• Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Skip to footer

Mosaic MennonitesMosaic Mennonites

Missional - Intercultural - Formational

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami
  • 繁體中文 (Cina)
  • English (Inggris)
  • Việt Nam (Vietnam)
  • Español (Spanyol)
  • Indonesia
  • Kreol ayisyen (Creole)

Articles

Bahasa Cinta: Makanan dan Penderitaan

January 18, 2024 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Mungkin kita masih ingat sebuah konsep yang diperkenalkan atau dipopulerkan oleh penulis Gary Chapman yang menulis mengenai 5 bahasa cinta. Lima bahasa tersebut antara lain adalah kata-kata afirmasi, waktu berkualitas, penerimaan hadiah, tindakan pelayanan, atau sentuhan fisik. 

Chapman berpendapat bahwa, sementara setiap bahasa ini dinikmati dalam beberapa tingkat oleh semua orang, seseorang biasanya akan menggunakan satu bahasa utama. Konsep yang cukup menarik dan jujur cukup membantu dalam hubungan-hubungan yang ada.  

Tetapi ada satu hal yang menarik yang baru saja saya pelajar beberapa hari kebelakang ini, khususnya ketika saya menghadiri sebuah seminar “Keutuhan Lintas Generasi untuk orang Asia Amerika” yang diadakan oleh Center For Asian-American Christianity, Princeton Theological Seminary.  

Dalam satu sesi seminar Pastoral Care yang dibawakan oleh Pastor Enoch Liao, Boston Chinese Evangelical Church mengungkapkan bahwa setidaknya ada dua tambahan bahasa kasih, khususnya dalam konteks imigran dan budaya Asia Amerika: bahasa kasih makanan dan penderitaan.  

Mungkin tipikal orang Asia tidak begitu sering memberi hadiah, meluangkan waktu, memuji, memeluk kepada anaknya atau orang yang dikasihinya, tetapi ada satu yang tidak pernah dilupakan adalah peran makanan.  

Eyang/ Nenek/ Oma/ Ama/ Popo/ Opung dari belahan dunia manapun akan memberi makanan kepada orang yang mereka kasihi. Mungkin mereka tidak bisa berbahasa Inggris atau berbahasa yang sama dengan cucunya tetapi satu hal yang akan mereka tanyakan. “Sudah makan belum?”, “Sudah kenyang belum?”, “Mau tambah?”

Bahasa Kasih untuk orang Asia Amerika adalah makanan.

Kalau kita tidak menyadari bahwa makanan adalah bentuk bahasa kasih, maka kita kehilangan makna dan hubungan antar budaya dan generasi yang berbeda ini. Oleh sebab itu saya baru menyadari mengapa waktu saya kecil, Ibu saya tidak begitu suka saya makan diluar. Ia ingin saya pulang dan makan dirumah, diperlukan waktu yang lama sampai akhirnya saya mengerti hal ini, bahwa ini adalah bentuk kasih yang ia coba berikan. 

Pastor Enoch menambahkan ada satu lagi bahasa kasih yang begitu besar dampaknya khususnya melihat konteks imigran dan konteks budaya Asia Amerika, yaitu penderitaan. Penderitaan adalah bentuk pengungkapan kasih yang begitu istimewa dan khusus.  

Pernah kita mendengar mungkin seseorang ibu yang berkata bahwa ia sudah mengalami penderitaan hamil dan melahirkan untuk menunjukkan betapa ia mengasihi. Bagaimana seseorang menunjukkan penderitaan adalah bentuk bahasa kasih yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Oleh sebab itu mungkin banyak orang Amerika melihat orang Asia tidak menunjukkan kasih, tetapi pada kenyataannya kasih itu terasa dan dampaknya begitu besar. Baik melalui makanan maupun melalui penderitaan.  

Dari sisi budaya barat, penderitaan dianggap sebagai sebuah hal yang harus dihindari. Bahkan pandangan, Jika seseorang menderita, maka ada yang salah daripada itu, kita melakukan hal yang salah jika kita menderita, kalau kita lebih pintar seharusnya tidak perlu menderita.  

Mungkin budaya barat melihat penderitaan adalah sesuatu yang harus dihindari, Tetapi dalam budaya imigran / Asia, penderitaan adalah sebuah kesempatan untuk kita menunjukkan rasa kasih kita yang paling besar.  

Apakah kita pernah merasakan bentuk bahasa kasih ini dari orang orang terdekat kita? Mungkin kita melihat dari sudut pandang mereka, bahwa makanan dan penderitaan adalah sebuah bahasa kasih yang bisa kita pelajari supaya kita bisa menjadi pribadi pribadi yang lebih mengasihi. Tuhan Yesus memberkati.  

