• Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Skip to footer

Mosaic MennonitesMosaic Mennonites

Missional - Intercultural - Formational

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami
  • English (Inggris)
  • Español (Spanyol)
  • Indonesia

Hendy Matahelemual

Hubungan yang Layak Diperjuangkan

May 18, 2023 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Ditulis untuk Anabaptist World – Tautan Artikel

Saya suka menonton film, dan salah satu yang menarik perhatian saya tahun ini adalah “Everything Everywhere All at Once” (Segalanya Dimana saja Sekaligus). Ketika saya membaca bahwa itu membahas tema filosofis tentang keberadaan kita, depresi, trauma generasi, dan identitas Asia-Amerika, saya tahu saya harus melihatnya.

Film ini menceritakan kisah tentang keluarga imigran Asia di Amerika Serikat yang berjuang untuk menemukan makna, cinta, koneksi, keamanan, harapan, dan iman sambil mengalahkan kekuatan jahat di multiverse. Itu terhubung dengan saya di banyak tingkatan – sebagai orang Asia, sebagai imigran, dan sebagai orang beriman.

Mungkin kesan pertama dari film ini  serasa berantakan, kacau dan rumit, tetapi pada intinya adalah cerita sederhana – sebuah kisah rekonsiliasi.

© A24 Films

Saya kagum dengan bagaimana film ini menangkap realitas kacau dari sebuah keluarga imigran. Terkadang semuanya tampak terjadi sekaligus, dan kita dipaksa untuk beradaptasi dengan cepat hanya untuk bertahan hidup.

Hidup di lebih dari satu budaya, seperti yang dilakukan para imigran, itu berantakan, menyakitkan, dan kacau. Mungkin juga tidak teratur dan membingungkan. Tapi kemudian Anda akan melihat sesuatu secara berbeda dari sudut pandang budaya lain, dan Anda akan menyadari bahwa sesuatu yang penting dalam budaya sendiri belum tentu penting dalam budaya orang lain.

Film ini mengingatkan saya pada peran seni bela diri dalam budaya yang berbeda. Setiap budaya, terutama di Asia, memiliki disiplin seni bela diri sendiri. Dan, bertentangan dengan apa yang media gambarkan sebagai aksi kekerasan, seni bela diri menawarkan transformasi konflik dengan cara damai.

“Seni bela diri sejati bukanlah tentang mematahkan tulang lawan atau memaksa menyerah secara memalukan. Hasil tersebut hanya mengarah pada konflik lebih lanjut. Itu tentang perdamaian dan antikekerasan dan hasil yang aman dan terhormat untuk semua, ”kata Steve Thomas, seorang pendeta Mennonite yang memegang sabuk hitam di Tae Kwon Do.

Itulah hasil dari seni bela diri yang digunakan oleh protagonis, Evelyn Wang, yang diperankan oleh aktris Malaysia Michele Yeoh, dalam Segalanya Di Mana Saja Sekaligus. Dia berjuang untuk membawa perdamaian, tanpa kekerasan dan rekonsiliasi. Dia melakukan ini dengan menggunakan kekuatannya untuk menghubungkan dan memahami kerinduan dan keinginan terdalam lawan dan kemudian memenuhinya, menyebabkan semua berhenti berkelahi dan berdamai.

Film ini mengingatkan saya bahwa kita sedang berperang melawan kekuatan gelap. Ada kekuatan gaib gelap dalam film yang mencuri cahaya, kegembiraan dan harapan dan menciptakan keputusasaan, mempengaruhi semua orang di sekitarnya — terutama satu orang yang ingin mengakhiri semua keberadaannya karena orang itu terluka. Orang yang terluka menyakiti orang.

Hal ini mengingatkan saya bahwa “perjuangan kita bukanlah melawan musuh darah dan daging, tetapi melawan penguasa, melawan penguasa, melawan kekuatan kosmik kegelapan saat ini, melawan kekuatan roh jahat di sorga” (Efesus 6:12 ). Satu-satunya cara untuk menang adalah mendamaikan orang melalui jalan kasih yang ditunjukkan Yesus Kristus kepada kita.

Semuanya Di Mana Saja Sekaligus menceritakan kisah rekonsiliasi antara orang tua dan putri mereka. Ini adalah rekonsiliasi antara budaya dan generasi. Kita memang perlu berjuang untuk hubungan kita, dan film ini menunjukkan caranya.

Semua adegan perkelahian antara ibu dan anak perempuan dan antagonis lainnya mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang rasa sakit dan trauma satu sama lain. Pada akhirnya ada pengakuan bahwa kita semua manusia, rusak dan membutuhkan penebusan.

