• Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Skip to footer

Mosaic MennonitesMosaic Mennonites

Missional - Intercultural - Formational

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami
  • 繁體中文 (Cina)
  • English (Inggris)
  • Việt Nam (Vietnam)
  • Español (Spanyol)
  • Indonesia
  • Kreol ayisyen (Creole)

Articles

Adven ini, Saya akan Melihat ke Seberang Jalan

November 30, 2022 by Conference Office

By Hendy Matahelemual

Dibesarkan di dalam sebuah keluarga Kristen di Indonesia, negara mayoritas Muslim, sangat jarang saya melihat dekorasi Natal di luar rumah kecuali di gereja. Tapi pada waktu itu kami selalu tahu di mana kami bisa menemukan pajangan Natal. Di sebuah dealer mobil di sebuat sudut kota. Pemiliknya pasti orang Kristen. 

Setiap tahun pada akhir November, saya dan keluarga saya sangat bersemangat untuk mengetahui pameran Natal seperti apa yang akan dipasang oleh pemilik dealer tersebut: Sinterklas dan kereta luncurnya, manusia salju, kandang Natal. Setiap tahun pasti berbeda. 

Mereka juga memasang lampu warna-warni, jadi pada malam hari sangat indah untuk dilihat – dekorasi Natal yang sakral dan sekuler, termasuk simbol musim dingin dan salju, di iklim tropis. Tidak pernah turun salju di Indonesia! 

Seiring berlalunya waktu, dealer mobil tersebut pun pindah dan tidak ada lagi pameran Natal di sudut itu. Tetapi lampu warna-warni dan manusia salju akan bertahan selamanya dalam kenangan masa kecil Natal saya. 

Kurang puas dengan gambaran mental dari ingatan, saya membuka Google Maps untuk melihat seperti apa sudut Bandung itu sekarang. Ketika saya menggulir sekeliling, sesuatu muncul. Saya menyadari bahwa tepat di seberang jalan berdiri salah satu Masjid Agung di kota itu. 

Sebagai seorang anak, saya tidak pernah memperhatikan bahwa ada sebuah masjid disitu. Tidak pernah menjadi suatu yang berarti. Tetapi sekarang berbeda, hal tersebut menjadi berarti.  

Sebagai pengikut Yesus, kita perlu mengubah sikap kita terhadap orang yang berbeda keyakinan. 

Dalam pelayanannya, Yesus berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang: orang Romawi yang percaya pada banyak tuhan, orang Kanaan yang menyembah Baal, orang Samaria yang menyembah Yahweh di Gunung Gerizim daripada di Kuil di Yerusalem. 

Yesus tidak berusaha meyakinkan orang untuk bergabung dengan agamanya. Dia menyembuhkan orang sakit, membebaskan orang yang ditindas setan, mengatakan kepada orang-orang untuk memberi tahu orang lain apa yang telah Tuhan lakukan bagi mereka, memuji orang-orang karena iman mereka dan mengumumkan bahwa mereka akan berpesta di surga bersama para nabi. 

Yesus hanya mengasihi mereka, memuji kebaikan dalam diri mereka dan menjawab pertanyaan yang mereka ajukan — terkadang dengan mengarahkan mereka untuk menemukan jawaban bagi diri mereka sendiri. 

Mesach Krisetya, seorang pemimpin Mennonite Indonesia yang meninggal awal tahun ini, mengatakan misionaris Kristen di Indonesia sering melakukan strategi penaklukan. Adalah umum bagi orang Kristen untuk merasa terancam oleh Islam dan bagi orang Muslim untuk merasa tersinggung oleh kekuatan kolonial, politik dan arogansi budaya sebelumnya. Krisetya mendesak kepekaan pluralis, sadar bahwa baik Muslim maupun Kristen tidak kehilangan identitas melalui pertukaran yang hati-hati. 

Baru-baru ini kami mengundang seorang rabi Yahudi untuk berbicara di rapat staf Konferensi Mosaic Mennonite kami. Jemaatnya hanya berjarak dua blok dari jemaat saya di Philadelphia Selatan. 

Kami mengundangnya untuk membagikan pengetahuannya tentang chesed, kata Ibrani yang berarti kasih setia Tuhan. Itu adalah tema pertemuan konferensi kami tahun ini. Chesed setara dengan agape Yunani. 

Saat dia menjelaskan tentang kasih Tuhan dan praktik chesed, saya kagum dengan wawasannya tentang Perjanjian Lama. Dia mengundang kami ke makan malam Shabbat mereka, yang sangat ingin saya alami. 

Selama Adven tahun ini, saya akan mencoba untuk menyadari lingkungan saya. Saya akan berusaha menemukan Tuhan dalam diri orang lain dan dalam setiap sudut hidup saya. Aku akan mencoba untuk mencintai bahkan ketika itu menyakitkan. Saya akan mencoba memberikan rahmat kepada semua orang, terlepas dari tindakan, keyakinan, status, politik, atau kebangsaan mereka. 

