oleh Hendy Matahelemual
Minggu lalu saya baru menghadiri acara Hope for the Future di Atlanta, Georgia. Acara ini merupakan pertemuan tahunan yang dihadiri oleh para pemimpin kulit berwarna (BIPOC) di MC USA, yang bertujuan untuk memperlengkapi, saling menguatkan dan menjalin hubungan satu sama lain.
Menarik bahwa pertemuan kali ini dihadiri oleh 12 orang pemimpin berdarah Asia, dimana di dunia Mennonite hal ini sangat jarang sekali terjadi. Dan hampir setengahnya berasal dari Konferensi Mennonite Mosaik, dan 4 diantaranya berasal dari Indonesia termasuk saya sendiri.
Saya pernah mendengar cerita dari seseorang yang pernah menjadi Konsulat Jenderal Indonesia untuk Amerika Serikat mengenai Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Ia berkata Indonesia merupakan negara keempat terbesar dari jumlah populasi di seluruh dunia, tetapi mengapa jumlah orang Indonesia yang bekerja di PBB sangat sedikit. Ia berkata secara proporsional harusnya lebih banyak lagi.
Tentunya ada banyak faktor yang mempengaruhi hal ini. Tetapi saya melihat di lingkaran gereja-gereja sudah mulai ada perubahan yang cukup signifikan. Misalnya di Mennonite Mission Network sekarang sudah memperkerjakan dua orang yang memiliki latar belakang dari Indonesia. Mosaik sendiri sekarang memiliki tiga pekerja pelayanan berlatar belakang Indonesia.
Perkembangan ini tentunya tidak terlepas dari batas batas wilayah geografis yang semakin hari semakin pudar. Perpindahan penduduk tidak bisa lagi dibatasi oleh peraturan peraturan yang kaku. Masa depan adalah setiap negara adalah multinasional dan multikultur.
Bersyukur untuk visi dari Konferensi Mosaic adalah Intercultural atau Antar Budaya, dimana meskipun berada di budaya dominan yang berbeda budaya minoritas bisa menjadi garam dan terang ditengah tengah budaya lain. Memberi warna dan rasa ketimbang tertekan dan terasimilasi, inilah sebuah harapan untuk masa depan gereja-gereja di dunia.
Saya percaya konferensi Mennonite Mosaik yang mayoritas berasal dari Budaya Eropa, Swiss Jerman bisa bersama sama membentuk komunitas Intercultural dimana Identitas masing masing memberi warna Identitas komunal sebagai Tubuh Kristus, dimana Yesus adalah kepala.
Tentunya jalan masih panjang dimana kecenderungan tiap tiap budaya untuk tinggal di dalam gelembung budayanya sendiri masih besar. Terlebih lagi dimana trauma-trauma antar generasi belum pulih betul. Tetapi saya percaya dimana ada keterbukaan disitu ada pemulihan.
Semakin setiap cerita dan kesaksian timbul disitulah hubungan terbangun, dan kesadaran bahwa sebenarnya kita memiliki persamaan yang jauh lebih banyak daripada perbedaan. Meskipun warna kulit dan mata kita berbeda, darah kita sama sama merah dan tulang kita sama sama putih. Meski kita berbeda secara budaya, bahasa, kebiasaan, Tuhan yang kita sembah dan Buku suci yang kita baca sama.
Tuhan Yesus mati buat kita semua, dimana darah-Nya menyatukan kita, yang tadinya jauh menjadi dekat. Sehingga saya percaya visi Tuhan bagi gereja, dalam Wahyu 7:9 sudah mulai terwujud, Sesudah itu saya melihat lagi, lalu nampak lautan manusia yang luar biasa banyaknya–tidak ada seorang pun yang dapat menghitung jumlahnya. Mereka adalah orang-orang dari setiap bangsa, suku, negara, dan bahasa.” Tuhan Yesus memberkati.