Tema film rekonsiliasi mengingatkan saya pada Lukas 1:17, di mana seorang malaikat memberi tahu Zakharia bahwa putranya, Yohanes, akan “membalikkan hati orang tua kepada anak-anaknya, dan orang yang tidak taat kepada hikmat orang benar, untuk mempersiapkan suatu umat. dipersiapkan untuk Tuhan.”

Yohanes mempersiapkan jalan bagi Yesus, yang pelayanannya adalah rekonsiliasi. Sebagai Anabaptis, rekonsiliasi adalah inti dari pekerjaan kita.

Saya mengundang Anda untuk menonton Semuanya di Mana Saja Sekaligus dan menyelami narasi unik yang tidak muat dalam satu kotak. Masuki pikiran Evelyn Wang dan pahami perjuangannya untuk mendamaikan hubungannya dengan putri, ayah, suami, teman, dan lainnya.

Film ini memenangkan tujuh Academy Awards, termasuk Film Terbaik dan Aktris Terbaik. Michele Yeoh adalah wanita Asia pertama yang memenangkan Oscar untuk Aktris Terbaik. Dalam pidato penerimaannya, dia berkata, “Untuk semua anak laki-laki dan perempuan kecil yang mirip dengan saya malam ini, jangan pernah berhenti bermimpi. Sejarah sedang dibuat.”

Perjalanan menuju rekonsiliasi antara generasi dan budaya masih panjang, tetapi layak untuk diperjuangkan. Tuhan, menyertai  kita semua.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Satu Bahasa Beragam Budaya

April 13, 2023 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Perintisan jemaat adalah amanat agung dari Tuhan Yesus. Seperti tercatat  dalam Injil Matius, “Karena itu pergilah jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama bapa anak dan roh Kudus dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu dan ketahuilah aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir jaman. ( Matius 28:19-20)

Amanat ini berlaku Universal kepada semua suku bangsa semua bahasa dan budaya bukan hanya suku tertentu saja. Seperti tercatat dalam kitab Wahyu 7:9 “Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka.”

Seperti gereja Yerusalem yang mayoritas adalah orang Ibrani dan kemudian berkembang menjadi gereja di Anthiokia dimana bangsa Yunani dan bangsa bangsa lain ada di sana, Saya percaya gereja Multikultural adalah Penyempurnaan amanat Agung dari Tuhan Yesus. 

Saat ini saya mengembalakan gereja imigran Indonesia di Philadelphia. Kami menggunakan gedung di mana gedung ini dipakai oleh dua kongregasi lain, Gereja orang kulit putih dan hitam yang berbahasa Inggris dan juga gereja immigrant dari suku Karen di Myanmar (Burma). Setiap tahun kami mengadakan ibadah bersama sama, Yang biasanya diterjemahkan ke dalam tiga bahasa Inggris Burmese dan Indonesia. 

Bahkan Jemaat Indonesia yang saya layani, Meskipun sama sama datang dari Indonesia dan sama sama bisa berbahasa Indonesia Tetapi mereka datang dari budaya yang berbeda beda. Karena Indonesia adalah negara di mana banyak suku bangsa bahasa yang ada disana. Bahkan semboyan negara Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika yaitu berbeda beda tetapi tetap satu. 

Suku Batak dari Sumatra utara memiliki budaya yang berbeda dengan orang Chinese Indonesia dari Kalimantan Barat. Suku Sunda di Jawa Barat memiliki budaya yang berbeda dengan suku Toraja di Makassar. 

Bahkan semua suku bangsa yang tinggal di Jakarta memiliki perbedaan dengan yang tinggal di Surabaya. Dan masih banyak lagi perbedaan perbedaan yang lain.

Indonesia menganut satu bahasa pemersatu namun memiliki berbagai ragam budaya. Indonesia memiliki 1300 kelompok etnik dan 700 bahasa, Sehingga Bahasa Indonesia diadopsi sebagai Lingua France, Bahasa pemersatu, Satu bahasa beragam budaya (One language many cultures). 

Satu bahasa beragam budaya juga merupakan salah satu topik yang akan dibahas dalam Konferensi Sent bulan Mei ini dimana Konferensi Mosaik akan memimpin sesi ini. 

Konferensi Sent adalah konferensi yang diadakan untuk memperlengkapi, menghubungkan dan memperkuat jaringan pemimpin dan para perintis gereja. Konferensi Sent tahun akan diadakan di Philadelphia Selatan, pada tanggal 4-7 Mei 2023 dan merupakan hasil kerja sama dari Mennonite Mission Network, Konferensi Mennonite Mosaik, Gereja Mennonite AS dan Everence. 

