• Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Skip to footer

Mosaic MennonitesMosaic Mennonites

Missional - Intercultural - Formational

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami
  • English (Inggris)
  • Español (Spanyol)
  • Indonesia

Hendy Matahelemual

Batu Penjuru Atau Batu Loncatan?

October 5, 2023 by Conference Office

Keluarga kami mengambil perjalanan sehari ke New York City selama liburan musim panas. Kami biasanya melakukan perjalanan ini sekali setiap dua hingga tiga bulan. Anak-anak kami sangat menyukai menjelajahi taman bermain dan taman kecil di kota ini, sementara istri saya dan saya menikmati tur film, mencari tempat-tempat yang pernah kami lihat di film.

Namun, itu bukan satu-satunya alasan kami mengunjungi kota ini. Kami selalu akan mengingat New York karena kami pertama kali datang ke Amerika Serikat melalui kota ini. Anak kedua kami lahir di sini, dan kami memulai pelayanan kami di Amerika Serikat di sini. Kami tinggal di New York beberapa tahun sebelum pindah ke Philadelphia. Perjalanan kami ke New York City terasa seperti sebuah ziarah.

Aneh mungkin terdengar, saya belajar tentang dan merangkul keyakinan Anabaptis tepat di New York City ini. Kenangan saya tentang perjalanan ke Eastern Mennonite Seminary di Lancaster, Pa., dengan pemandangan yang berubah dari pencakar langit menjadi pertanian dan sebaliknya, masih segar dalam ingatan.

Saya dulu berdoa agar pelayanan saya menjadi berkat bagi bangsa dan generasi, tetapi tidak pernah terpikir oleh saya bahwa Tuhan ingin mengirim saya sejauh ini, apalagi menjadi pelayan di Gereja Mennonite. Tetapi Tuhan mampu melebihi semua harapan, seperti yang ditulis oleh Rasul Paulus: “Kepada Dia yang dengan kuasa yang bekerja di dalam kita sanggup melakukan jauh lebih dari pada yang kita doakan atau pikirkan, kepada-Nya kiranya kemuliaan di dalam jemaat dan di dalam Kristus Yesus turun-temurun sampai seluruh keturunan, dari segala abad sampai selama-lamanya” (Efesus 3:20-21).

Salah satu hal yang saya pelajari dari menjadi Mennonite di kota dan tinggal di Philadelphia adalah bagaimana menjadi pribadi yang berorientasi misi — menyembuhkan apa yang telah rusak dalam hubungan, lingkungan, dan dunia kita dengan berbagi dan menjalani Kabar Baik Yesus.

Di kota, masalah sosial sangat tampak. Biasa melihat kesenjangan yang tajam, seperti SUV Mercedes G-Class yang diparkir dekat orang yang tunawisma. Seorang sesama pastor di sini pernah mengalami pengalaman mendebarkan saat peluru meluncur masuk ke kantornya, yang untungnya tidak menyebabkan kerusakan. Kota ini berjuang dengan masalah kesehatan mental, kompleksitas imigrasi, penyalahgunaan narkoba, dan kejahatan.

Kita juga bisa melihat bagaimana suatu lingkungan dari kode posnya, apakah berpenduduk hitam, putih, Asia, atau Hispanik. Dalam beberapa hal, kita masih terpisah, dan ada sedikit interaksi yang disengaja antar komunitas.

Banyak orang melihat ini sebagai masalah yang harus dihindari, tetapi saya percaya ini adalah peluang yang memerlukan kehadiran kita. Yeremia 29:7 berbicara kepada saya secara pribadi, “Usahakanlah kesejahteraan kota tempat Aku telah mengasingkan kamu ke sana dan berdoalah bagi kota itu kepada Tuhan, sebab dalam kesejahteraannya kamu akan mendapat kesejahteraanmu sendiri.”

Ketika orang Israel berada di Babel, nabi Yeremia berbicara kepada mereka untuk berdoa bagi kota mereka dan membawa perdamaian kepadanya. Sebagai pengikut Yesus yang mengembras nilai-nilai Mennonite, kita dipanggil untuk menjadi agen rekonsiliasi. Damai adalah inti dari pekerjaan kita.