Pujilah TUHAN, hai segala bangsa, megahkanlah Dia, hai segala suku bangsa! Sebab kasih-Nya hebat atas kita, dan kesetiaan TUHAN untuk selama-lamanya. Haleluya! (Mazmur 117) 

Saya percaya satu hal yang mempersatukan kita sebagai -manusia: kasih Allah yang tetap, teguh, dan setia. 

Mari kita tunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah pengikut Yesus bukan dengan berapa banyak dekorasi Natal yang kita pasang tetapi dengan seberapa besar kita mencintai orang asing maupun teman. 

Editor’s note: This article originally appeared in Anabaptist World on Nov. 18 and is used here by permission. To read the original article, please click here.  


Hendy Matahelemual

Hendy Matahelemual is the Associate Minister for Community Engagement for Mosaic Conference. Hendy Matahelemual was born and grew up in the city of Bandung, Indonesia. Hendy lives in Philadelphia with his wife Marina and their three boys, Judah, Levi and Asher.

Filed Under: Articles Tagged With: Advent, anabaptist world

Sebuah Renungan

November 17, 2022 by Cindy Angela

Oleh Hendy Matahelemual

Sebuah gambar dapat melukiskan ribuan kata kata. Kesan inilah yang saya dapatkan ketika melihat foto foto dari Pertemuan Tahunan Konferensi Mosaik beberapa waktu lalu di Souderton, Namun baru kali ini pertemuan tahunan Mosaik terasa berbeda dari pertemuan biasanya. Sejak pertemuan delegasi khusus musim panas MC USA di Kansas City yang meratifkasi Resolusi Pertobatan dan Transformasi yang mendukung kaum LGBTQIA+, kami gereja-gereja imigran di Konferensi Mosaik mengungkapkan rasa kekecewaan kami terhadap denominasi.

Meskipun resolusi ini tidak mengingat terhadap anggota denominasi, kami sebagai gereja imigran di Mosaik berpendapat bahwa resolusi ini bukanlah jalan yang baik. Isi resolusi juga bertentangan dengan nilai budaya dan pandangan teologi kami. Sebagai gereja imigran Indonesia kami berpegang pada Pernyataan Bersama Gereja-gereja di Konferensi Mosaik mengenai Anugerah dan Kebenaran.

Tetapi tentu segala upaya, diskusi, maupun argumentasi sangat diperlukan dalam hal ini, meskipun sulit dimana budaya pasif-agresif masih sangat kental dalam Konferensi kami.

Kita semua diingatkan dari tema “Chesed” bahwa Kasih Tuhan yang teguh, konstan dan tidak berkesudahan inilah yang menyatukan kita semua. Mari kita menyuarakan kebenaran dengan kasih dan bukan dengan penghakiman, seperti ada tertulis dalam surat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus.

Tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.

Efesus 4:15

Phil Bergey dalam seminar mengenai konflik resolusi yang dihadiri pemimpin kredensial Mosaik di Perkasie, menawarkan tiga model penyelesaian masalah. Model pertama menyelesaikan konflik dengan secepat mungkin dan sesegera mungkin dengan segala sumber daya dan keterbatasan yang kita miliki. Model kedua adalah mempelajari terlebih dahulu dengan seksama sebelum mengambil langkah langkah. Model ketiga adalah menyadari bahwa ada beberapa ketegangan dan konflik ada bukan untuk dicari penyelesaiannya,tetapi untuk dihidupi bersama.

Saya mengakui bahwa pembicaraan mengenai isu gender dan seksualitas seringkali dihindari dalam banyak pertemuan pertemuan, karena kerap menimbulkan suasana yang tidak nyaman. Saya percaya bahwa setiap luka yang ada bisa pulih jika luka tersebut dibuka dan bukan ditutup tutupi sedemikian rupa.

Konferensi Mosaik membentuk Komite Iman dan Kehidupan pada tahun 2015 untuk secara khusus membahas mengenai isu gender dan seksualitas, melalui Pernyataan Bersama Gereja gerja mengenai Iman dan Kehidupan. Dan saya memiliki keyakinan bahwa komite ini bisa membawa perubahan dan kesatuan di dalam konferensi kami khususnya menyikapi pandangan mengenai LGBTQIA+

Dan terakhir mari kita berdoa supaya hasil keputusan Konferensi Mosaik untuk meninjau hubungan dengan MC USA berjalan dengan baik. Sehingga apapun yang kita putuskan selama dua tahun kedepan ini bisa sejalan dengan apa yang Tuhan kehendaki. Mari berdoa supaya kesatuan dalam kasih bisa terus mewarnai dan menyatukan mosaik mosaik kehidupan kita sebagai murid murid Yesus dari berbagai macam bangsa, budaya dan bahasa, Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Apa yang akan kita lakukan di Pertemuan Tahunan?