Tema konferensi tahun ini adalah Eksplorasi Pelayanan Multietnis yang diambil dari Wahyu 7:9. Saya percaya acara ini dapat memperlengkapi kita semua dalam melayani jiwa jiwa sesuai dengan Amanat Agung dan Visi Gereja di masa depan. 

Tidak bisa dipungkiri Bahasa Inggris telah menjadi bahasa pemersatu khususnya dalam konteks pelayanan di AS. Tapi meski sebuah komunitas berkomunikasi dengan bahasa Inggris, budaya yang ada dalam komunitas tersebut belum tentu sama.  Sebuah kesalahan umum adalah menganggap jika satu bahasa pasti akan secara otomatis satu budaya,  belum tentu demikian. Ini akan menjadi potensi konflik dan kesalah pahamkan jika tidak disadari dan dimengerti. 

Saya mau mengajak para pemimpin, para Pelayan Tuhan dan anggota anggota gereja untuk mengikuti konferensi sent untuk lebih lagi belajar mengenai pelayanan multietnis, dan Juga untuk saling terhubung dengan para pelayan lainnya terutama dengan yang memiliki latar belakang budaya bahasa dan suku bangsa dengan kita. Karena didalam Yesus kita berbeda beda tetapi tetap satu. Tuhan Yesus memberkati. 

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Berpusat pada Kristus

March 9, 2023 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Pada hari Jumat 24 February 2023, seluruh staff Mosaic Mennonite Conference mengikuti Webinar yang berjudul, “The Centered-Set Church: Menemukan model gereja yang berpusat pada Yesus di tengah dunia yang terus berubah”. Webinar ini yang dibawakan oleh Mark Baker, professor di bidang teologi dan misi di Fresno Pasific Biblical Seminary, dimana beliau menulis buku dengan judul yang sama. Webinar ini diadakan oleh Gereja Mennonite British Colombia, Kanada.

Banyak hal menarik yang saya dapatkan dalam seminar ini, khususnya bagaimana pendekatan legalistik dan penentuan garis batas yang kaku tidak banyak membantu dalam kehidupan bergereja. Mark Baker, menawarkan sebuah pandangan alternatif , kelompok yang berpusat pada Yesus (Centered Group).

Komunitas yang berpusat pada Yesus (Centered Group) akan lebih baik dan memiliki keterbukaan kepada orang luar daripada yang berpusat pada aturan, budaya, tradisi, dan tata cara yang kaku (Bounded Group) dan juga lebih baik daripada Kelompok yang tidak memiliki prinsip yang jelas, terlalu banyak toleransi dan semua diperbolehkan (Fuzzy Group).

Setiap komunitas gereja pastinya memiliki dinamika dan perjalanan formasi yang berbeda beda. Sebagai Pastor salah satu gereja imigran Indonesia, saya menemukan bahwa pandangan pandangan teologi, pendapat, pemikiran pemikiran tidak begitu memiliki andil besar dibandingkan dengan hubungan dan fungsi saling tolong menolong (gotong royong) di dalam komunitas.

Mungkin istilah yang mendekati menggambarkan hal ini adalah ungkapan dalam bahasa Inggris, “People don’t care how much you know until they know how much you care”. Arti care disini adalah bagaimana sebagai seorang pelayan menjawab kebutuhan sehari-hari lebih dari pemikiran pemikiran teologis. Pendekatan “Menara Gading” tidak relevan menghadapi masalah di “Akar rumput”.

Hal ini berbicara bagaimana hubungan personal dan hubungan di dalam komunitas antar pribadi begitu penting daripada peraturan-peraturan atau tradisi-tradisi yang ada. Karena semua peraturan, tradisi, dan pendekatan akan dengan sendirinya dikompromikan dalam penyesuaiannya ketika hubungan pribadi antar pribadi terjadi.

Praktek apa yang boleh, apa yang tidak boleh, siapa yang boleh melayani siapa yang tidak boleh, siapa yang boleh dinikahkan siapa yang tidak boleh dinikahkan, semua akan diuji dalam hubungan pribadi bersama dengan Tuhan dan bersama sama di dalam komunitas. Menetapkan sebuah standar yang kaku yang dipaksakan untuk semua individu yang memiliki perjalalan dan proses yang berbeda beda dan unik, bagi saya tidaklah bijaksana.