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

My Hopes and Prayers for 2024

January 18, 2024 by Cindy Angela

oleh Angela Moyer Walter

Dengan rasa syukur dan harapan besar, saya sebagai Moderator Konferensi Anda menyampaikan salam kepada Konferensi Mosaic, di tahun baru 2024 ini. Apa yang mungkin Tuhan lakukan di antara kita tahun ini? Apa yang akan terjadi di masa yang akan datang? Apa kebahagiaan yang mungkin kita alami bersama? 

Konferensi Mosaic dipanggil untuk menggambarkan kasih rekonsiliasi Yesus kepada komunitas kami, dan kami melakukannya dalam berbagai cara. Tahun 2024 ini penuh dengan peluang dan harapan. Saya berharap kita menjadi saksi Roh Kristus yang kuat, melampaui keinginan kita sendiri. Saya juga berharap kita berkumpul untuk merayakan dan bersukacita, serta saling mendukung dalam waktu duka, kehilangan, dan kesulitan. Doa saya untuk kita adalah agar kita menyesuaikan hati dan pikiran kita untuk mendengar suara Tuhan di tengah semua kebahagiaan dan kesulitan, bahkan ketika suara itu adalah bisikan lembut, dan jalannya tidak jelas.

Semoga kita percaya pada kesetiaan Tuhan kepada kita di tengah liku-liku yang mungkin kita alami. 

Banyak dari kita bertanya-tanya bagaimana jemaat atau Pelayanan Terkait Konferensi kita cocok dalam mosaik yang lebih besar dari Konferensi kita. Kita mungkin bertanya, “Apakah potongan saya dihargai oleh semua? Apakah ada potongan yang lebih besar dari yang lain?” 

Harapan saya adalah kita diingatkan oleh kata-kata Yesus kepada murid-murid-Nya ketika mereka bertengkar tentang siapa yang lebih penting. Yesus berkata, “Kamu tahu bahwa… pejabat-pejabat itu memperlihatkan kekuasaan mereka di atas mereka yang berada di bawah mereka. Tetapi di antara kamu itu akan berbeda. Barangsiapa ingin menjadi pemimpin di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” (Matius 20:25-26, NLT). Semoga kita semua melihat diri kita sebagai bagian penting dalam tubuh Kristus; apakah kita sistem pencernaan, peredaran darah, atau sistem ekskresi, semuanya penting. Kita tidak perlu bertengkar tentang siapa yang paling penting atau terbaik, tetapi sebaliknya bekerja sama untuk membangun satu sama lain agar berfungsi sebagai satu tubuh, tubuh Kristus sebagaimana Tuhan menciptakan kita. 

Tuhan telah memberkati kita semua dan melalui pembaptisan, kita telah disambungkan ke dalam tubuh Kristus yang kita sebut Konferensi Mosaic ini. Mozaik indah ini tidak sama tanpa setiap potongan khusus. Harapanku di tahun 2024 ini adalah bahwa kita masing-masing menemukan tempat kita dalam mozaik, sambil juga menghargai potongan lain yang berbeda dari kita. 

Di Perkumpulan Tahunan Mosaic kami, kami telah merayakan Chesed dan Emet Tuhan, kebaikan yang kuat dan kebenaran setia. Pendeta Hyacinth Stevens mendorong kita pada Perhimpunan terakhir ini untuk mengambil risiko besar karena kita memiliki janji Chesed dan Emet Tuhan yang setia bersama kita. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya untuk tidak memasukkan anggur baru ke dalam kantung kulit anggur lama. Jadi, pada tahun 2024 ini, semoga kita merangkul kantung-kantung anggur baru yang Tuhan telah setia sediakan. 

Nantikan tahap berikutnya dari rencana strategis, yang akan dikeluarkan dalam beberapa minggu ke depan, untuk cara-cara khusus di mana kita dapat menjadi saksi panggilan Kristus kepada kita. Dan semoga kita mendengarkan cara Tuhan berbicara kepada kita, seperti dalam pukulan drum kita di Perhimpunan, untuk “Mendengarkan satu sama lain dan memainkan peranmu!” 


Angela Moyer Walter

Angela Moyer Walter adalah Moderator dari Konferensi Mosaik.

Filed Under: Articles Tagged With: Angela Moyer Walter, Conference Board

Menjalani Tahun Baru 2024 dengan Penuh Harapan

January 11, 2024 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Bagaimana memasuki tahun 2024 dengan penuh pengharapan? Harapan timbul dari Iman kita terhadap Tuhan, tetapi Harapan juga lahir dari hati kita.  Kitab Amsal 4:23 berkata, Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.  

Bagaimana kita menjaga hati? Khususnya memasuki tahun 2024? Bagaimana menghadapi stress, permasalahan dunia dan juga kehidupan pribadi kita masing- masing?