October 20, 2022 by Conference Office

Oleh Stephen Kriss

Setelah pertemuan Assembly Scattered di California, Pastor Grace Pam dari Faith Chapel berkata, “Saya menghargai cara kita mencoba untuk beribadah, berdoa, dan melakukan pekerjaan pelayanan kita bersama.”

Kami sedang berusaha.

Dalam Pertemuan Mosaik tatap muka pertama kita pada tanggal 5 November di Gereja Mennonite Souderton (PA), kita akan beribadah, mendengarkan, merayakan, mengingat, makan, berdoa, dan berpelukan. Dan ada kemungkinan bahwa kita akan saling tidak setuju dalam beberapa hal.

Mosaik pada akhirnya adalah seperangkat hubungan dan komitmen kepada Tuhan dan satu sama lain. Berkumpul di meja bersama tidak hanya praktis, tetapi juga simbolis dari identitas komunitas kita.

Sundanese Table Spread. Photo by Vina Kencana.

Kita akan menyantap tamale yang dibuat oleh para wanita Centro de Alabanza (Philadelphia), Es Krim Longacre (dari Bally, PA), Funny Cake dari jemaat West Swamp (Quakertown, PA), dan makan siang khas Sunda (Indonesian Light Church, Philadelphia).  Makanan akan menjadi salah satu cara kita melakukan pekerjaan penting untuk memasuki dunia satu sama lain. 

Dalam ibadah kita, kita akan bernyanyi, berdoa, mengurapi, dan menerima persekutuan bersama. Inilah ritme hidup kita bersama sebagai manusia di jalan Yesus.  Kita menerima. Kita memberkati. Kita berbagi. Kita mendengarkan. Kita memproklamirkan. 

Dan kita akan melakukan pekerjaan kudus gereja, termasuk pekerjaan yang memposisikan Mosaik selama beberapa tahun ke depan. 

Kami akan menegaskan Pelayanan Terkait Konferensi baru, Amahoro International, dan gereja baru, Iglesia Evangélica Menonita de Oración Adoración (Philadelphia, PA).

Kami akan menegaskan moderator baru kami. Angela Moyer Walter menjabat sebagai Asisten Moderator dengan Franconia dan sekarang Mosaic Conference; beliau akan pindah ke peran Moderator. Angela dibesarkan di bekas kongregasi Rockhill (Telford, PA) dan lulus dari Dock Mennonite Academy (Lansdale, PA). Dia adalah salah satu pendeta di Gereja Ripple di Allentown, PA.  Dia bi-vokasional, bekerja juga sebagai terapis okupasi pediatrik, dan fasih dalam bahasa Inggris dan Spanyol. 

Roy Williams berada di Dewan Mosaik dan menjabat sebagai Ketua Komite Antarbudaya. Dewan Mosaik telah memilihnya sebagai Asisten Moderator berikutnya. Roy membawa pengalaman dewan yang mendalam dan komitmen yang kuat untuk pelayanan perkotaan.  Dia telah menjadi moderator Mennonite Church USA dan wakil ketua dewan Badan Pendidikan Mennonite.  Roy akan pensiun pada bulan Desember dari peran pastoral jangka panjangnya di College Hill Mennonite Church (Tampa, FL). 

Duo kepemimpinan Angela dan Roy akan membawa pengalaman luas dan komitmen kuat kepada komunitas konstituen kami.   

Kami akan melihat jalan ke depan. Dokumen “Perjalanan” (Halaman 10) yang ditulis Dewan berdasarkan Rekomendasi Gugus Tugas Mendengarkan (Halaman 4). Dokumen tersebut menyerukan pekerjaan strategis yang merupakan langkah alami berikutnya dalam kehidupan komunal Mosaik kita. Namun langkah alami ini datang pada saat yang sulit dalam hubungan kita dengan Mennonite Church USA.  

Dokumen “Perjalanan” (Halaman 10) memiliki empat tindakan utama: 

  1. Doa dan puasa lanjutan. 
  2. Komitmen untuk berjalan dengan sabar bersama. 
  3. Meluncurkan proses perencanaan strategis untuk memperjelas masa depan kita. 
  4. Mengizinkan jemaat untuk menangguhkan keanggotaan mereka di Mennonite Church USA jika hati nurani mereka melihat hal ini diperlukan saat ini. 