Saya mengajak orang untuk tinggal di kota ini dan memberikan kontribusi bagi masyarakat dan lingkungan. Banyak orang melihat kota sebagai batu loncatan dan bukan sebagai dasar tempat mereka dapat membangun. Banyak orang melihat ruang perkotaan sebagai lokasi untuk menggandakan keuntungan dan bukan sebagai tempat untuk membangun keluarga dan komunitas. Cara berpikir ini harus berubah.

Di antara populasi perkotaan yang berjumlah jutaan ini, tidak banyak Mennonite. Tetapi jika Anda salah satunya: “Jadilah kuat dan berani; janganlah takut dan janganlah gentar, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke mana saja engkau pergi” (Yosua 1:9).

Teruslah berbuat baik, menjalin hubungan, dan menyebarkan perdamaian ke setiap sudut kota.

Saya mengundang Mennonite dari pinggiran dan daerah pedesaan untuk datang dan memberikan pelayanan di kota ini dan melihatnya bukan sebagai tempat untuk dihindari karena konotasi berdosa, tetapi sebagai tempat di mana kasih dan mujizat Yesus akan menjadi kenyataan.

*Artikel ini dimuat juga di majalah anabaptistworld

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Keterbukaan Awal Sebuah Pemulihan

September 21, 2023 by Conference Office

Photo by Jon Tyson on Unsplash

Sebuah luka / trauma hanya bisa sembuh jika dibuka, diakui dan tidak ditutup tutupi. Yakobus 5:16 berkata “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.”

Arti dosa disini memiliki cakupan luas, bukan saja dosa pribadi melainkan dosa kolektif akibat dari sistem dunia yang korup. Dan inilah yang terkadang tidak kita sadari. Trauma-trauma kolektif akibat dosa ini perlu kita sadari dan akui. Sebagai contoh saudara-saudari kita yang berkulit putih mengakui dosa kolektif
masa lalu mereka dalam berpartisipasi dalam perbudakkan.

Sebagai orang Indonesia kita tidak lepas dari trauma trauma kolektif yang terjadi di masa lalu kita. Trauma Kolonialisme, Penjajahan, Kekerasan dan Rasisme perlu kita akui sebagai bagian dari bangsa kita yang harus sembuh.

Pendeta Nala Widya, mantan atlet sepeda nasional memiliki kutipan bagus, Ia berkata, “Luka yang sudah sembuh mungkin membekas terlihat, tetapi tidak terasa sakit lagi jika disentuh”, beliau mengilustrasikan hal ini dengan menceritakan pengalaman kecelakaan sepeda berat yang pernah ia alami yang menyebabkan pipinya harus dijahit. Luka itu membekas dan tidak hilang namun ketika sudah pulih tidak lagi ada rasa sakit.

Apakah ada trauma-trauma kolektif masa lalu kita yang masih belum sembuh? Apakah ada hal-hal yang membuat kita sebagai jemaat merasa gelisah, kawatir, tersinggung, bahkan sakit hati ketika menghadapi isu-isu yang ada? Mari kita berdoa meminta Tuhan untuk menyingkapkan dan memulihkan kita semua.

Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. – 1 Yohanes 1:9

Ada sebuah film Indonesia yang menarik perhatian saya, meskipun film ini masih dalam proses akhir pengambilan gambar, mendengar ringkasannya membuat hati saya tergerak antara ingin melihat dan juga disatu sisi ada sedikit rasa cemas dan ragu apakah saya sudah siap untuk menonton film ini.

Film ini berjudul kupu-kupu kertas disutradarai oleh Emil Heradi, menceritakan ada sepasang kekasih, Ning dan Ikhsan. Ning adalah seorang simpatisan PKI, sedangkan Ikhsan berasal dari keluarga NU yang mencintai satu sama lain meskipun memiliki perbedaan ideologi. Hingga keluarga Ikhsan tewas, Ikhsan bingung apakah akan membalas dendam kepada PKI atau menyelamatkan nyawa Ning, kekasihnya.