Profesor Mark, memberikan ilustrasi yang menarik mengenai permainan sepak bola (soccer), sebuah klub sepak bola yang dibatasi (bounded group) akan mencari pemain yang memiliki skill, kriteria fisik dan statistik tertentu. Pemain yang tidak memiliki kriteria tidak akan lolos seleksi. Di sisi yang lain ada sebuah klub sepak bola yang memperbolehkan siapa saja untuk bergabung dan tidak ada seleksi khusus, tetapi sepakat untuk tunduk dalam peraturan sepak bola yang sudah berlaku (Centered Group)- contohnya, yang boleh memegang bola sepak hanyalah penjaga gawang di wilayah yang sudah ditentukan, dan lain sebagainya.

Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, dengan jelas menunjukkan kekesalannya dengan perpecahan dan peraturan-peraturan yang tidak semestinya diterapkan dalam gereja di Galatia. Peraturan-peraturan yang membuat pengikut Yesus menjadi terpecah belah. Rasul Paulus geram bahwa injil kabar baik berusaha diputar balikkan demi kepentingan kelompok yang ingin memiliki derajat lebih tinggi dari kelompok yang lain.

Paulus berusaha membawa jemaat Galatia kembali berpusat pada Injil Yesus, dan bukan pada peraturan, tradisi, dan pembatasan yang kaku. Karena di dalam Yesus kita semua dibenarkan karena iman bukan karena usaha kita (Gal 3:11). Sebagai orang-orang merdeka, kita dipanggil bukan untuk hidup dalam dosa melainkan hidup melayani seseorang akan yang lain oleh kasih (Gal 5:13)

Ada sebuah cerita yang menarik yang dibagikan oleh pembicara tentang bagaimana cara beternak di Australia. Dikarenakan begitu luasnya ladang disana, membangun dan merawat pagar akan menghabiskan banyak uang dan tenaga. Oleh sebab itu, para peternak di Australia tidak memiliki pagar sama sekali. Melainkan mereka membangun sumur, karena ternak tidak akan pergi jauh dari sumur air.

Saya percaya bahwa alternatif gereja yang berpusat pada Yesus adalah gereja yang memiliki fokus memuji dan menyembah Tuhan, meninggikan dan membesarkan nama-Nya dan ajaran-ajaran-Nya. Identitas kita adalah di dalam Yesus, dan identitas di dalam Yesus bukanlah sebuah keseragaman, melainkan sebuah ajakan untuk menerima kasih karunia dari Tuhan. Komunitas orang percaya dipanggil untuk menjadi sumur dimana Yesus bisa tinggal dan memberikan kesegaran bagi yang haus akan hadirat-Nya.

Hari ini gereja menghadapi banyak tantangan dan permasalahan seperti gereja di Galatia. Injil Yesus bukan lagi menjadi pusat melainkan isu-isu kontroversial. Istilah demi istilah, label demi label, dan resolusi demi resolusi dibuat dan ditulis untuk membatasi bukan untuk menyatukan, dan memberikan harapan.

Saya mau mengajak kita semua untuk kembali kepada Injil Yesus, sama seperti anak yang hilang yang kembali kerumah Bapak-Nya dan atau sebagai anak sulung yang harus belajar rendah hati dan merayakan kepulangan sang adik kerumah Bapak-Nya.

Sebagai Mosaik kita adalah anak-anak Tuhan yang hancur karena dosa, namun disatukan dan dipulihkan oleh kuasa Darah Yesus, identitas kita yang baru adalah di dalam Yesus, mari tinggalkan manusia lama kita dan bersatu bersama saudara saudari seiman didalam kesatuan roh. Hanya darah-Nya yang menyatukan mendekatkan kita dan memulihkan.

Hanya Kristus Harapanku, Dia terang dan Kuatku, Batu penjuru yang teguh di kala badai menderu. Kasih dan damainya besar kalahkan takut dan gentar. Penghiburku naunganku dalam kasih-Nya ku teduh

KUTIPAN LIRIK LAGU In Christ Alone (OLEH by Keith & Kristine Getty)

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Harapan untuk Masa Depan

February 9, 2023 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Minggu lalu saya baru menghadiri acara Hope for the Future di Atlanta, Georgia. Acara ini merupakan pertemuan tahunan yang dihadiri oleh para pemimpin kulit berwarna (BIPOC) di MC USA, yang bertujuan untuk memperlengkapi, saling menguatkan dan menjalin hubungan satu sama lain.

Menarik bahwa pertemuan kali ini dihadiri oleh 12 orang pemimpin berdarah Asia, dimana di dunia Mennonite hal ini sangat jarang sekali terjadi. Dan hampir setengahnya berasal dari Konferensi Mennonite Mosaik, dan 4 diantaranya berasal dari Indonesia termasuk saya sendiri.

