• Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Skip to footer

Mosaic MennonitesMosaic Mennonites

Missional - Intercultural - Formational

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami
  • 繁體中文 (Cina)
  • English (Inggris)
  • Việt Nam (Vietnam)
  • Español (Spanyol)
  • Indonesia
  • Kreol ayisyen (Creole)

Articles

Lintas Batas dan Budaya

May 7, 2020 by Conference Office

oleh Jennifer Svetlik, Jemaat Salford

“Saya adalah seorang anak laki-laki berkulit putih dari Oklahoma” ucap Jeff Wright, pemimpin pelayanan, bertempat di Riverside, California. Sekalipun demikian Jeff telah menemukan cara untuk terhubung dan mendapat dukungan dari jemaat dimana secara budaya berbeda dari dimana Jeff dibesarkan.

“Saya selalu dapat merasakan adanya panggilan untuk pelayanan misi international,” demikian Jeff menjelaskan.  “Ada beberapa alasan berbeda yang menyebabkan pelayanan tersebut belum dapat dilakukan, akan tetapi saya selalu berusaha untuk menjalankan arti pelayanan misi yang di tugaskan oleh David Bosch: untuk melintasi batas dari aturan seorang pelayan.”  Hal melintasi batas yang dilakukan Jeff adalah menterjemahkan pada mereka yang hadir di konferens di Pennsylvania akan apa arti gereja di California.  Dia juga melakukan pekerjaan pelayanan yang menjembatani lintas benua, menghubungkan saudara-saudari di konferens yang sama, akan tetapi hidup dalam pantai yang berbeda.

Jeff bekerja dengan tiga gereja Indonesia di Californa Selatan: Indonesian Community Christian Fellowship (Colton, CA), International Worship Church (San Gabriel, CA), dan Jemaat Kristen Indonesia Anugerah (JKIA; Sierra Madre, CA). Jeff juga mendampingi San Francisco (CA) Chinese Mennonite Church, sebuah gereja berbahasa Canton, dalam posisi dia sebagai pemimpin konferens.

“Gereja – gereja tersebut adalah gereja generasi pertama dan kedua para imigran America”  dan menawarkan pandangan yang unik, Jeff merefleksikan.  “Mereka mempunyai pandangan yang luas mengenai kehidupan mereka, dan banyak dari mereka yang kerap kali pulang ke tempat asal mereka.  Perspektive yang luas ini adalah menjadi bagian dari DNA para jemaat.”

Sebagai pemimpin pelayanan, Jeff membantu para gembala dengan memberikan kepercayaan, melatih dan memecahkan tantangan atau masalah yang mereka bawa kepada Jeff.  Dia juga secara teratur berdoa bagi para pastor atau gembala dan jemaat-jemaatnya dan menghubungkan mereka satu sama lain dengan staff konferens dan sumber daya lainnya.

“Secara sadar bekerja di kompetensi antar budaya adalah sebuah tantangan bagi saya, dalam arti yang baik,” Jeff merefleksikan.  Jeff sudah mulai belajar bahasa Indonesia, dan dia menyadari bahwa berbicara dengan Chantelle Todman Moore, Pelatih Kepemimpinan Antarbudaya di konferens adalah sangat membantu.

“Untuk bisa memiliki sebuah konferens yang secara intens mendedikasikan para sumber dayanya untuk dan mengikuti pelatihan kompetensi antarbudaya, adalah suatu karunia yang luar biasa – sehubungan dengan keterbatasan bagi para konferens lainnya  disebabkan oleh kapasitas, ukuran dan visi” demikian refleksi Jeff.  “Ini adalah hal-hal yang membutuhkan perhatian dalam hal untuk dapat menjadi gereja di Amerika Utara.

Jeff pertama kali terhubung dengan Konferens Franconia pada 20 tahun yang lalu pada saat dia sedang menjadi pemimpin konsultan pada konferensi visi dan rencana keuangan.  Saat ini, jabatan selain pemimpin pelayanan, dia juga melayani sebagai Gembala di Gereja Madison Street, sebuah jemaat Brethren in Christ (BIC) di Riverside, CA dan juga sebagai presiden di viaShallom, perantara dari  sebuah agensi kecil yang bergerak di dalam pelayanan nonprofit.

“Jeff menganggap dirinya sebuah “Anabaptist tak terbatas”.  Dengan iman dia datang ke gereja Mennonite Brethren (MB), dimana sebelumnya dia menjabat sebagai Gembala pada gereja General Conference (GC) Mennonite. pernah menjadi seorang pelayan konferen pada MCUSA dan saat ini menjadi seorang Gembala di gereja BIC.

“Tanpa bermaksud menjadi seorang “dalam buaian” – Mennonite telah banyak menolong saya untuk belajar dari tradisi yang berbeda-beda,” Jeff merefleksikan.  “Saya menghargai ke takwa an dari MB, dan komitmen untuk selalu bersatu pada GC, suatu perspectif kekudusan dari BIC dan komitment terhadap  firman Tuhan yang di lakukan oleh MC USA.”