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kata PKI (Partai Komunis Indonesia) memiliki konotasi yang begitu buruk. Pembersihan dan Penghilangan semua unsur-unsur yang terkait dengan PKI pada tahun 1965-1966 menorehkan luka dan trauma yang begitu besar bagi bangsa ini, sehingga periode ini terkenal dengan pembunuhan masal yang mencatat korban 500.000 sampai dengan 1.2 juta jiwa.

Tidak banyak yang ingin menghidupi kembali trauma masa lalu, namun hal ini juga menandakan bahwa pemulihan atas trauma tersebut belum terjadi. Bangsa kita perlu sembuh dari luka luka masa lalu. Rekonsiliasi antar golongan, antar etnis suku bangsa, antara Agama, perlu disertai dengan doa dan dilakukan dengan nyata dan terencana.

Sebuah buku ditulis oleh Agus Suyanto, Rev Paulus Hartono yang berjudul “The Radical Muslim and Mennonite” (Muslim Radikal dan Mennonite) menceritakan dialog dan hubungan antara kelompok Hizbulah dan Komunitas Mennonite di Solo. Agus Suyanto dan Pendeta Paulus Hartono, berkata “Tak Kenal maka Tak Sayang”. Mengenal Trauma-trauma masa lalu masing-masing membuat kedua kelompok ini bisa lebih mengerti satu sama lain, dan membangun dialog dan kerja sama bersama sama.

Mengakui dan kejujuran akan luka-luka dan trauma trauma masa lalu adalah awal dari sebuah pemulihan. Tuhan Yesus Kristus turun kedunia ini untuk memulihkan tatanan yang rusak yang disebabkan oleh dosa manusia. Ia juga datang untuk mempersatukan yang jauh menjadi dekat oleh kuasa darah-Nya. Sebagai umat yang sudah diselamatkan dan sudah diberi berkat dan kuasa, menjadi pembawa damai adalah tugas kita bersama-sama.

Mari terus menerus berdoa dan merefleksikan hidup kita kedalam komunitas yang semakin hari boleh semakin dipulihkan dengan semangat kebersamaan bahwa kita adalah bagian yang hancur namun bersama-sama di dalam kuasa kasih karunia Tuhan, bagian ini bisa menjadi bagian yang indah. Tuhan Yesus memberkati.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Perjuangan membawa damai Kristus dalam komunitas 

August 30, 2023 by Conference Office

Karena perjuangan kita bukanlah melawan darah  dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah  melawan penguasa-penguasa,  melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara – Efesus 6:12 

Sebagai pengikut Yesus kami percaya bahwa perjuangan kita sekarang bukan melawan darah dan daging, kita berjuang tanpa kekerasan selayaknya Yesus sendiri memerintahkan kita untuk menjadi pembawa damai. Kita dipanggil bukan untuk mengangkat senjata, tetapi untuk membawa damai di muka bumi.  

Karena pada akhirnya Tuhanlahh yang akan mengadili semuanya, seperti yang dikatakan Nabi Yesaya (Yesaya 4:2) Ia akan Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa dan akan menjadi wasit bagi banyak suku bangsa; maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang. 

Sebagai komunitas Indonesia di tanah asing, kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa Asing, perlu disikapi secara cermat. Kita tidak mendukung kekerasan tetapi kita mendukung keadilan, dan Tuhan berikan kemerdekaan itu sehingga bangsa kita bisa menentukan nasibnya sendiri. 

Ps Aldo Siahaan mendapatkan penghargaan “Building Bridges Award” dalam acara perayaan kemerdekaan Indonesia di City Hall, Philadelphia
(photo courtesy: Haris Tjio)  

Meskipun jauh dari sempurna, namun di dalam segala sesuatu Tuhan bisa bekerja mendatangkan kebaikkan bagi mereka yang mengasihi-Nya dan terpanggil sesuai dengan rencananya.  

Tidak ada yang memilih untuk bisa dilahirkan di Indonesia atau di keluarga yang memiliki budaya Indonesia. Namun saya percaya ada maksud Tuhan yang Tuhan berikan kepada kita semua. Kita perlu berdoa untuk bangsa Indonesia, karena ketika kita berdoa dan bekerja kita sedang berjuang melawan kuasa kegelapan. Kita juga perlu berdoa untuk bangsa Amerika dimana Tuhan tempatkan kita disini.  