Dokumen “Perjalanan” akan disajikan untuk dipertimbangkan sebagai keseluruhan dokumen — delegasi tidak akan dapat menegaskan hanya sebagian darinya. Meskipun dewan dapat menyerukan proses dan komitmen langkah 1-3, hanya delegasi yang dapat menyetujui perubahan anggaran rumah tangga yang diperlukan untuk langkah 4. Ini adalah pekerjaan kearifan yang kritis. Bisakah kita berkomitmen untuk berjalan bersama dengan doa yang sungguh-sungguh sehingga kita dapat bergerak menuju masa depan kita dengan cara yang memperjelas hubungan kita satu sama lain dan MC USA?

Beberapa dari kita ingin bergerak cepat sementara yang lain dari kita tidak menginginkan perubahan apa pun

Beberapa dari kita ingin bergerak cepat sementara yang lain dari kita tidak menginginkan perubahan apa pun. Proposal ini memberikan kesempatan untuk saling memberikan rahmat di tengah perbedaan kita. Ada risiko bahwa kita telah terpolarisasi begitu banyak sehingga dokumen ini tidak akan disetujui, namun Dewan percaya jalur ini menawarkan kita kesempatan untuk bergerak bersama dengan kejelasan dan kebijaksanaan. Para delegasi akan memutuskan apakah kita menegaskan dan memberikan rahmat hati nurani itu satu sama lain. 

Dalam kegaduhan dan kebingungan akan perubahan zaman dan identitas baru kita, kita melakukan ini sementara berakar pada kasih Allah yang teguh, memberikan kesaksian kepada Kristus yang di dalamnya kita dipusatkan, dan mengantisipasi kehadiran Roh bersama kita.


Stephen Kriss

Stephen Kriss adalah Pelayan Eksekutif Konferensi Mennonite Mosaik.

Filed Under: Articles Tagged With: Conference Assembly 2022

Badai Pasti Berlalu

September 29, 2022 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Badai pasti berlalu, adalah sebuah kalimat positif yang biasa terucap untuk memberikan semangat bahwa segala persoalan berat akan berlalu. Seringkali ungkapan ini kita berikan kepada seseorang atau bahkan diri kita sendiri sebagai kalimat motivasi.

Tetapi pada kesempatan kemarin, badai pasti berlalu lebih dari sekedar ungkapan tetapi doa dan dukungan nyata terhadap gereja gereja di Florida yang akan terkena dampak dari badai Ian. Setelah rapat staff Mosaik, kami mengundang beberapa perwakilan dari gereja-gereja di Florida untuk memberikan dukungan dan doa sebagai bagian dari solidaritas bersama.

Badai pasti berlalu, juga ternyata lebih dari sekedar ungkapan motivasi dan doa, jika kita melihat dari cerita Injil ada sebuah peristiwa yang spektakuler dimana badai berlalu tetapi tidak dengan sendirinya. Ya, betul cerita ketika Yesus menenangkan badai.

“Lalu Yesus naik ke dalam perahu dan murid-murid-Nyapun mengikuti-Nya. Sekonyong-konyong mengamuklah angin ribut di danau itu, sehingga perahu itu ditimbus gelombang, tetapi Yesus tidur.  Maka datanglah murid-murid-Nya membangunkan Dia, katanya: “Tuhan, tolonglah, kita binasa.” Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya?” Lalu bangunlah Yesus menghardik angin dan danau itu, maka danau itu menjadi teduh sekali.  Dan heranlah orang-orang itu, katanya: “Orang apakah Dia ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?”

Matius 8:23-27

Dalam kehidupan kita sebagai pengikut Yesus, “badai” adalah sesuatu yang pastinya sering kita hadapi. Tetapi “badai” yang paling hebat datang dari dalam keluarga rohani kita sendiri. Perpecahan di dalam jemaat adalah contoh dari sebuah badai yang tidak bisa kita navigasi dengan kekuatan kita sendiri.

Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat mula mula memberikan gambaran bahwa perpecahan sudah ada bahkan di dalam jemaat mula mula. Mengapa dengan mudahnya mereka terpecah pecah? Bukankah Yesus sudah bangkit dan lebih dekat masanya dengan mereka? Beberapa dari mereka bahkan pernah melihat Yesus, tetapi mengapa mereka bisa terpecah pecah?

Staff Mosaik berdoa bersama sama dengan konggregasi di Florida yang terkena dampak badai Ian kemarin.

Satu hal yang bisa memberi indikasi bahwa kita sebenarnya ada ditengah tengah badai adalah rasa kawatir, takut dan gelisah. Ada banyak hal terutama kita sebagai imigran di Amerika Serikat yang dapat membuat kita kawatir, takut dan gelisah. Mulai dari isu kekerasan senjata, imigrasi, keamanan, ekonomi sampai dengan isu immoralitas.

Semuanya membuat kita gelisah, kawatir dan takut, belum lagi kita semua masih dalam penyesuaian keluar dari pandemi COVID-19. Semakin banyak perdebatan memicu semakin banyak kekawatiran dan kegelisahan.