Pemimpin Pelayanan berlatar belakang Asia di acara Hope for the Future (Harapan untuk Masa Depan)

Saya pernah mendengar cerita dari seseorang yang pernah menjadi Konsulat Jenderal Indonesia untuk Amerika Serikat mengenai Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Ia berkata Indonesia merupakan negara keempat terbesar dari jumlah populasi di seluruh dunia, tetapi mengapa jumlah orang Indonesia yang bekerja di PBB sangat sedikit. Ia berkata secara proporsional harusnya lebih banyak lagi.

Tentunya ada banyak faktor yang mempengaruhi hal ini. Tetapi saya melihat di lingkaran gereja-gereja sudah mulai ada perubahan yang cukup signifikan. Misalnya di Mennonite Mission Network sekarang sudah memperkerjakan dua orang yang memiliki latar belakang dari Indonesia. Mosaik sendiri sekarang memiliki tiga pekerja pelayanan berlatar belakang Indonesia.

Mosaik Board and Staff di acara HFF, Atlanta, GA

Perkembangan ini tentunya tidak terlepas dari batas batas wilayah geografis yang semakin hari semakin pudar. Perpindahan penduduk tidak bisa lagi dibatasi oleh peraturan peraturan yang kaku. Masa depan adalah setiap negara adalah multinasional dan multikultur.

Bersyukur untuk visi dari Konferensi Mosaic adalah Intercultural atau Antar Budaya, dimana meskipun berada di budaya dominan yang berbeda budaya minoritas bisa menjadi garam dan terang ditengah tengah budaya lain. Memberi warna dan rasa ketimbang tertekan dan terasimilasi, inilah sebuah harapan untuk masa depan gereja-gereja di dunia.

Saya percaya konferensi Mennonite Mosaik yang mayoritas berasal dari Budaya Eropa, Swiss Jerman bisa bersama sama membentuk komunitas Intercultural  dimana Identitas masing masing memberi warna Identitas komunal sebagai Tubuh Kristus, dimana Yesus adalah kepala.

Tentunya jalan masih panjang dimana kecenderungan tiap tiap budaya untuk tinggal di dalam gelembung budayanya sendiri masih besar. Terlebih lagi dimana trauma-trauma antar generasi belum pulih betul. Tetapi saya percaya dimana ada keterbukaan disitu ada pemulihan.

Semakin setiap cerita dan kesaksian timbul disitulah hubungan terbangun, dan kesadaran bahwa sebenarnya kita memiliki persamaan yang jauh lebih banyak daripada perbedaan. Meskipun warna kulit dan mata kita berbeda, darah kita sama sama merah dan tulang kita sama sama putih. Meski kita berbeda secara budaya, bahasa, kebiasaan, Tuhan yang kita sembah dan Buku suci yang kita baca sama.

Tuhan Yesus mati buat kita semua, dimana darah-Nya menyatukan kita, yang tadinya jauh menjadi dekat. Sehingga saya percaya visi Tuhan bagi gereja, dalam Wahyu 7:9 sudah mulai terwujud,   Sesudah itu saya melihat lagi, lalu nampak lautan manusia yang luar biasa banyaknya–tidak ada seorang pun yang dapat menghitung jumlahnya. Mereka adalah orang-orang dari setiap bangsa, suku, negara, dan bahasa.” Tuhan Yesus memberkati.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Gereja dan Budaya

January 26, 2023 by Cindy Angela

Refleksi dari Pertemuan Indonesian Pastors and Leaders Gathering

Oleh Hendy Matahelemual

Gereja dan Budaya menjadi topik yang akan dibahas dalam pertemuan pastor-pastor dan pemimpin pelayanan berbahasa Indonesia di Konferensi Mosaik. Topik Gereja dan Budaya akan dibahas sepanjang tahun 2023. Pertemuan ini dirancang diadakan satu bulan satu kali melalui zoom.

Pertemuan bulan ini dihadiri oleh beberapa pemimpin pelayanan yang kompeten sebagai narasumber. Pastor Virgo Handojo,PhD (JKI Anugerah), Pastor Aldo Siahaan (PPC) , Pastor Lindy Backeus (EMU), PhD, Pastor Stephen Zacheus (JKI Anugerah), dan saya sendiri.