Ps Hendy mendapatkan kesempatan untuk berdoa bagi bangsa Indonesia di acara Perayaan Kemerdekaan Indonesia di City Hall, Philadelphia
(photo courtesy: Haris Tjio) 

Hari kemerdekaan Indonesia ke 78 tahun ini dirayakan dengan cukup meriah oleh gereja-gereja Indonesia di Mosaic Conference. Perlombaan perlombaan dan berbagai macam permainan pastinya mengisi perayaan kali ini.  

Perlombaan Tarik Tambang di International Worship Church, San Gabriel, CA
(Photo courtessy: IWC Multimedia) 
Perlombaan permainan bola mengenakan daster di International Worship Church, San Gabriel, CA
(Photo courtessy: IWC Multimedia) 

Indonesian Light Church juga memanfaatkan acara ini untuk penggalangan dana misi dan perlengkapan gereja dengan menjual berbagai macam masakkan dan jajanan yang terbuka secara umum.  

Warung 17-an Indonesian Light Church, Philadelphia
(photo courtessy: ILC Multimedia) 

Tema merah putih, bisa dimaknai ulang sebagai Darah Yesus yang sudah dicurahkan kepada kita semua supaya kita bisa dipulihkan disucikan, bukan karena usaha kita tetapi karena kasih karunia Tuhan kepada kita semua.  

Dress code merah putih Jemaat International Worship Church
(photo courtesy: IWC Multimedia) 

Mari berdoa buat perdamaian bangsa-bangsa, mari berdoa buat pemerintah pemerintah, mari berdoa agar damai Tuhan kita Yesus Kristus turun atas bangsa bangsa. Dan mari berdoa meminta kekuatan kepada Tuhan supaya sebagai murid-murid Yesus, kami semua bisa turut aktif dalam perdamaian ini. Tuhan Yesus memberkati kita semua.  

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Program Duta Kristus Mosaik (Ambassador Program)

August 24, 2023 by Cindy Angela

Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah. – 2 Korintus 5:20

Sebagai perwujudan dari ayat ini, Konferensi Mosaic khususnya tim Intercultural memiliki program Duta Kristus (Ambassador Program) untuk memperlengkapi pemuda-pemudi di gereja-gereja yang tergabung dalam  Konferensi Mosaik.

Program Duta Kristus (Ambassador Program) ini sudah berjalan untuk tahun yang kedua, dan terbuka untuk pemuda pemudi gereja (usia 18-24 tahun) untuk melakukan kerja pelayanan musim panas di gereja masing masing dengan bimbingin dari tim formasi pemuda dari Konferensi Mosaik.

Retreat dimulai dengan makan siang makan makanan tradisional Dominika (Dominican).

Pada program tahun ini, 7 orang anak muda terpilih Mereka antara lain Daniella Cortez (Centro De Alabanza), Dustin Aurelius (ILC), Hiromi (PPC), Juan (Crossroad Philadelphia), Sydney Yoder (Whitehall), Timothy Dave (IWC) dan Victoria Lioe (ILC).

Program ini berjalan selama 10 minggu, antara bulan Juni sampai dengan Agustus. Sebagai penutup dari program ini para peserta akan mengikuti retreat bersama selama 3 hari 2 malam, untuk belajar lebih lagi mengenai pelayanan dan kepemimpinan.

Ps. Angela Moyer, Ps Charlene Smalls, Ps Danilo Sanchez, menjelaskan mengenai pelayanan yang Gereja Ripple lakukan di kota Allentown,PA.

Retreat Ambassador kali ini diadakan di Allentown, PA, dimana para peserta akan belajar mengenai pelayanan kontekstual yang dilakukan oleh gereja-gereja (Ripple dan Whitehall) dan juga organisasi Kristen lainnya di kota ini. 

Banyak pertanyaan pertanyaan menarik dari peserta terjawab terutama mengenai bagaimana menghadapi tantangan ketika pelayanan menemui kesulitan, dan bagaimana menemukan kekuatan bukan saja untuk bertahan tetapi untuk berkemenangan dalam pelayanan.