Satu hal yang menjadi kekawatiran saya pribadi adalah bagaimana kita memberitakan kebenaran dengan kasih. Rasul Paulus menulis ini dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, yang juga sedang mengalami “badai” perpecahan.

“tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.

Efesus 4:15

Seringkali kebenaran yang berusaha kita sampaikan ternodai oleh rasa takut kita, terdonai oleh rasa gelisah dan kekawatiran kita sendiri, bukannya dengan kasih tetapi kita menyampaikannya dengan amarah, dengan kekecewaan.

“Kebenaran akan memerdekakan kita”, dan saya percaya ini semua diawali dengan mengakui bahwa kita semua berdosa, dalam pikiran kita, perkataan kita dan perbuatan kita, dan hanya Tuhan Yesuslah yang sanggup menebus dosa kita semua, bukan dengan kuat gagah dan usaha kita sendiri.

Biarlah yang tidak berdosa melemparkan batu pertama, kata Yesus terhadap kerumunan orang yang akan merajam seorang pelacur. Tetapi pelacur tersebut akhirnya diselamatkan Yesus dan hidupnya diubahkan. Saya percaya bahwa wanita yang disebutkan dalam kita Yohanes tidak lagi melacur melainkan melayani Tuhan, ia meninggalkan kehidupan lamanya yang penuh dengan dosa, bukan karena kuat dan gagahnya tetapi karena Yesus datang menjamahnya.

Dalam badai kehidupan kita, apakah kita berteriak kepada Yesus? Apakah kita meminta Dia untuk menyelamatkan kita? Apakah kita berupaya melakukan segala macam cara yang pada akhirnya akan menguras tenaga kita, sehingga kita kehilangan damai sejahtera.

Iblis punya banyak cara untuk mencuri damai sejahtera kita, dan salah satunya adalah menyerang titik dimana kita lemah. Amsal berkata, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan karena disitulah terpancar kehidupan”.

Badai pasti berlalu, mari sikapi dengan doa, berpuasa, pujian penyembahan bersama, mari sikapi dengan bersekutu dan bukan lari dari kenyataan. Karena pada dasarnya kita semua ini sama yang adalah pengikut Yesus yang perlu kasih karunia. Pergilah dalam damai, damai di dalam Tuhan kita Yesus Kristus.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Proyek Alkitab Anabaptis

September 1, 2022 by Cindy Angela

Oleh Hendy Matahelemual

Alkitab versi Anabaptist adalah salah satu proyek yang dikerjakan oleh Mennomedia yang adalah sebuah badan publikasi dari MCUSA dan Canada. Alkitab Anabaptis ini rencananya akan dipublikasikan bertepatan dengan ulang tahun pergerakkan Anabaptis di eropa 500 tahun yang jatuh pada tahun 2025, oleh sebab itu proyek ini diberi nama Anabaptis at 500.

Peringatan lima ratus tahun Anabaptisme pada tahun 2025 memberi gereja kesempatan unik untuk merayakan dan bermimpi bersama. Ini juga untuk merayakan panggilan bersama oleh Roh Kudus kepada beragam orang di semua batas budaya dan geografi. Untuk bermimpi tentang bagaimana lebih banyak orang dapat diundang ke dalam dan berpartisipasi dalam memimpin dan membentuk masa depan Anabaptisme.

Meghan Good membawakan sesi mengenai Membaca Alkitab secara Anabaptis

Minggu lalu sekitar 40 orang dari berbagai macam latar belakang Anabaptis diundang untuk menghadiri rapat kerja dan sekaligus menjadi duta untuk mempersiapkan pembentukan Alkitab Anabaptist. Konferensi kerja diadakan di Casa Iskali, Des Plaines, IL yang berlokasi di suburb kota Chicago.

Meghan Larissa Good diundang untuk berbicara untuk menawarkan sudut pandang dan bingkai kerja dimana Alkitab Anabaptis ini akan dibuat, berpusat pada pengajaran Yesus yang akan menjiwai seluruh alkitab dari kitab Kejadian sampai dengan Wahyu.

dari kiri ke kanan, Wendy Mcfadden, Hyejung Yum, Mollee Moua, Sue Park-Hur, Jonny Rashid dan Hendy Matahelemual

Proyek ini dipimpin oleh John D Roth dan Mollee Moua, berserta dengan 8 orang dari tim penasihat yang terdiri dari Sarah Augustine (Yakima Valley, WA), Sandra Baez (Kitchener, ON), Korey Dyck (Winnipeg, MB), Pdt. Dr. Dennis R. Edwards (Chicago, IL), Gerald J. Mast (Bluffton, OH), Jonny Rashid (Philadelphia, PA), Sara Wenger Shenk (Waynesboro, VA), dan Lisa Weaver (Madison, WI).

Para peserta konferensi kerja mendoakan John D Roth sebagai pemimpin proyek Alkitab Anabaptis.