Di waktu luang, Jeff kadang membaca buku, atau menonton LA Dodgers, dimana juga menghadiri pertandingan liga baseball, atau bersepeda.

Filed Under: Articles Tagged With: Jeff Wright

Menunggu Greencard Kerajaan Surga

April 16, 2020 by Conference Office

oleh Hendy Matahelemual

Judah, anak laki-laki dari Hendy, di Wall Street,NYC, foto oleh Hendy Matahelemual

Suatu hari saya bertanya kepada anak saya “Kamu itu orang Indonesia atau orang Amerika sih?” dan ia menjawab, “Both, Daddy, I’m American and also Indonesian”. Ini adalah jawaban yang wajar didengar dari anak berusia 6 tahun, meski sebenarnya saya tahu bahwa secara status kewarganegaraan dia bukanlah warga negara Amerika tetapi Indonesia. Karena Indonesia tidak menganut dwi kewarganegaraan.

Identitas Nasional dan Politik merupakan identitas yang tidak bisa terlepas dalam kehidupan manusia. Bahkan ketika seseorang sudah meninggalkan tanah kelahiran atau bahkan berpindah kewarganegaraan, identitas tersebut masih melekat. Sebagai pendatang di Amerika Serikat dan sebagai mahasiswa seminari saya tertarik untuk belajar, khususnya bagaimana kita menempatkan identitas nasional dan politik sesuai dan sejalan dengan Firman Tuhan.

Hendy dan istrinya Marina pada acara acara Indonesian Fair, di Little Indonesia, Somerswoth, NH / foto oleh icc.inc

Saya tidak ada masalah dengan identitas nasional tetapi kita harus hati hati dengan ultranasionalisme, atau dimana seseorang lebih mengedepankan kepentingan suatu negara dan masyarakatnya di atas segala hal. Dan hal ini tentunya menjadikan negara sama atau lebih tinggi daripada Tuhan itu sendiri. Oleh sebab itu sebagai pengikut Tuhan Yesus kita percaya bahwa kewarganegaraan kita adalah kewarganegaraan surga. (Filipi 3:20) dan kita mengandalkan Tuhan dan tidak men-Tuhankan negara, status kewarganegaraan, atau bahkan men-Tuhankan partai politik ataupun tokoh politik tertentu.

Pengakuan Iman Mennonite, pada artikel ke-23 berkata demikian:

“Kami percaya bahwa gereja adalah “bangsa yang kudus,” milik Allah yang dipanggil untuk memberikan kesetiaan penuh kepada Kristus, yang menjadi kepalaNya dan unuk bersaksi kepada semua bangsa tentang kasih Allah yang menyelamatkan… Gereja tidak mengenal batas-batas geografis dan tidak perlu kekerasan untuk perlindungan. Satu-satunya bangsa Kristen adalah gereja Yesus Kristus, yang terdiri dari orang-orang dari berbagai-bagai suku dan bangsa, dipanggil untuk menjadi saksi kemuliaan Allah.”

Sudah menjadi hal yang umum jika seseorang mengandalkan negara untuk memberi kita kesejahteraan, rasa aman dan nyaman. Di banyak negara, sejak kecil kita diajar untuk menyanyikan lagu kebangsaan, dan mengikuti berbagai macam aktivitas patriotism lainya. Oleh sebab itu sangat penting kita kembali kepada perkataan Rasul Paulus di Roma 12, “Janganlah menjadi serupa dengan dunia ini tetapi berubahlah dengan pembaharuan budimu, sehingga engkau mengerti kehendak-Ku, mana yang baik, berkenan dan sempurna.”

Bendera bendera negara-negara di Gereja St.John Baptist Philadelphia dimana ILC beribadah setiap minggunya, foto oleh Hendy Matahelemual

Sebagai seseorang yang lahir dan besar bukan dari tradisi Anabaptis-Mennonite, saya merasa mengalami lahir baru kembali di dalam Yesus karena selama ini saya menempatkan Institusi negara dan identitas nasional tidak pada tempatnya. Tetapi sekarang dengan kasih karunia Tuhan saya yakin bahwa apapun kewarganegarannya, identitas saya adalah warga negara surga, dan setiap orang percaya di semua bangsa adalah rekan sekerja tanpa dibatasi oleh identitas nasional dan politik. Sehingga seharusnya tidak menjadi masalah yang dibesar besarkan jika seseorang berlutut ketika lagu nasional dinyanyikan, dan disatu sisi lain seharusnya menjadi masalah besar bagi kita jika ada permasalahan terjadi di negara lain. Karena kita sebagai orang Kristen, kita adalah satu bangsa yang kudus milik Allah.

Prancis Bruno Catalano, di Marseilles, Prancis, adalah patung yang penuh teka teki untuk membangkitkan kenangan dan bagian dari diri mereka yang tertinggal ketika mereka pergi meninggalkan kampung halaman untuk tempat yang baru.