Dalam sebuah artikel yang berjudul Merayakan Hadirat Tuhan di hari Natal, Lima Tip mengurangi stress dan kekawatiran, penulis Elina Ciptadi mengutip seminar yang dibawakan oleh Pastor Virgo Handojo di Mennonite World Conference. Pastor Virgo adalah Profesor Psikologi di California Baptist University dan Pastor di Gereja JKI Anugerah California.

Faktor pemicu stress dapat dianggap sebagai ancaman, peristiwa netral, atau peluang untuk pertumbuhan – sebuah tantangan. Mereka bisa menjadi sangat membebani ketika dipandang sebagai ancaman terhadap eksistensi kita, menyebabkan kita kehilangan pandangan tentang hal-hal yang benar-benar penting.” 

Untuk meredakan kecemasan yang disebabkan oleh factor pemicu stress, Handojo membagikan lima tips: 

  1. Bedakan antara hal-hal yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan, kemudian susun rencana tindakan.  

Prioritaskan dan buat perubahan pada hal-hal yang bisa Anda kendalikan, sambil menyesuaikan harapan untuk faktor-faktor di luar kendali Anda. Meskipun menghentikan bencana iklim mungkin di luar jangkauan kita, memberikan dampak positif pada mikro lingkungan kita – rumah tangga, lingkungan sekitar, atau bahkan menghubungi pejabat pemerintahan– carilah hal-hal yang berada di dalam jangkauan kita. 

  1. Tetapkan rutinitas.  

Ketidakpastian menambah stres dan dapat menyebabkan kecemasan. Mengembangkan pola rutin – seperti waktu makan yang konsisten, jadwal kerja atau sekolah yang teratur, latihan fisik harian dengan kelompok yang sama, waktu doa keluarga, dan kajian Alkitab mingguan – membantu mendapatkan kembali kendali kita atas kehidupan. 

  1. Temukan Faktor Pemicu Stress.  

Kecemasan berasal dari pikiran irasional, dan antisipasi yang kurang jelas, spesifik, dan realistis. Hal-hal ini sangatlah membebani. Dengan memberi nama pada factor pemicu stress, seperti mengidentifikasi aspek konkret dari kondisi makroekonomi (misalnya, kenaikan suku bunga), kita dapat mulai merancang strategi dan menemukan solusi. 

  1. Kurangi volume dunia.  

Ini mungkin melibatkan mematikan TV, mengambil jeda dari media sosial, atau menetapkan batasan dengan orang-orang yang berkontribusi pada kekhawatiran Anda – setidaknya sampai Anda mengembangkan mekanisme penanganan yang lebih baik. Berhubungan dengan pikiran batin Anda, di sini dan sekarang. 

  1. Cari bantuan.  

Berbicara dengan seseorang yang dipercayai dapat sangat membantu. Hanya dengan didengar dapat memberi jaminan kepada kita bahwa kita tidak sendirian. Jika membagi beban dengan teman-teman tidak memberikan kelegaan, itu menjadi indikasi bahwa bantuan profesional mungkin diperlukan untuk mencegah kecemasan menguasai hidup dan kebahagiaan kita. 

“Hidup di dunia ini berarti mengalami emosi positif dan negatif,” ucap Pastor Virgo Handojo. “Kita tidak akan tahu kebahagiaan tanpa pernah merasakan kesedihan, atau kenyamanan tanpa rasa sakit. Yang harus kita ingat adalah kita dapat menyerahkan pikiran dan pemikiran kita kepada tangan Tuhan Yesus, dan percaya bahwa Tuhan berkuasa.” 

“Kita juga memiliki janji bahwa Tuhan mengetahui kebutuhan kita, akan merawatnya, dan akan bersama kita dalam hari-hari baik dan buruk. Matius 6:25-34, yang membahas kekhawatiran dan kecemasan, menekankan pencarian pertama Kerajaan Tuhan dan kebenaran-Nya, dengan jaminan bahwa segala sesuatu yang lain akan disediakan juga.” 

Selamat Tahun baru 2024, semoga hal ini bisa membantu kita semua memasuki tahun baru yang penuh dengan pengharapan. Tuhan Yesus memberkati.  

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Sebagai seorang pemimpin, saya dicobai

November 30, 2023 by Cindy Angela

by Hendy Matahelemual

Sebuah gereja meminta saya untuk berkotbah sebagai bagian dari rangkaian khotbah tentang para nabi. Pada minggu yang dijadwalkan, nabi yang diangkat adalah Yesus. Ketika saya berdoa mengenai apa yang harus dibagikan, saya merasa Roh Kudus menginginkan saya untuk berbicara tentang bagaimana memimpin seperti Tuhan Yesus. Saya terkejut. “Kalau bisa topik lain saja jangan kepemimpinan,” pikir saya.