Untuk proyek Alkitab Anabaptis ini bisa berjalan dibutuhkan 500 kelompok belajar Alkitab, dimana setiap kelompok akan diberikan ayat-ayat Firman Tuhan untuk direnungkan, dihidupi dan hasil renungan itu akan ditulis sebagai komentar di dalam Alkitab Anabaptis. Komentari ini ditulis bukan untuk penjelasan akademik tetapi sebagai renungan cerita pengalaman yang menguatkan dan menginspirasi.

Mari daftarkan kelompok studi Alkitab masing masing dan mari kita saling bersaksi, mendukung dan menguatkan tubuh Kristus. Dan mari kita terus bersaksi sebagai saksi Anabaptis kepada kesatuan tubuh Kristus yang berada diluar payung Anabaptis dan biarlah kesaksian hidup kita bisa menjadi berkat.

Untuk pendaftaran kelompok belajar Alkitab dan informasi lebih lanjut mengenai Proyek Alkitab Anabaptis dan Proyek Anabaptis at 500 bisa klik link berikut ini – Menno Media

Filed Under: Articles, Blog Tagged With: Hendy Matahelemual

Budaya Indonesia: Sebuah Renungan

August 18, 2022 by Cindy Angela

Oleh Hendy Matahelemual

Sebagai generasi pertama orang Indonesia-Amerika di Amerika Serikat perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 77 kemarin memberi arti yang unik. Identitas bangsa serasa masih tetap melekat meski kita sudah bertahun tahun tinggal di Amerika Serikat. Mulai dari tema merah putih, budaya berpakaian, musik, makanan dan bahasa yang serasa tidak bisa ditinggalkan begitu saja dari masyarakat Indonesia di Amerika Serikat.

Lomba makan kerupuk, di Indonesia Festival dalam rangka merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia. Photo courtesy of Gapura Philly.

Namun berbeda cerita dengan generasi kedua atau bisa dibilang generasa satu setengah, dimana generasi ini terdiri dari anak anak Indonesia yang dibawa ke Amerika Serikat ketika mereka masih kecil. Banyak dari mereka masih fasih berbahasa Indonesia, namun tidak sedikit yang sudah tidak bisa berbahasa Indonesia lagi, karena bahasa pertama mereka bukan lagi bahasa Indonesia melainkan Bahasa Inggris.

Bahkan unik anak immigrant dari Indonesia yang kebetulan orang tua mereka tidak bisa atau sedikit bisa berbahasa Inggris, anak anak mereka malah bisa lebih fasih berbahasa Indonesia. Karena mau tidak mau bahasa yang dipakai dirumah adalah bahasa Indonesia, sehingga anak anak ini menjadi lebih terbiasa.

Generasi satu setengah ini hidup di dua budaya yang berbeda. Budaya Indonesia dan budaya Amerika. Budaya Indonesia kental dalam hubungan mereka di dalam keluarga dan komunitas gereja. Peran komunitas gereja sangat penting disini karena mereka memiliki fungsi kalau saya boleh menggunakan istilah tempat “pengungsian” atau tempat yang aman dimana budaya budaya Indonesia masih ada, bahkan dipelihara.

Jemaat Indonesian Light Church mengenakan baju merah putih dalam rangka hari raya kemerdekaan Indonesia. Photo oleh ILC.

Sedangkan ketika anak anak ini berinteraksi dengan lingkungan di sekolah maka mereka akan berada di budaya Amerika. Dimana mereka belajar berkomunikasi dengan budaya Amerika. Tidak jarang konflik budaya terjadi antara kedua budaya ini. Dalam artikel saya minggu lalu saya membahas mengenai budaya iklim panas dan dingin,yang sangat penting untuk disadari.

Konflik antara kedua budaya ini jika bisa disikapi dengan baik justru akan menambah perbendaharaan cara berkomunikasi dan memperkaya budaya masing masing. Mengubah cara berpikir bahwa budaya yang berbeda bukanlah  ancaman tetapi menjadi sebuah tantangan dan kesempatan untuk bertransformasi adalah sebuah langkah awal yang baik.

Namun perlu juga dicatat dan digaris bawahi bahwa budaya Amerika, memiliki pengaruh yang juga kuat untuk mengasimilasi budaya asing tanpa harus mengubah budaya aslinya sendiri. Hal inilah yang perlu diwaspadai dari budaya dominan. Oleh sebab itu hubungan perlu secara sengaja dibangun dan kesadaraan akan adanya budaya dominan perlu disikapi dengan baik.

Tanpa kesadaran akan budaya dominan, maka budaya Indonesia akan dianggap sebagai budaya inferior, lebih rendah, dan minoritas, dan budaya dominan akan dianggap sebagai budaya yang lebih superior, relevan, dan baik. Tentunya perlu juga dicatat bahwa budaya Indonesia sendiri terdiri dari berbagai macam budaya budaya dan tradisi, bukan hanya satu budaya saja dan bermacam macam.