Satu hal yang juga menjadi menarik khususnya bagi komunitas Indonesia adalah, kelima dari tujuh orang peserta program ini berasal dari Gereja-gereja Indonesia di Konferensi Mosaik. Selain belajar mengenai pelayanan dan kepemimpinan mereka juga menjalin pertemanan dan persaudaraan bersama sama.

Para peserta melakukan pelayanan membantu mempersiapkan makan siang untuk anak-anak yang sedang melakukan Vacation Bible School di gereja Ripple.
Mendengarkan sesi kepemimpinan dan tanya jawab bersama Cohesion network sebuah organisasi pelatihan dan pemuridan di Allentown.

Mari kita sama sama berdoa buat para peserta program tahun ini supaya bisa mengaplikasikan apa yang mereka pelajari ke dalam konteks mereka masing-masing. Berdoa juga supaya lebih banyak lagi anak-anak muda bisa melayani dan terpanggil sebagai duta Kristus di dalam  komunitas gereja kami. Dan sampai jumpa di program Duta Kristus tahun depan, Tuhan Yesus memberkati.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Pasar Malam Indonesia: Berkumpul, Berbagi, dan Berkemenangan

August 10, 2023 by Cindy Angela

Satu minggu lalu Gereja Philadelphia Praise Center di South Philadelphia, mengadakan acara pasar malam Indonesia. Acara diadakan di luar gedung di jalan depan gereja. Sempat ada keraguan mengingat cuaca yang sangat panas minggu itu dan juga hujan yang terkadang tidak dapat diperkirakan. Tetapi mengucap syukur acara berjalan begitu sukses.

Meskipun ada beberapa mobil yang tidak dipindahkan oleh penduduk setempat, tidak menghalangi antusiasme komunitas Indonesia untuk berkumpul, makan bersama dan saling bersilaturahmi satu sama lain.

Stand-stand yang menjual makanan berasal dari usaha kecil menengah dari anggota komunitas tersendiri. Gereja Indonesian Light Church juga menjadi salah satu kontributor dengan menjual makanan khasnya tersendiri. Acara dimulai pukul 4 sore dengan rencana selesai pada pukul 9 malam, namun dikarenakan semua makanan-makanan pada habis terjual, acara selesai lebih cepat, dengan disertai perut kenyang dan hati bersukacita.

Dikarenakan faktor geografis kota Philadephia Selatan (South Philly), komunitas Indonesia disini cukup dekat satu sama lain, dan sangat kekeluargaan. Diperkirakan ada sekitar 8,000-10,000 Orang Indonesia, di Philadelphia, dimana mayoritas semua tinggal di Philadelphia Selatan.

Baru baru ini, Southeast Asian Market yang setiap akhir pekan diadaakan di taman FDR Park di South Philly mendapat sorotan nasional, menjadi salah satu tempat makan terbaik versi Majalah Food and Wine. Ada beberapa stall makanan Indonesia juga menjadi bagian daripada pasar ini.

Makanan tanah air memang memiliki tempat tersendiri di komunitas Indonesia apa lagi sebagai perantau di tanah asing. Immigran Indonesia di Amerika termasuk kelompok immigran yang paling muda dibandingkan immigran lainnya (China, Italia, Vietnam, Korea, Cambodian).

Karena tidak banyak bagi kelompok immigran asal Indonesia ini yang bisa pulang pergi ke Indonesia dikarenakan status immigrasi mereka. Kerinduan akan tanah air sedikit terobati jika ada acara acara komunitas, khususnya acara dimana makanan-makanan Indonesia menjadi sorotan utama.

Kesenangan dan kegembiaraan bersama ini menjadi penghibur ditengah tantangan kehidupan / perkerjaan sebagai perantau di tanah asing, hiburan ditengah peliknya masalah imigrasi, hiburan ditengah kerinduan akan keluarga di kampung halaman.