Kepemimpinan adalah salah satu topik yang paling sulit bagi saya cukup sulit untuk dibagikan. Mungkin ini karena saya kesulitan dengan rasa percaya diri saya sendiri. Karena jujur terkadang saya merasa tidak menjadi pemimpin yang baik.

Tetapi Buku Henry Nouwen, “In the Name of Jesus: Reflections on Christian Leadership,” memberi saya semangat. Nouwen menulis bahwa seorang pemimpin cenderung untuk menjadi relevan, spektakuler, dan berkuasa. Dalam peran kepemimpinan saya, saya cenderung mencoba menjadi segalanya bagi semua orang. Terutama dalam komunitas imigran, peran seorang pastor tidak terbatas pada berkotbah dan memimpin studi Alkitab. Kami diharapkan menjadi lebih dari itu: tukang, sopir, penerjemah, penasihat hukum, agen real estat, dan hotline darurat dan informasi 24/7. Komunitas mungkin memiliki harapan yang tidak realistis. Jika kita tidak berhati-hati, kelelahan dan depresi sudah mengintai.

Ketika Yesus dicobai di padang gurun, setan mencoba membuatnya menggunakan kuasanya untuk alasan yang salah. Saya pikir setan menggunakan trik yang sama pada pemimpin hari ini. Saya telah terjebak dalam perangkap “relevansi” karena saya ingin diakui sebagai seorang pastor yang membantu orang. Ada dorongan di dalam diri saya untuk menjadi berguna bagi jemaat, konferensi, dan komunitas saya.

Tidak ada yang salah dengan membantu memenuhi kebutuhan orang. Tetapi motifnya haruslah kasih yang tulus, bukan keinginan untuk mengesankan orang lain atau mengisi kekosongan dalam hati kita. Memenuhi kebutuhan dunia mungkin memecahkan masalah segera tetapi tidak memenuhi kebutuhan manusia yang paling dalam: kasih Tuhan.

“Kasih Tuhan dapat diwujudkan melalui hubungan personal,” tulis Nouwen. “Kita hidup dalam budaya di mana segalanya diukur dari hasil, prestasi, dan angka, tetapi ada kurangnya penekanan pada hubungan, rekonsiliasi dan koneksi. Sebagai pemimpin, kita perlu menjadi tidak relevan dengan budaya ini dengan menjadi rentan sebagai individu yang juga membutuhkan kasih dari Tuhan dan perhatian dari komunitas.”

Cobaan berikutnya adalah menjadi spektakuler. Di Indonesia, saya bekerja sebagai seorang pastor di sebuah gereja besar. Kami memiliki rata-rata kehadiran lebih dari 2.000 orang dan sekitar 40 staf. Setiap tahun, kami membaptis sekitar 100 orang.

Ketika saya pindah ke Amerika Serikat, segalanya berubah. Saya menjadi pastor di sebuah jemaat kecil. Pada satu titik, kami hanya memiliki kurang dari sepuluh orang dalam ibadah Minggu kami. Saya harus bekerja dua atau bahkan tiga pekerjaan untuk mendukung pelayanan saya. Dalam tiga tahun pertama, kami membaptis tiga orang. Istri saya dan saya merasa seperti gagal. Teman-teman di tanah air bertanya mengapa kami membuang waktu dan energi kami. Mereka mengatakan kami seharusnya kembali ke Indonesia.

Kami senang kami tetap tinggal. Saya belajar banyak memimpin jemaat kecil. Jemaat melihat saya seperti apa adanya. Saya tidak bisa bersembunyi di belakang mimbar di panggung besar, di luar jangkauan. Orang lain melihat kerentanan saya dan hidup kita menjadi terkait. Jemaat melihat perjuangan kita dalam pernikahan, menjadi orang tua, dan mencari nafkah. Pada awalnya, ini tampak seperti kelemahan. Tetapi kita tumbuh untuk memahaminya sebagai berkat. Orang lain mencintai kita seperti kita.

Nouwen mengatakan seorang pemimpin membutuhkan orang sebanyak yang mereka butuhkan pemimpin. Saya mencoba tumbuh sebagai pemimpin sambil dipimpin oleh orang lain, dan memimpin seperti Yesus dengan tidak tunduk pada godaan untuk menjadi relevan, spektakuler, atau berkuasa. Saya berharap kita semua bisa belajar dari teladan Tuhan Yesus, Tuhan memberkati kita semua.

A version of this article originally appeared in Anabaptist World and is reprinted with permission.