Pertemuan dibuka dengan doa dan pembacaan ayat Firman Tuhan yang diambil dari Kitab Roma 12:2 (BIS): “Janganlah ikuti norma-norma dunia ini. Biarkan Allah membuat pribadimu menjadi baru, supaya kalian berubah. Dengan demikian kalian sanggup mengetahui kemauan Allah–yaitu apa yang baik dan yang menyenangkan hati-Nya dan yang sempurna.”

Pastor Lindy membagikan kesaksian singkat, dimana ia melihat Mennonite memiliki tradisi untuk melawan budaya yang ada, menyendiri dan menjaga jarak, tetapi kemudian bertransformasi dimana Gereja ingin membawa dampak dan mengubah budaya dan tidak dirubah oleh budaya sebagaimana diingatkan oleh Roma 12. Dan ini merupakan pergumulan yang dihadapi Gereja-gereja di Konferensi Mosaik saat ini.

Pastor Virgo Handojo, memberikan pandangan dalam kacamata praktis psikologi dimana faktor kasih menjadi hal yang utama dimana orang bisa menjadi kuat menghadapi dan berinteraksi dengan budaya sekitarnya. Khususnya para imigran Indonesia dalam pergumulannya di Amerika Serikat, apakah akan tetap memegang budaya Indonesia, meninggalkan budaya Indonesia dan mengakomodasi budaya dominan atau mengambil nilai-nilai yang baik dan menyesuaikannya dengan budaya Indonesia.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa imigran yang mengambil kearifan budaya asal dengan juga mengambil nilai-nilai yang baik dari budaya lokal dominan ditambah dengan memberi tempat tertinggi dari ajaran gereja mengenai Kasih dan Kebenaran, akan menghasilkan pribadi pribadi dengan resiliensi yang tinggi. Dimana para imigran ini tidak menyendiri tetapi berada ditengah-tengah budaya, menyuarakan kebenaran, menjadi garam dan terang bagi budaya dan masyarakat yang ada disekitarnya.

Tantangan sebagai komunitas orang percaya adalah bagaimana kita membuka Firman, mengartikan budaya sekitar dan mencari Firman Tuhan yang tepat untuk diaplikasikan sesuai dengan konteks masing masing (kontekstualisasi).

Dalam konteks Gereja Imigran khususnya di Philadelphia, Pastor Aldo Siahaan mengemukakan bahwa tantangan Gereja adalah bagaimana menjadi Gembala yang Baik, supaya orang orang percaya tidak meninggalkan Firman Tuhan dan lebih mempercayai budaya dominan, dalam hal ini budaya Amerika.

Sebagai imigran Indonesia kita perlu bangga dengan kearifan budaya lokal kita, masalahnya banyak orang Indonesia khususnya di Amerika tidak bangga dengan budaya Indonesia, ujar Pastor Stephen Zacheus. Hal ini disebabkan mungkin trauma-trauma yang didapati di Indonesia seperti peristiwa 98, dll, tetapi muncul harapan ketika situasi Indonesia menjadi lebih baik, sehingga budaya Indonesia bisa kembali menjadi sorotan.

Mari kita sama-sama berdoa supaya gereja, komunitas orang percaya bisa mengerti apa yang menjadi kehendak Tuhan, dan menjalankannya sesuai dengan tempat dimana kita ditempatkan masing-masing oleh Tuhan. Tuhan Yesus memberkati.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual, Indonesian Pastors and Leaders Gathering

Gereja dan Budaya

January 12, 2023 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Persoalan klasik yang dihadapi gereja adalah bagaimana berinteraksi dengan budaya sekitarnya. Karena Gereja sendiri adalah kumpulan orang-orang percaya yang juga hidup dipengaruhi dan mempengaruhi budaya sekitar dimana mereka berada.

Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma secara tegas menulis bahwa pengikut Kristus haruslah menjadi orang orang mempengaruhi dunia dan bukan sebaliknya, Ia berkata demikian, “Janganlah ikuti norma-norma dunia ini. Biarkan Allah membuat pribadimu menjadi baru, supaya kalian berubah. (Roma 12:2 BIS)

Pergeseran tatanan sosial budaya di dalam masyarakat yang senantiasa berubah mengikuti perkembangan jaman. Membuat Kekristenan harus senantiasa memposisikan dirinya ditengah tengah masyarakat dan sekaligus juga merespon tantangan budaya yang senantiasa membawa polarisasi dan perbedaan pendapat khususnya di dalam komunitas gereja.

Dalam Pertemuan tahunan Konferensi Mennonite Mosaik pada bulan November tahun lalu menjadi saksi bahwa perbedaan pandangan khususnya mengenai seksualitas membuat gereja sebagai komunitas percaya harus kembali merespon dan memposisikan dirinya sekali lagi.