Mari berdoa buat setiap komunitas Indonesia dimana saja disetiap penjuru Amerika Serikat, dari New York, Philadelphia sampai ke pantai barat Los Angeles dan sekitarnya, meskipun sulit dan tidak mudah tetapi doa kita masing masing adalah semoga damai dan penghiburan dari Roh Kudus bukan saja menghibur tetapi juga memberikan pengharapan yang tak ada habis habisnya, dimana kita semua bisa terus maju dengan penuh keberanian dalam setiap hari hari yang kami lewati. Tuhan Yesus memberkati.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Pengalaman Kolektif dalam Menyambut Janji Tuhan dan Misi Kolektif Gereja

July 20, 2023 by Cindy Angela

Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu; – Yeremia 29:11-12

Ketika bangsa Israel sedang berada di pengasingan di Babel, Nabi Yeremia diutus oleh Tuhan untuk memberitakan dan mengingatkan janji Yahwe kepada bangsa Israel. Janji untuk memberikan masa depan yang penuh harapan. Dimana janji ini juga tersedia bagi kita ketika kita menjadikan Yesus pusat kehidupan kita.

Tetapi seringkali mungkin pengaruh dari individualisme dari barat, janji ini lebih dilihat secara individual / personal daripada secara kolektif dan kebersamaan. Sehingga ini menyebabkan berita baik Yesus menjadi terbatas hanya kepada pengalaman individu saja, Padahal pengalaman kolektif dan komunitas terhadap janji Tuhan sama pentingnya dengan pengalaman individual.

Sebagai komunitas gereja di bawah naungan Mosaic Mennonite Conference, gereja-gereja imigran Indonesia, sangat mengedepankan pengalaman kolektif kebersamaan. Bahkan dalam peribahasa Indonesia, ada yang berkata “makan tidak makan asal kumpul“.

Memang biasanya yang menyatukan kita bersama adalah perayaan, keramahtamahan, dan makanan, tetapi secara budaya meski hal tersebut tidak ada, perkumpulan tidak akan menjadi hilang.

Dan inilah seharusnya kita menyikap konferensi (Mosaic) kita. Mungkin sebagai seorang immigran Indonesia, kita tidak begitu mengenal atau familiar dengan kata konferensi / konfrens, selain mendengarnya dari pelajaran sejarah.

Photo by Hannah Busing on Unsplash

Konferensi dalam arti ini adalah perkumpulan, Konferensi ada perkumpulan yang sepakat untuk berjalan bersama, dengan visi misi bersama, dimana anggota anggota konferensi ini adalah jemaat atau gereja gereja, yang tentunya juga memiliki visi dan misinya tersendiri. Tetapi apa yang menyatukan kita sebagai konferensi? Apakah sekedar visi dan misi?

Saya percaya visi dan misi organisasi bisa berubah sesuai dengan kebutuhan, tetapi yang seharusnya tidak berubah adalah pemahaman kita sebagai bagian dari sebuah jemaat. Tuhan Yesus berkata kepada wanita Samaria, “Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.” – Yohanes 4:23

Kita menyembah Tuhan bukan saja secara individu tetapi secara kolektif. Bukan hanya menyembah dengan suku, bahasa, ras, latar belakang yang sama, tetapi secara keseluruhan. Bukankah ini yang Rasul Paulus katakan mengenai kesatuan, ketika ada perpecahan diantara jemaat mula mula? Setuju tidak setuju tetap kumpul.

Dua hal yang menurut saya perlu dipertimbangkan, yang pertama adalah memaknai perkumpulan itu sendiri, terkadang kita semua terkekang oleh tradisi mengenai perkumpulan / gereja / apapun, sehingga kita tidak mau merubah apa yang sudah terasa nyaman bagi kita.

Yang kedua adalah, memaknai arti menyembah, apakah penyembahan kita masih berpusat pada diri kita sendiri, berpusat pada kelompok kita masing masing, berpusat pada apa yang menurut kita benar. Ataukah penyembahan kita berpusat pada Yesus, berpusat pada ajaran-ajaran-Nya, berpusat pada orang lain, khususnya yang terakhir, terhilang dan terkecil, dan berpusat pada apa yang benar dimata Yesus. Mari menjadikan ini perenungan kita masing masing.

