Sebuah luka / trauma hanya bisa sembuh jika dibuka, diakui dan tidak ditutup tutupi. Yakobus 5:16 berkata “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.”
Arti dosa disini memiliki cakupan luas, bukan saja dosa pribadi melainkan dosa kolektif akibat dari sistem dunia yang korup. Dan inilah yang terkadang tidak kita sadari. Trauma-trauma kolektif akibat dosa ini perlu kita sadari dan akui. Sebagai contoh saudara-saudari kita yang berkulit putih mengakui dosa kolektif
masa lalu mereka dalam berpartisipasi dalam perbudakkan.
Sebagai orang Indonesia kita tidak lepas dari trauma trauma kolektif yang terjadi di masa lalu kita. Trauma Kolonialisme, Penjajahan, Kekerasan dan Rasisme perlu kita akui sebagai bagian dari bangsa kita yang harus sembuh.
Pendeta Nala Widya, mantan atlet sepeda nasional memiliki kutipan bagus, Ia berkata, “Luka yang sudah sembuh mungkin membekas terlihat, tetapi tidak terasa sakit lagi jika disentuh”, beliau mengilustrasikan hal ini dengan menceritakan pengalaman kecelakaan sepeda berat yang pernah ia alami yang menyebabkan pipinya harus dijahit. Luka itu membekas dan tidak hilang namun ketika sudah pulih tidak lagi ada rasa sakit.
Apakah ada trauma-trauma kolektif masa lalu kita yang masih belum sembuh? Apakah ada hal-hal yang membuat kita sebagai jemaat merasa gelisah, kawatir, tersinggung, bahkan sakit hati ketika menghadapi isu-isu yang ada? Mari kita berdoa meminta Tuhan untuk menyingkapkan dan memulihkan kita semua.
Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. – 1 Yohanes 1:9
Ada sebuah film Indonesia yang menarik perhatian saya, meskipun film ini masih dalam proses akhir pengambilan gambar, mendengar ringkasannya membuat hati saya tergerak antara ingin melihat dan juga disatu sisi ada sedikit rasa cemas dan ragu apakah saya sudah siap untuk menonton film ini.
Film ini berjudul kupu-kupu kertas disutradarai oleh Emil Heradi, menceritakan ada sepasang kekasih, Ning dan Ikhsan. Ning adalah seorang simpatisan PKI, sedangkan Ikhsan berasal dari keluarga NU yang mencintai satu sama lain meskipun memiliki perbedaan ideologi. Hingga keluarga Ikhsan tewas, Ikhsan bingung apakah akan membalas dendam kepada PKI atau menyelamatkan nyawa Ning, kekasihnya.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kata PKI (Partai Komunis Indonesia) memiliki konotasi yang begitu buruk. Pembersihan dan Penghilangan semua unsur-unsur yang terkait dengan PKI pada tahun 1965-1966 menorehkan luka dan trauma yang begitu besar bagi bangsa ini, sehingga periode ini terkenal dengan pembunuhan masal yang mencatat korban 500.000 sampai dengan 1.2 juta jiwa.
Tidak banyak yang ingin menghidupi kembali trauma masa lalu, namun hal ini juga menandakan bahwa pemulihan atas trauma tersebut belum terjadi. Bangsa kita perlu sembuh dari luka luka masa lalu. Rekonsiliasi antar golongan, antar etnis suku bangsa, antara Agama, perlu disertai dengan doa dan dilakukan dengan nyata dan terencana.
Sebuah buku ditulis oleh Agus Suyanto, Rev Paulus Hartono yang berjudul “The Radical Muslim and Mennonite” (Muslim Radikal dan Mennonite) menceritakan dialog dan hubungan antara kelompok Hizbulah dan Komunitas Mennonite di Solo. Agus Suyanto dan Pendeta Paulus Hartono, berkata “Tak Kenal maka Tak Sayang”. Mengenal Trauma-trauma masa lalu masing-masing membuat kedua kelompok ini bisa lebih mengerti satu sama lain, dan membangun dialog dan kerja sama bersama sama.
Mengakui dan kejujuran akan luka-luka dan trauma trauma masa lalu adalah awal dari sebuah pemulihan. Tuhan Yesus Kristus turun kedunia ini untuk memulihkan tatanan yang rusak yang disebabkan oleh dosa manusia. Ia juga datang untuk mempersatukan yang jauh menjadi dekat oleh kuasa darah-Nya. Sebagai umat yang sudah diselamatkan dan sudah diberi berkat dan kuasa, menjadi pembawa damai adalah tugas kita bersama-sama.
Mari terus menerus berdoa dan merefleksikan hidup kita kedalam komunitas yang semakin hari boleh semakin dipulihkan dengan semangat kebersamaan bahwa kita adalah bagian yang hancur namun bersama-sama di dalam kuasa kasih karunia Tuhan, bagian ini bisa menjadi bagian yang indah. Tuhan Yesus memberkati.
The opinions expressed in articles posted on Mosaic’s website are those of the author and may not reflect the official policy of Mosaic Conference. Mosaic is a large conference, crossing ethnicities, geographies, generations, theologies, and politics. Each person can only speak for themselves; no one can represent “the conference.” May God give us the grace to hear what the Spirit is speaking to us through people with whom we disagree and the humility and courage to love one another even when those disagreements can’t be bridged.