Artikel ke 10 dari Pengakuan Iman dalam perspektif Mennonite menyatakan:

“Orang Kristen adalah orang asing dan asing dalam semua budaya. Namun gereja itu sendiri adalah bangsa Tuhan, yang mencakup orang-orang yang berasal dari setiap suku dan bangsa. Sesungguhnya, misinya adalah untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang berbeda, menciptakan satu umat manusia baru dan memberikan pratinjau tentang hari itu ketika semua bangsa akan mengalir ke gunung Tuhan dan berada dalam damai.”

Dominasi tentunya bukan kehendak dari Tuhan melainkan kehendak manusia yang ingin berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai macam cara.

Bersyukur bahwa Konferensi Mosaic memiliki visi untuk menjadi jemaat yang berkomitmen dalam keadilan rasial dan transformasi interkultural. Dan saya percaya bersama sama kita bisa menjaga harmoni dalam komunitas Mosaic yang “hancur” namun tetap Indah bersama dengan Tuhan, dipersatukan oleh darahnya sebagai saudara saudari, dari berbagai bangsa bahasa dan budaya.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual, ILC

Musim Panas atau Dingin?

August 11, 2022 by Cindy Angela

Oleh Hendy Matahelemual

Jika Anda harus memilih antara musim panas atau musim dingin selama setahun, mana yang akan Anda pilih? Jawaban saya adalah musim dingin. Saya suka cuaca dingin, dan hari ini 104 derajat di Philadelphia.

Saya menghabiskan sebagian besar masa dewasa saya di Indonesia, di mana hangat sepanjang tahun. Jadi musim dingin adalah pengalaman baru yang menarik bagi saya.

Perbedaan iklim tidak hanya mempengaruhi cuaca. Mereka mempengaruhi tingkah laku.

Dalam bukunya Foreign and Familiar: A Guide to Understanding Hot- and Cold-Climate Cultures, Sarah Lanier membagi dunia dalam dua bagian: budaya iklim panas dan budaya iklim dingin.

Dalam budaya iklim panas, di mana Anda berada lebih penting daripada apa yang Anda pikirkan. Suku Maori dari Selandia Baru punya sebuah ungkapan yang berkata, “Saya diterima, oleh karena itu saya ada.” Filsuf Prancis Rene Descartes mengungkapkan pandangan iklim dingin ketika dia berkata, “Saya berpikir karena itu saya ada.”

Kehidupan bermasyarakat penting dalam budaya iklim panas. Dalam budaya iklim dingin, orang menegaskan individualitas dan kemandirian.

Budaya-budaya ini umumnya mengikuti geografi, tetapi tidak selalu. Budaya iklim dingin berlaku di beberapa daerah hangat.

Seperti yang dibayangkan, budaya iklim dingin berlaku di Kanada, Amerika Serikat bagian utara, dan Eropa Utara. Tetapi juga mendominasi di Israel (di antara populasi Yahudi yang terutama berasal dari Eropa), populasi kulit putih di Selandia Baru, Australia, Brasil selatan, populasi kulit putih Afrika Selatan dan negara atau wilayah lain yang sebagian besar dihuni oleh orang Eropa, seperti Argentina.

Di antara budaya iklim panas, Lanier termasuk Amerika Serikat bagian selatan, Asia, Kepulauan Pasifik, Amerika Selatan (pengecualian adalah Argentina perkotaan, yang 80% Eropa), Afrika, negara-negara Mediterania (kecuali populasi Yahudi Israel), Timur Tengah dan sebagian besar seluruh dunia.

Budaya apa yang Anda identifikasi sebagai bagian dari diri anda?

Yesus berkata kita harus memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan. Untuk melakukan ini, kita perlu menyadari budaya asal orang. Niat baik kita dapat menyebabkan kerugian jika kita tidak memahami budaya lain. Jika satu-satunya alat yang kita miliki adalah palu, semuanya akan diperlakukan seperti paku.

Sebagai generasi pertama Indonesia-Amerika yang tinggal di timur laut Amerika Serikat, saya sangat senang ketika saya pindah ke sini. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya mulai merasa seperti orang buangan. Saya tidak menyadari betapa intensnya hubungan saya dengan komunitas asal saya — dan betapa tidak pada tempatnya saya akan merasa ketika terpisah darinya.

Namun konflik ini menciptakan peluang. Saya memperoleh lebih banyak kesadaran tentang bagaimana berpikir sebagai individu. Pada awalnya, itu adalah tantangan. Saya tidak terbiasa sendirian. Saya merasa cemas dan lemah, tetapi ketika saya mulai berlatih kemandirian dan menyesuaikan diri dengan harapan baru, saya mengembangkan alat untuk menavigasi budaya iklim dingin.