Mari sekaligus juga berdoa untuk proses “Pathway Forward” beserta seluruh tim pengarah yang memiliki misi  memimpin proses perencanaan strategis dua tahun untuk menetapkan sebuah jalan sesuai dengan prioritas, visi dan misi yang akan mengarahkan konferensi kita untuk 3-5 tahun ke depan dalam bekerja bersama sebagai jemaat, pelayanan terkait konferensi, dewan, dan staf,  denominasi (MC USA),dan dengan komunitas Anabaptis lainnya.

Percaya bahwa Tuhan akan menyertai setiap kita, melalui Roh-Nya bekerja merubah apa yang perlu dirubah, menegaskan apa yang perlu dikuatkan, sehingga perdamaian Kristus menjadi penuh didalam setiap kita. Tuhan Yesus memberkati.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Ibadah Gabungan Indonesian Light Church dan Zion Mennonite Church

June 22, 2023 by Cindy Angela

Pada tanggal 11 Juni 2023, Indonesian Light Church bersama dengan Zion Mennonite Church mengadakan Ibadah Gabungan di gedung Zion Mennonite Church, Souderton,PA. Ibadah dilanjutkan dengan makan siang bersama. 

“Merupakan hal yang natural jika kita ada bersama dengan orang orang yang memiliki budaya,bahasa,dan latar belakang yang sama. Tetapi kita menyembah Tuhan yang Supernatural, Dia akan menyatukan kita kepada keluarga rohani yang membuat kita menjadi semakin kaya dalam kasih persaudaraan, gotong royong saling membangun dan melengkapi” Kutipan Sambutan dari Ps.Hendy

Kedua jemaat sangat diberkati dengan ibadah ini dan sangat menantikan kolaborasi berikut di masa depan. 

  • Foto bersama Zion Mennonite Church dan Indonesian Light Church
  • Ps Sonya menyampaikan kotbah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Ps Hendy
  • Tim pujian penyembahan gabungan Zion dan ILC
  • Tim musik Zion dan ILC
  • Jemaat ILC berfoto bersama di halaman Zion Mennonite Church
  • Display sambutan dari Gereja Zion
  • Ibadah dilanjutkan dengan makan bersama (pencuci mulut cupcake berbendera Indonesia)

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual, Indonesian Light Church, Zion

Takut Ketinggalan

June 8, 2023 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Artikel ini pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Inggris di Anabaptist World dengan judul “I thought I was missing out”. Klik tautan ini untuk membaca versi aslinya.

Photo by Zack Smith on Unsplash

Saya dibesarkan sebagai Katolik di Indonesia, jadi ada masanya satu-satunya musik penyembahan yang saya tahu adalah himne. Saya suka menyanyi, jadi saya ikut paduan suara di gereja dan di sekolah. Saya suka menyembah Tuhan dengan musik.

Tapi saya merasa ada sesuatu yang hilang. Saya tidak tahu apa itu sampai saya menemukan musik penyembahan kontemporer. Ini adalah musik yang berbicara kepada saya sampai saat ini. Memiliki kesempatan untuk menyembah Tuhan dalam sebuah band membuat saya bersemangat.

Salah satu alasan saya mencintai gereja Anabaptis saya adalah kami tidak hanya menyanyikan himne tetapi juga musik kontemporer. Tidak ada satu pun gaya musik yang tepat untuk menyembah Tuhan, selama hatimu benar dengan Tuhan.

Ketika saya pindah ke Philadelphia dan menjadi pendeta di Indonesian Light Church — anggota Mosaic Mennonite Conference of Mennonite Church USA — saya belajar sesuatu yang penting tentang ibadah: Yang penting adalah kondisi hati kita, bukan gaya musiknya.

Ketika saya mulai beribadah di sini, kami hanya memiliki satu keyboard dan hanya menyanyikan himne. Sebagian dari diri saya berjuang, karena saya ingin beribadah dengan musik kontemporer. Tapi sebagai pendeta baru, saya ingin menghormati tradisi, jadi kami tidak mengubah apapun.

Saat pandemi terjadi, banyak hal yang harus kami atur ulang untuk mengakomodir layanan online. Lebih mudah bagi saya memimpin ibadah dengan bermain gitar. Kami mulai menggunakan musik kontemporer selain himne, dan jemaat menerimanya.

