberi
  • Penatalayanan
  • Keamanan Gereja
  • Artikel

Copyright © 2025 Mosaic Mennonite Conference | Privacy Policy | Terms of Use