Hendy Matahelemual

Hendy Matahelemual is the Associate Minister for Community Engagement for Mosaic Conference. Hendy Matahelemual was born and grew up in the city of Bandung, Indonesia. Hendy lives in Philadelphia with his wife Marina and their three boys, Judah, Levi and Asher.

Filed Under: Articles, Blog, Blog Tagged With: Hendy Matahelemual

Bersilaturahmi

October 26, 2023 by Conference Office

Oleh Hendy Matahelemual 

Sebagai orang Indonesia, kata silaturahmi tidak asing lagi ditelinga kita. Kata ini memiliki arti “tali persahabatan”. Sehingga menjalin tali persahabatan adalah arti kata bersilahturahmi. Sangat disayangkan menurut saya andaikan kata ini dapat dipraktekan dalam kehidupan kita sehari hari. Saya rasa dunia yang penuh dengan kekerasan, perang, dan kebencian bisa menjadi lebih baik.

Ada pepatah yang berkata mencegah lebih baik daripada mengobati. Memang masa lalu tidak bisa kita ubah tetapi masa depan yang penuh perpecahan dan kebencian bisa kita ubah. Dunia lebih banyak lagi menjalin silaturahmi.

Makan siang bersama Ps Hendy, Ps Stephen (JKIA), Ps Buddy (IWC), dan Ps Mary

Dengan silaturahmi, kecurigaan dan kesalahpahaman karena asumsi bisa dihilangkan dengan komunikasi yang baik, saling menghormati dan penuh dengan kasih.

Bersilahturahmi adalah obat yang mencegah polarisasi, mencegah perpecahan, sehingga kita bisa mencari keadilan, jalan tengah dan keharmonisan.

Apa yang membuat kita tidak menjalin tali persahabatan? Mari kita mengutamakan kasih yang menebus batas, sehingga kepercayaan bisa dibangun satu sama lain.

Tuhan Yesus berkata, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” – Yohanes 13:35

Minggu lalu saya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung bertemu dengan beberapa pendeta dan pemimpin gereja-gereja Mosaic Conference di California.

Bersama Ps Virgo Handojo, dari JKIA Anugerah

Pertemuan ini tidak bisa digantikan dengan pertemuan via online, text maupun televon. Saya percaya ada banyak hal yang hilang jika mengandalkan pertemuan pertemuan dengan online. Meskipun lebih mudah tentunya pertemuan online ini namun tidak dapat kehadiran secara fisik tidak tergantikan.

Bersama Pastor Chidi (LA Faith) dan keluarga

Saya mengucap syukur Pertemuan tahunan Konferensi Mosaik tahun ini dilaksanakan secara langsung. Dimana kita bisa saling bertemu tatap muka dan menjalin tali persahabatan lebih lagi.

Mari menjalin tali silahturahmi, tali persahabatan sehingga kita boleh menjadi murid-murid Yesus yang taat dan saling mengasihi. Tuhan Yesus memberkati.


Hendy Matahelemual

Hendy Matahelemual is the Associate Minister for Community Engagement for Mosaic Conference. Hendy Matahelemual was born and grew up in the city of Bandung, Indonesia. Hendy lives in Philadelphia with his wife Marina and their three boys, Judah, Levi and Asher.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Batu Penjuru Atau Batu Loncatan?

October 5, 2023 by Conference Office

Keluarga kami mengambil perjalanan sehari ke New York City selama liburan musim panas. Kami biasanya melakukan perjalanan ini sekali setiap dua hingga tiga bulan. Anak-anak kami sangat menyukai menjelajahi taman bermain dan taman kecil di kota ini, sementara istri saya dan saya menikmati tur film, mencari tempat-tempat yang pernah kami lihat di film.

Namun, itu bukan satu-satunya alasan kami mengunjungi kota ini. Kami selalu akan mengingat New York karena kami pertama kali datang ke Amerika Serikat melalui kota ini. Anak kedua kami lahir di sini, dan kami memulai pelayanan kami di Amerika Serikat di sini. Kami tinggal di New York beberapa tahun sebelum pindah ke Philadelphia. Perjalanan kami ke New York City terasa seperti sebuah ziarah.

Aneh mungkin terdengar, saya belajar tentang dan merangkul keyakinan Anabaptis tepat di New York City ini. Kenangan saya tentang perjalanan ke Eastern Mennonite Seminary di Lancaster, Pa., dengan pemandangan yang berubah dari pencakar langit menjadi pertanian dan sebaliknya, masih segar dalam ingatan.