Hari ini jemaat kami semakin berkembang. Kami memiliki band ibadah penuh setiap hari Minggu. Namun Tuhan terus mengingatkan saya bahwa bukan budaya atau gaya ibadah yang penting, melainkan hasil yang berasal dari budaya dan ibadah kita.

Ini semua tentang Yesus dan kondisi hati kita.

Saya pikir kita perlu menjawab beberapa pertanyaan ketika kita mempertimbangkan gaya ibadah mana yang tepat untuk kita.

Apakah ibadah kita membuat kita semakin dewasa sebagai orang Kristen, atau kita hanya ingin mengikuti trend? Apa yang terbaik untuk gereja lain mungkin bukan yang terbaik untuk kita. Daripada meniru orang lain, mengapa tidak membuat gaya ibadah Anda sendiri?

Apakah jemaah semakin penuh kasih atau justru semakin sibuk? Dibutuhkan banyak pekerjaan untuk mengelola band lengkap, dengan semua peralatannya. Kita perlu mengingatkan diri kita sendiri bahwa tujuan kita bukan untuk menampilkan pertunjukan yang hebat tetapi untuk membantu sidang mengasihi Allah dan sesama. Jika kita tidak melihat komunitas kita semakin dekat sebagai hasil dari ibadah kita, mungkin akan lebih baik, dan lebih mudah, hanya memiliki satu keyboard dalam kebaktian.

Ada fenomena dalam budaya kita yang disebut FOMO: fear of missing out atau takut ketinggalan. Merasakan sesuatu yang mengasyikkan atau menarik mungkin terjadi tanpa kita, dan itu akan sangat buruk!

Saya pikir ada banyak FOMO dalam ibadah Kristen kontemporer. Orang-orang bersemangat tentang apa pun yang baru. Mereka harus mencobanya atau merasa tertinggal.

Saya rasa kita tidak harus selalu mengupdate daftar lagu kita dengan lagu terbaru dari artis kristen populer terbaru. Kita tidak perlu meniru gaya musik gereja lain. Kita tidak harus memiliki semua peralatan musik yang mewah.

Saya akui bahwa saya takut ketinggalan di awal pelayanan saya di Philadelphia. Sementara gereja-gereja lain menyanyikan lagu-lagu terbaru, saya terjebak dengan himne lama. Tapi sekarang saya bersyukur Tuhan mengingatkan saya apa yang penting: kondisi hati saya.

Sebuah lagu oleh Matt Redman, “Heart of Worship,” mengingatkan saya pada hal yang paling penting: Semuanya tentang Yesus. Bukan peralatan mewah dan lagu terbaru.

Ini adalah beberapa lirik Redman: “Saya akan membawakan Anda lebih dari sebuah lagu, karena sebuah lagu itu sendiri bukanlah yang Anda butuhkan. Anda mencari jauh lebih dalam, melalui cara segala sesuatu tampak. Anda melihat ke dalam hati saya. Saya kembali ke inti ibadah. Dan ini semua tentangmu, Yesus.”

Saya percaya Yesus tidak peduli apakah kita menyanyikan harmoni empat bagian atau mengikuti irama musik dansa elektronik selama hati kita bersamanya. Yesus memanggil kita untuk diubah, bukan untuk menyesuaikan diri dengan budaya, baik Kristen sekuler maupun kontemporer.

Yesus ingin kita menghasilkan buah yang baik dalam hidup kita, bukan mengikuti tren. Ketika kita memusatkan perhatian kita pada Yesus, kita tidak melewatkan apa pun.

Filed Under: Articles, Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

  • « Go to Previous Page
  • Go to page 1
  • Go to page 2
  • Go to page 3
  • Go to page 4
  • Go to page 5
  • Interim pages omitted …
  • Go to page 9
  • Go to Next Page »

Primary Sidebar

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami

Footer

  • Home
  • Hubungi Kami
  • Pertemuan Konferensi
  • Visi & Misi
  • Sejarah
  • Formasional
  • Antar Budaya
  • Tim Misi
  • Institut Mosaic
  • Memberi
  • Penatalayanan
  • Keamanan Gereja
  • Artikel

Copyright © 2025 Mosaic Mennonite Conference | Privacy Policy | Terms of Use