Sebagai komunitas rohani yang percaya akan tuntuntan Roh Kudus dan kepemimpinan Yesus di dalam komunitas orang percaya, Konferensi Mosaik percaya bahwa gereja melalui kesepakatan dan pergumulan bersama mampu memberikan jawaban bukan saja isu seksualitas melainkan isu-isu kontroversial lain yang ada di dalam budaya.

Oleh sebab itu Perkumpulan Pendeta dan pemimpin kredensial berbahasa Indonesia dalam Konferensi Mosaik bersepakat membahas dan membicarakan peran Gereja dalam Budaya di dalam pertemuan bulanan sepanjang tahun 2023 ini.

Pertemuan bulanan ini biasanya jatuh pada hari Kamis setiap Minggu ketiga. Dihadiri oleh setiap pemimpin kredensial Konferensi Mosaik dan juga terbuka bagi para pelayan dan para hamba Tuhan lainnya. Pertemuan ini diselenggarakan dan diadakan melalui pertemuan zoom dan menggunakan bahasa Indonesia.

Pastor Virgo Handojo dari JKI Anugerah, Sierra Madre, California, Pastor Aldo Siahaan dari Phialdelphia Praise, bersama dengan para pendeta pendeta lainnya yang tergabung dalam Konferensi Mosaik akan bersama sama menjadi nara sumber dalam acara ini,

Diperlukan kerendahan hati, kasih dan keterbukaan dan kepekaan akan tuntunan Roh Kudus agar kita semua bisa meresponi budaya dengan respon yang baik sebagaimana Tuhan Yesus sendiri telah menjadi panutan kita semua dalam pelayanannya di muka bumi ini 2000 tahun silam.

Dan saya percaya setiap isu-isu kontroversial yang memiliki potensi untuk memecah belah tubuh Kristus perlu disikapi dan diresponi dengan baik. Mari kita ikuti apa yang Rasul Paulus tulis kepada jemaat di Korintus, “Mari kita hilangkan segala perasaan sakit hati, dendam dan marah. Jangan lagi ada perasaan benci atau perasaan lain semacam itu. Sebaliknya, hendaklah kalian baik hati dan berbelaskasihan seorang terhadap yang lain, dan saling mengampuni sama seperti Allah pun mengampuni kalian melalui Kristus. – (Efesus 4:31-32 BIS) Salam Damai di dalam Kristus.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Persiapan Natal

December 22, 2022 by Cindy Angela

Oleh Hendy Matahelemual

Hari Natal natal adalah sesuatu yang sangat dinanti nantikan oleh umat Kristen. Hari kelahiran sang Juru Selamat manusia, Yesus Kristus, Imanuel, Allah beserta kita. Gereja gereja sibuk mempersiapkan kebaktian natal spesial mereka yang unik dan meriah.

Tim Musik ILC memimpin pujian dalam Perayaan Natal ILC pada 18 Desember 2023.

Tetapi tahun ini ada sebuah persiapan  yang melebihi dari persiapan acara Natal saja yang beberapa Gereja Imigran Indonesia lakukan. Persiapan hati dan rohani.

Pada akhir November beberapa Gereja Indonesia di Konferensi Mosaik melakukan retreat gabungan thanksgiving bersama sama. Gereja Nations Worship Center dan Gereja Bethany New York melakukan retreat gabungan di Maryland, sedangkan Gereja Indonesian Light mengadakan retreat gabungan bersama sama dengan Gereja Philadelphia Praise di Lancaster, PA.

Retreat gabungan gereja-gereja adalah sesuatu yang sudah biasa kita lakukan bersama sama, karena banyak sekali keuntungan yang didapat khususnya harga yang murah jika ingin memesan tempat penginapan. Dan juga dengan bergabung lebih banyak sumber daya yang bisa mengerjakannya lebih dari jika hanya mengadakan acara sendiri.

Retreat Thanksgiving NWC dan BECC New York
Retreat gabungan PPC dan ILC dari Konferensi Mennonite Mosaik

Dan setelah retreat selesai banyak kesaksian perubahan dan pemulihan yang terjadi. Baptisan juga seringkali diadakan ketika retreat berlangsung. Dimana ada kesatuan disitulah Roh Tuhan bekerja dengan luar biasa dahsyat.