Saya dulu berdoa agar pelayanan saya menjadi berkat bagi bangsa dan generasi, tetapi tidak pernah terpikir oleh saya bahwa Tuhan ingin mengirim saya sejauh ini, apalagi menjadi pelayan di Gereja Mennonite. Tetapi Tuhan mampu melebihi semua harapan, seperti yang ditulis oleh Rasul Paulus: “Kepada Dia yang dengan kuasa yang bekerja di dalam kita sanggup melakukan jauh lebih dari pada yang kita doakan atau pikirkan, kepada-Nya kiranya kemuliaan di dalam jemaat dan di dalam Kristus Yesus turun-temurun sampai seluruh keturunan, dari segala abad sampai selama-lamanya” (Efesus 3:20-21).

Salah satu hal yang saya pelajari dari menjadi Mennonite di kota dan tinggal di Philadelphia adalah bagaimana menjadi pribadi yang berorientasi misi — menyembuhkan apa yang telah rusak dalam hubungan, lingkungan, dan dunia kita dengan berbagi dan menjalani Kabar Baik Yesus.

Di kota, masalah sosial sangat tampak. Biasa melihat kesenjangan yang tajam, seperti SUV Mercedes G-Class yang diparkir dekat orang yang tunawisma. Seorang sesama pastor di sini pernah mengalami pengalaman mendebarkan saat peluru meluncur masuk ke kantornya, yang untungnya tidak menyebabkan kerusakan. Kota ini berjuang dengan masalah kesehatan mental, kompleksitas imigrasi, penyalahgunaan narkoba, dan kejahatan.

Kita juga bisa melihat bagaimana suatu lingkungan dari kode posnya, apakah berpenduduk hitam, putih, Asia, atau Hispanik. Dalam beberapa hal, kita masih terpisah, dan ada sedikit interaksi yang disengaja antar komunitas.

Banyak orang melihat ini sebagai masalah yang harus dihindari, tetapi saya percaya ini adalah peluang yang memerlukan kehadiran kita. Yeremia 29:7 berbicara kepada saya secara pribadi, “Usahakanlah kesejahteraan kota tempat Aku telah mengasingkan kamu ke sana dan berdoalah bagi kota itu kepada Tuhan, sebab dalam kesejahteraannya kamu akan mendapat kesejahteraanmu sendiri.”

Ketika orang Israel berada di Babel, nabi Yeremia berbicara kepada mereka untuk berdoa bagi kota mereka dan membawa perdamaian kepadanya. Sebagai pengikut Yesus yang mengembras nilai-nilai Mennonite, kita dipanggil untuk menjadi agen rekonsiliasi. Damai adalah inti dari pekerjaan kita.

Saya mengajak orang untuk tinggal di kota ini dan memberikan kontribusi bagi masyarakat dan lingkungan. Banyak orang melihat kota sebagai batu loncatan dan bukan sebagai dasar tempat mereka dapat membangun. Banyak orang melihat ruang perkotaan sebagai lokasi untuk menggandakan keuntungan dan bukan sebagai tempat untuk membangun keluarga dan komunitas. Cara berpikir ini harus berubah.

Di antara populasi perkotaan yang berjumlah jutaan ini, tidak banyak Mennonite. Tetapi jika Anda salah satunya: “Jadilah kuat dan berani; janganlah takut dan janganlah gentar, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke mana saja engkau pergi” (Yosua 1:9).

Teruslah berbuat baik, menjalin hubungan, dan menyebarkan perdamaian ke setiap sudut kota.

Saya mengundang Mennonite dari pinggiran dan daerah pedesaan untuk datang dan memberikan pelayanan di kota ini dan melihatnya bukan sebagai tempat untuk dihindari karena konotasi berdosa, tetapi sebagai tempat di mana kasih dan mujizat Yesus akan menjadi kenyataan.

*Artikel ini dimuat juga di majalah anabaptistworld

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Namun Kami Masih Menyatakan Bahwa Allah Setia (Yet We Still Declare that God is faithful)

September 28, 2023 by Conference Office

Saya dibesarkan dan dibentuk secara spiritual di lingkungan Mennonite. Panggilan Tuhan untuk pelayanan datang kepada saya ketika saya berusia akhir 20-an. Ini datang sebagai kejutan dan membingungkan. Saya bukan berasal dari keluarga pendeta, dan saya seorang wanita lajang. Namun, dasar spiritual telah diletakkan bagi saya untuk mendengar panggilan Tuhan dan merespons dengan kesetiaan.

Pelayanan telah menjadi kebahagiaan besar dalam hidup saya, tetapi juga penuh dengan kesulitan. Seperti banyak dalam Alkitab, saya bersaksi tentang kesetiaan Tuhan, kasih Yesus, dan kuasa Roh Kudus di tengah kesulitan tersebut.

Ini juga menjadi kesaksian Konferensi Mosaic. Kelahiran Mosaic dipenuhi dengan harapan. Ini adalah suatu kehormatan bagi saya untuk menjadi salah satu pemimpinnya sejak awal. Kami memiliki pekerjaan untuk menjalani nama ini dengan integritas, tetapi Roh ada di antara kami.