Misalnya, saya memiliki lebih banyak kedamaian, ketika saya menerima dorongan balik dalam kotbah atau tulisan saya, atau ketika orang-orang mengungkapkan ketidaksetujuan atau kekecewaan mereka secara langsung kepada saya, saya belajar untuk tidak mengambilnya secara pribadi dan belajar untuk melihatnya dari perspektif lain. Saya juga menemukan keberanian untuk mengungkapkan pikiran saya dan mengungkapkan perasaan saya secara langsung, saya menemukannya sebagai alat yang berguna untuk digunakan.

Ertell Whigham, mantan pelayan eksekutif Franconia Mennonite Conference, mengatakan peregangan bukanlah tujuan, tetapi transformasi. Peregangan/Toleransi kita terhadap perubahan ada batasnya. Tetapi, saat kita berubah, kita mengembangkan cara hidup baru yang membuat kita lebih lengkap. Saya dapat berhubungan dengan lebih banyak orang karena saya telah mempelajari cara-cara budaya iklim panas dan dingin.

Paulus berkata kepada jemaat di Roma: “Janganlah kamu serupa dengan dunia ini, tetapi diubahkanlah oleh pembaharuan pikiranmu” (Roma 12:2). Dunia memiliki pola dan harapan — seperti perbedaan budaya iklim panas dan dingin — yang membuat kita menyesuaikan diri dengan orang lain di sekitar kita sambil juga memisahkan kita dari mereka yang berbeda. Pola-pola ini menjebak kita dalam gelembung budaya.

Jika kita menerima pola dunia tanpa perlawanan, bom waktu ditetapkan. Akhirnya meledak, mengubah perbedaan kecil menjadi konflik besar.

Saran saya: Benamkan diri Anda dalam budaya yang berbeda. Kembangkan cara berpikir dan hidup baru. Jika Anda orang beriklim dingin, kunjungi budaya iklim panas, atau sebaliknya. Harapkan resistensi, secara internal dan eksternal. Memperluas pengalaman budaya Anda tidak akan mudah, tetapi itu akan sepadan. Tetaplah terlibat, belajar, dan berdoa sewaktu Roh memimpin.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Kunjungan Gereja Zion ke Philadelphia Selatan

July 28, 2022 by Cindy Angela

oleh Hendy Matahelemual

Disiplin utama kita sebagai murid Yesus adalah mengasihi Tuhan, sesama dan bersekutu melayani saudara saudari seiman di dalam Kristus. Perbedaan budaya, bahasa,warna kulit, pandangan kita sebagai murid murid Yesus menjadi sebuah kekayaan yang dipersatukan oleh darah Yesus.

Minggu kemarin 17 July 2022, Gereja gereja Mosaic Indonesia di Philadelphia Selatan mendapat kunjungan dari saudara saudari dari Gereja Zion di Sauderton. Rombongan Zion dibagi menjadi tiga kelompok di pimpin oleh ketiga pastor mereka, Sonya Kurtz, Beth Rauschenberger dan Jordan Luther.

Pastor Beth dan rombongan mengunjungi Indonesian Light Church Philadelphia, Pastor Sonya mengunjungi Nations Worship Center, dan Pastor Jordan dan rombongan mengunjungi Philadelphia Praise Center. Suasana begitu hangat disetiap gereja karena sekali lagi kita dipersatukan dalam ibadah bersama sama. Ibadah diakhir dengan makan bersama.

Mari kita sama sama melawan arus budaya dominan yang mensegregasi umat Kristus dengan melakukan tindakan nyata dan sengaja menjalin dan memupuk hubungan persaudaraan antara saudara saudari seiman khususnya yang berbeda budaya, bahasa, warna kulit dan pandangan. Tuhan Yesus mempersatukan kita semua.

Lihat foto-fotonya dibawah:

  • ILC
  • ILC
  • ILC
  • ILC
  • PPC
  • NWC
  • NWC

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual, ILC, Zion

  • « Go to Previous Page
  • Go to page 1
  • Interim pages omitted …
  • Go to page 7
  • Go to page 8
  • Go to page 9
  • Go to page 10
  • Go to page 11
  • Interim pages omitted …
  • Go to page 17
  • Go to Next Page »

Primary Sidebar

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami

Footer

  • Home
  • Hubungi Kami
  • Pertemuan Konferensi
  • Visi & Misi
  • Sejarah
  • Formasional
  • Antar Budaya
  • Tim Misi
  • Institut Mosaic
  • Memberi
  • Penatalayanan
  • Keamanan Gereja
  • Artikel

Copyright © 2025 Mosaic Mennonite Conference | Privacy Policy | Terms of Use