Masa Advent dan Natal kali ini juga begitu unik karena berlangsung bersamaan dengan acara Piala Dunia Sepakbola 2022 yang diikuti dan dirayakan secara meriah di seluruh dunia. Hal ini mengingatkan kita akan perayaan Natal hari Kelahiran Tuhan Yesus yang tentunya jauh lebih berarti dan layak untuk kita peringati bersama sama. Selamat Natal dan Tahun baru 2023, Tuhan Yesus beserta kita.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Sebuah Renungan

November 17, 2022 by Cindy Angela

Oleh Hendy Matahelemual

Sebuah gambar dapat melukiskan ribuan kata kata. Kesan inilah yang saya dapatkan ketika melihat foto foto dari Pertemuan Tahunan Konferensi Mosaik beberapa waktu lalu di Souderton, Namun baru kali ini pertemuan tahunan Mosaik terasa berbeda dari pertemuan biasanya. Sejak pertemuan delegasi khusus musim panas MC USA di Kansas City yang meratifkasi Resolusi Pertobatan dan Transformasi yang mendukung kaum LGBTQIA+, kami gereja-gereja imigran di Konferensi Mosaik mengungkapkan rasa kekecewaan kami terhadap denominasi.

Meskipun resolusi ini tidak mengingat terhadap anggota denominasi, kami sebagai gereja imigran di Mosaik berpendapat bahwa resolusi ini bukanlah jalan yang baik. Isi resolusi juga bertentangan dengan nilai budaya dan pandangan teologi kami. Sebagai gereja imigran Indonesia kami berpegang pada Pernyataan Bersama Gereja-gereja di Konferensi Mosaik mengenai Anugerah dan Kebenaran.

Tetapi tentu segala upaya, diskusi, maupun argumentasi sangat diperlukan dalam hal ini, meskipun sulit dimana budaya pasif-agresif masih sangat kental dalam Konferensi kami.

Kita semua diingatkan dari tema “Chesed” bahwa Kasih Tuhan yang teguh, konstan dan tidak berkesudahan inilah yang menyatukan kita semua. Mari kita menyuarakan kebenaran dengan kasih dan bukan dengan penghakiman, seperti ada tertulis dalam surat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus.

Tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.

Efesus 4:15

Phil Bergey dalam seminar mengenai konflik resolusi yang dihadiri pemimpin kredensial Mosaik di Perkasie, menawarkan tiga model penyelesaian masalah. Model pertama menyelesaikan konflik dengan secepat mungkin dan sesegera mungkin dengan segala sumber daya dan keterbatasan yang kita miliki. Model kedua adalah mempelajari terlebih dahulu dengan seksama sebelum mengambil langkah langkah. Model ketiga adalah menyadari bahwa ada beberapa ketegangan dan konflik ada bukan untuk dicari penyelesaiannya,tetapi untuk dihidupi bersama.

Saya mengakui bahwa pembicaraan mengenai isu gender dan seksualitas seringkali dihindari dalam banyak pertemuan pertemuan, karena kerap menimbulkan suasana yang tidak nyaman. Saya percaya bahwa setiap luka yang ada bisa pulih jika luka tersebut dibuka dan bukan ditutup tutupi sedemikian rupa.

Konferensi Mosaik membentuk Komite Iman dan Kehidupan pada tahun 2015 untuk secara khusus membahas mengenai isu gender dan seksualitas, melalui Pernyataan Bersama Gereja gerja mengenai Iman dan Kehidupan. Dan saya memiliki keyakinan bahwa komite ini bisa membawa perubahan dan kesatuan di dalam konferensi kami khususnya menyikapi pandangan mengenai LGBTQIA+

Dan terakhir mari kita berdoa supaya hasil keputusan Konferensi Mosaik untuk meninjau hubungan dengan MC USA berjalan dengan baik. Sehingga apapun yang kita putuskan selama dua tahun kedepan ini bisa sejalan dengan apa yang Tuhan kehendaki. Mari berdoa supaya kesatuan dalam kasih bisa terus mewarnai dan menyatukan mosaik mosaik kehidupan kita sebagai murid murid Yesus dari berbagai macam bangsa, budaya dan bahasa, Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

  • « Go to Previous Page
  • Go to page 1
  • Go to page 2
  • Go to page 3
  • Go to page 4
  • Go to page 5
  • Go to page 6
  • Interim pages omitted …
  • Go to page 9
  • Go to Next Page »

Primary Sidebar

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami

Footer

  • Home
  • Hubungi Kami
  • Pertemuan Konferensi
  • Visi & Misi
  • Sejarah
  • Formasional
  • Antar Budaya
  • Tim Misi
  • Institut Mosaic
  • Memberi
  • Penatalayanan
  • Keamanan Gereja
  • Artikel

Copyright © 2025 Mosaic Mennonite Conference | Privacy Policy | Terms of Use