Kelahiran Mosaic bertepatan dengan pandemi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bersama-sama kami melewati waktu itu, saling mendukung dan berdoa satu sama lain. Kami memilih cara-cara yang berbeda untuk bersama-sama dan “melakukan ibadah,” tetapi kami tetap terhubung dengan Tuhan dan satu sama lain.

Tahun lalu, tema Pertemuan kami berfokus pada kata Ibrani, “chesed,” yang berarti kasih Allah yang diberikan secara cuma-cuma kepada kami, bahkan ketika tidak layak. Tahun ini, tema kami, “emet,” dibangun dari itu. Dalam bahasa Ibrani, “emet” berarti kebaikan yang kuat dan kebenaran yang setia. Mazmur 116 dan 117 mengingatkan kita bahwa kebaikan Tuhan bagi kita adalah kuat; kebenaran Tuhan kekal selamanya.

Kami memulai proses Pathways Forward kami pada tahun 2022. Selama waktu itu, negara kami, lingkungan kami, gereja kami, dan bahkan rumah kami telah mengalami banyak hal. Kami telah menghadapi cuaca buruk, ketidaksetaraan kekayaan yang semakin meluas, episode kebencian dan kekerasan, polarisasi budaya dan politik, dan bahkan pertemuan keluarga yang terbagi.

Namun kami masih menyatakan bahwa Allah setia. Ada ruang untuk berdoa, berpuasa, mendengarkan, membangun hubungan, dan bermimpi bersama. Kesempatan untuk hidup dalam harapan Konferensi Mosaic tetap ada.

Dewan Mosaic baru-baru ini menerima laporan ringkasan dari Tim Pengarah Pathways dan konsultankonsultan, yang melaporkan hasil pertemuan kelompok fokus. Mohon luangkan waktu untuk membaca laporan ringkasan ini. Kami akan memiliki kesempatan untuk mendiskusikan implikasinya dalam pertemuan persiapan Delegasi kami (23-28 September) dan Pertemuan Umum pada 4 November. Akan ada banyak percakapan untuk mengartikulasikan siapa kita dan untuk menyebutkan persamaan dan perbedaan kita, dan bagaimana hal itu menginformasikan prioritas misional, formational, dan antarbudaya kita.

Mungkin terasa seperti belajar mengendarai sepeda tanpa roda pelatihan, penuh dengan goncangan tetapi berharga. Saya antisipasi perlu mengingat bagaimana rasanya ketika saya merasakan panggilan untuk melayani sebagai seorang wanita lajang; itu sulit, dan Allah bersama saya. Sama seperti pandemi yang membingungkan, Allah akan menuntun kami melaluinya.

Kami tahu bahwa hidup dalam nama Mosaic akan memerlukan kami untuk berusaha menjadi berubah oleh satu sama lain melalui kuasa Allah. Saya bersyukur atas kitab-kitab suci tentang chesed dan emet Allah. Ini memberi kami kekuatan untuk melakukan pekerjaan penyatuan dalam mengikuti Yesus melalui kuasa Roh.

Kami tidak perlu takut. Kami dapat memiliki keberanian untuk menunggu Tuhan seperti yang dinyatakan dalam Mazmur 27 pada hari Pentakosta tahun ini. Semoga pekerjaan dan kehidupan bersama kami mencerminkan keindahan selimut yang telah menjadi simbol bagi kami dan membawa kami kembali kepada chesed dan emet, kebaikan kuat dan kebenaran setia Allah. Sampai jumpa di Pertemuan Umum pada tanggal 4 November!

Filed Under: Articles Tagged With: Angela Moyer Walter

Keterbukaan Awal Sebuah Pemulihan

September 21, 2023 by Conference Office

Photo by Jon Tyson on Unsplash

Sebuah luka / trauma hanya bisa sembuh jika dibuka, diakui dan tidak ditutup tutupi. Yakobus 5:16 berkata “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.”

Arti dosa disini memiliki cakupan luas, bukan saja dosa pribadi melainkan dosa kolektif akibat dari sistem dunia yang korup. Dan inilah yang terkadang tidak kita sadari. Trauma-trauma kolektif akibat dosa ini perlu kita sadari dan akui. Sebagai contoh saudara-saudari kita yang berkulit putih mengakui dosa kolektif
masa lalu mereka dalam berpartisipasi dalam perbudakkan.

Sebagai orang Indonesia kita tidak lepas dari trauma trauma kolektif yang terjadi di masa lalu kita. Trauma Kolonialisme, Penjajahan, Kekerasan dan Rasisme perlu kita akui sebagai bagian dari bangsa kita yang harus sembuh.

