oleh Hendy Matahelemual
Setiap orang dari Indonesia pasti tidak asing dengan cerita novel dari abad ke-16 Dinasti Ming di Tiongkok yang berjudul “Perjalanan ke Barat” yang memiliki empat tokoh utama: Biksu Tong, Sun Go Kong, Tie Pat Kai, dan Sam Cheng. (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Arthur Waley pada tahun 1942 dengan judul “Monkey: A Folk-Tale of China”),
Novel ini mengisahkan perjalanan keempat tokoh tersebut dalam misi mengambil kitab suci di Barat, melalui 14 musim panas dingin, menghadapi 81 gangguan dari siluman dan setan sebelum akhirnya mencapai tujuan dan membawa kembali kitab suci itu ke Tiongkok.
Namun, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa cerita ini diilhami oleh kisah nyata perjalanan seorang biksu Tiongkok bernama Xuanzang yang pada tahun 629-645 Masehi yang pergi ke India dan berhasil kembali ke Tiongkok membawa 657 teks kitab suci.
Meski hanya 75 teks saja yang ia berhasil terjemahkan ke Bahasa Mandarin dari 657 teks, namun dari apa yang ia berhasil terjemahkan memiliki makna yang sangat signifikan.
Dari cerita ini saya ingin merefleksikan perjalanan saya ke barat namun dalam konteks yang berbeda. Sebagai salah satu staff pelayanan untuk gereja-gereja Mosaik Indonesia di California Selatan, perjalanan ke Los Angeles dari Philadelphia cukup sering saya lakukan dan setiap perjalanan memberi arti dan kesan yang berbeda.
California Selatan, khususnya Los Angeles, merupakan kota dimana paling banyak diaspora dari Indonesia, mungkin dikarenakan cuaca cukup mirip dengan di Indonesia, jika dibandingkan dengan daerah daerah lain di Amerika Serikat.
Ada tiga konggregasi Mosaik Indonesia di greater Los Angeles, antara lain; Imanuel International Fellowship di Colton, JKI Anugerah di Pasadena dan International Worship Church di San Gabriel, dan ada satu rekan pelayanan kami Konggregasi Ark of Christ di Anaheim yang sedang mempertimbangkan keanggotaan bersama dengan Mosaik.
Saya pribadi sangat menyukai California Selatan, ada kesan yang berbeda yang saya rasakan dengan iklim padang gurun disana. Selain Pohon pohon palem, padang gurun, gunung-gunung batu, Kunjungan dengan komunitas-komunitas Mosaic di California pun membuat setiap perjalanan dalam rangka pekerjaan serasa berkunjung kerumah keluarga sendiri.
Selain menjalin tali silaturahmi, setiap kunjungan membawa sebuah pemahaman baru mengenai pelayanan yang memperkaya pemahamaan kita bersama. Perjalanan kita masih panjang dan masih banyak yang harus kita pelajari bersama-sama karena Transformasi bersama adalah salah satu tujuan kita hidup berkomunitas.
Sebagai konferensi yang memiliki latar belakang budaya Swiss-German yang begitu panjang dan proses asimilasi ke dalam Budaya Barat Eropa-Amerika yang begitu lama, kehadiran budaya-budaya baru seperti budaya Hispanik, Afrika dan tata krama dari Timur merupakan sebuah tantangan tersendiri dalam konferensi ini.
Namun, komitmen kita bersama yang memusatkan iman kepada Yesus, kehidupan kepada komunitas, dan upaya perdamaian pasti akan membuat perjalanan kita semakin indah seiring berjalannya waktu.
“Jika mau berjalan cepat berjalanlah sendiri, namun Jika mau berjalan jauh berjalanlah bersama”
Saya diingatkan tentang cerita kedua murid Yesus yang sedang dalam perjalanan ke Emaus. Mereka berjalan dari Yerusalem ke Emaus, menempuh jarak 7 mil, ketika mereka bercakap-cakap dan bertukar pikiran, Yesus mendekati mereka dan berjalan bersama mereka.
Namun, mereka tidak menyadari bahwa Yesus bersama-sama mereka, sampai pada saat mereka makan bersama, dan Yesus mengambil roti, mengucapkan berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. (Lukas 24:13-35)
Ayat ini mengingatkan saya tentang dua hal, pertama adalah terkadang kita terlalu fokus pada tujuan kita sehingga kita lupa menikmati perjalanan yang ada sehingga kita melewatkan kehadiran Tuhan dalam setiap proses kehidupan kita.
Dan kedua adalah bagaimana makan bersama adalah bagian penting dari membangun sebuah hubungan, bahkan ketika kita makan bersama pewahyuan Ilahi dapat terjadi. Ini terjadi kepada dua murid Yesus.
Dalam perjalanan saya di kota Los Angeles, California, pergi dari satu tempat ke tempat yang lain membutuhkan waktu yang cukup panjang. Namun, dalam perjalanan saya, saya diperkenalkan dengan sebuah lagu himne dari Afrika Selatan yang berjudul, Hamba nathi yang berarti “Marilah berjalan bersama-Ku”.
Pada kesempatan ini ijinkan saya untuk berbagi lagu tersebut:
Berikut terjemahan dari liriknya:
Datang, dan berjalanlah bersama, karena perjalanannya jauh
Bagikan bebanmu dan bernyailah bersama
Datang, dan angkatlah, berikanlah hidup baru.
Berikan kami damai, ketika perjalanan selesai .
Reff: Perjalanan, perjalanan, perjalanan yang jauh
Dalam perjalan rohani kita yang sangat jauh ini, berjalanlah bersama sama saudara-saudari seiman kita dan nikmatilah setiap proses yang ada bersama dengan Tuhan. Karena Dia tidak pernah sekalipun membiarkan kita dan meninggalkan kita. Tuhan Yesus memberkati.
Hendy Matahelemual
Hendy Matahelemual is the Associate Minister for Community Engagement for Mosaic Conference. Hendy Matahelemual was born and grew up in the city of Bandung, Indonesia. Hendy lives in Philadelphia with his wife Marina and their three boys, Judah, Levi and Asher.
The opinions expressed in articles posted on Mosaic’s website are those of the author and may not reflect the official policy of Mosaic Conference. Mosaic is a large conference, crossing ethnicities, geographies, generations, theologies, and politics. Each person can only speak for themselves; no one can represent “the conference.” May God give us the grace to hear what the Spirit is speaking to us through people with whom we disagree and the humility and courage to love one another even when those disagreements can’t be bridged.
This post is also available in: English (Inggris)
This post is also available in: English (Inggris)