Pendeta Nala Widya, mantan atlet sepeda nasional memiliki kutipan bagus, Ia berkata, “Luka yang sudah sembuh mungkin membekas terlihat, tetapi tidak terasa sakit lagi jika disentuh”, beliau mengilustrasikan hal ini dengan menceritakan pengalaman kecelakaan sepeda berat yang pernah ia alami yang menyebabkan pipinya harus dijahit. Luka itu membekas dan tidak hilang namun ketika sudah pulih tidak lagi ada rasa sakit.

Apakah ada trauma-trauma kolektif masa lalu kita yang masih belum sembuh? Apakah ada hal-hal yang membuat kita sebagai jemaat merasa gelisah, kawatir, tersinggung, bahkan sakit hati ketika menghadapi isu-isu yang ada? Mari kita berdoa meminta Tuhan untuk menyingkapkan dan memulihkan kita semua.

Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. – 1 Yohanes 1:9

Ada sebuah film Indonesia yang menarik perhatian saya, meskipun film ini masih dalam proses akhir pengambilan gambar, mendengar ringkasannya membuat hati saya tergerak antara ingin melihat dan juga disatu sisi ada sedikit rasa cemas dan ragu apakah saya sudah siap untuk menonton film ini.

Film ini berjudul kupu-kupu kertas disutradarai oleh Emil Heradi, menceritakan ada sepasang kekasih, Ning dan Ikhsan. Ning adalah seorang simpatisan PKI, sedangkan Ikhsan berasal dari keluarga NU yang mencintai satu sama lain meskipun memiliki perbedaan ideologi. Hingga keluarga Ikhsan tewas, Ikhsan bingung apakah akan membalas dendam kepada PKI atau menyelamatkan nyawa Ning, kekasihnya.

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kata PKI (Partai Komunis Indonesia) memiliki konotasi yang begitu buruk. Pembersihan dan Penghilangan semua unsur-unsur yang terkait dengan PKI pada tahun 1965-1966 menorehkan luka dan trauma yang begitu besar bagi bangsa ini, sehingga periode ini terkenal dengan pembunuhan masal yang mencatat korban 500.000 sampai dengan 1.2 juta jiwa.

Tidak banyak yang ingin menghidupi kembali trauma masa lalu, namun hal ini juga menandakan bahwa pemulihan atas trauma tersebut belum terjadi. Bangsa kita perlu sembuh dari luka luka masa lalu. Rekonsiliasi antar golongan, antar etnis suku bangsa, antara Agama, perlu disertai dengan doa dan dilakukan dengan nyata dan terencana.

Sebuah buku ditulis oleh Agus Suyanto, Rev Paulus Hartono yang berjudul “The Radical Muslim and Mennonite” (Muslim Radikal dan Mennonite) menceritakan dialog dan hubungan antara kelompok Hizbulah dan Komunitas Mennonite di Solo. Agus Suyanto dan Pendeta Paulus Hartono, berkata “Tak Kenal maka Tak Sayang”. Mengenal Trauma-trauma masa lalu masing-masing membuat kedua kelompok ini bisa lebih mengerti satu sama lain, dan membangun dialog dan kerja sama bersama sama.

Mengakui dan kejujuran akan luka-luka dan trauma trauma masa lalu adalah awal dari sebuah pemulihan. Tuhan Yesus Kristus turun kedunia ini untuk memulihkan tatanan yang rusak yang disebabkan oleh dosa manusia. Ia juga datang untuk mempersatukan yang jauh menjadi dekat oleh kuasa darah-Nya. Sebagai umat yang sudah diselamatkan dan sudah diberi berkat dan kuasa, menjadi pembawa damai adalah tugas kita bersama-sama.

Mari terus menerus berdoa dan merefleksikan hidup kita kedalam komunitas yang semakin hari boleh semakin dipulihkan dengan semangat kebersamaan bahwa kita adalah bagian yang hancur namun bersama-sama di dalam kuasa kasih karunia Tuhan, bagian ini bisa menjadi bagian yang indah. Tuhan Yesus memberkati.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

  • « Go to Previous Page
  • Go to page 1
  • Interim pages omitted …
  • Go to page 3
  • Go to page 4
  • Go to page 5
  • Go to page 6
  • Go to page 7
  • Interim pages omitted …
  • Go to page 17
  • Go to Next Page »

Primary Sidebar

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami

Footer

  • Home
  • Hubungi Kami
  • Pertemuan Konferensi
  • Visi & Misi
  • Sejarah
  • Formasional
  • Antar Budaya
  • Tim Misi
  • Institut Mosaic
  • Memberi
  • Penatalayanan
  • Keamanan Gereja
  • Artikel

Copyright © 2025 Mosaic Mennonite Conference | Privacy Policy | Terms of Use