Mari terus bertahan dalam iman kita, khusunya di masa-masa yang sulit ini, saya percaya kasih karunia Tuhan tak berkesudahan, kasih, sukacita, damai sejahtera dari Tuhan lah yang akan mengobati rasa rindu kita akan kampung halaman kita, yang juga akan memenuhi kekosongan hati kita, dan yang akan meyakinkan kita akan identitas kita yang sejati, identitas kita sebagai anak-anak Allah, ahli waris Kerajaan Surga.

Saya juga berharap topik mengenai identitas nasional dan politik tidak lagi menjadi tabu untuk dibahas di gereja gereja., Saya percaya setiap suara kita berarti untuk bisa saling membangun, dan menguatkan gereja Tuhan, bangsa yang kudus yang tersebar diseluruh penjuru dunia ini.

Filed Under: Articles, Blog Tagged With: Hendy Matahelemual, immigration, intercultural

Mengapa Kami Mungkin Menunda, Membatalkan, atau Bertemu Secara virtual

March 12, 2020 by Conference Office

oleh Steve Kriss, Pemimpin Pelayan Eksekutif

Konferensi kami memiliki komunitas yang berjumlah mendekati 10.000 orang yang membentang dari sepanjang Sungai Ottauquechee di Vermont, ke lingkungan paling beragam di Kota New York, ke beberapa daerah terkaya di Pennsylvania, ke kota-kota terbesar di California, dan kehangatan kedua pantai di  Florida. Banyak dari lokasi-lokasi kami termasuk yang pertama melaporkan insiden virus COVID-19.

Saya telah mengamati dengan seksama untuk menentukan apakah kita harus melakukan sesuatu yang berbeda dan berusaha memperhatikan apa yang mungkin merupakan praktik terbaik bagi kita. Saya mengakui bahwa komunitas keagamaan dapat menjadi tempat dimana penyebaran infeksi terbesar bisa terjadi, seperti yang terjadi di Korea Selatan dan New Rochelle, NY, serta mungkin di Washington, DC. Kita harus sadar dan bijaksana.

Saya ingin mengundang kita, di hadirat Yesus, untuk “berjaga-jaga dan berdoa” sebagai pemimpin di masa ini. Dan untuk tidak tertidur.

Penelitian terbaik yang saya lihat menunjukkan bahwa membatalkan acara dan bekerja dari rumah membantu mengurangi penyebaran virus (www.flattenthecurve.com). Ini masuk akal bagi saya. Meskipun, pada titik ini, kami tidak akan merekomendasikan pembatalan pertemuan ibadat kongregasional, kami akan membatalkan atau menunda beberapa pertemuan Konferensi, khususnya yang berukuran lebih besar.

Yang paling rentan terhadap virus COVID tampaknya adalah mereka yang berusia di atas 70 tahun. Kita sebaiknya  mempertimbangkan mengenai ibadah bersama-sama dengan mereka yang mungkin merasa lebih rentan, bahkan memberi mereka “izin” untuk tidak mengikuti kebaktian gereja dan mengikuti secara online. Jika kami belum menemukan cara untuk melakukannya, saat yang tepat untuk mempelajari cara streaming langsung melalui Facebook atau platform lain untuk memastikan bahwa mereka yang di rumah masih merasa terhubung dengan komunitas.

Saya sering berpikir pembatalan acara sebagai kekurangan daya tahan untuk terus bergerak tanpa rasa takut. Tetapi virus ini berbeda dari peristiwa lain. Beberapa dari kita tidak memiliki hak istimewa atas perlindungan kesehatan atau pekerjaan yang dapat dilakukan dari rumah, dan tanpa waktu sakit, setiap jam kerja yang terlewat akan membuat hidup menjadi lebih sulit.

Kami mungkin membatalkan acara dengan pertimbangan orang-orang di komunitas kami yang mungkin lebih rentan, mengakui, seperti yang dikatakan Paul, bahwa “mereka yang mungkin lebih rentan membutuhkan lebih banyak perhatian dan perhatian khusus.” Sebuah “ijin tidak ke gereja” mungkin adalah apa yang dibutuhkan oleh para anggota senior yang setia untuk tetap tinggal di rumah dengan nyaman. Sebuah perhatian  khusus melalui telepon dari pendeta atau pemimpin jemaat lainnya dapat menjadi tindakan lanjut yang bermanfaat.

Saya memilih untuk tidak berjabat tangan kecuali anda mengulurkan tangan kepada saya. Saya mungkin mencoba kepalan tangan lebih sering daripada tos atau pelukan. Saya akan menyambut anda dengan nama dan menatap mata Anda saat kami bertemu. Saya bahkan mungkin meletakkan tangan saya di dada saya.

Sementara itu, saya masih pergi ke gym. Saya pergi berbelanja dan makan taco dan pho. Saya berencana untuk tetap mengadakan pertemuan satu-satu dan kelompok kecil. Saya berharap untuk terus mengadakan pertemuan dan pertemuan pengabaran di seluruh Konferensi kami, di mana pun saat itu. Sementara sebagian besar staf Konferensi kami dapat dengan mudah menyelesaikan pekerjaan, kami telah mulai melakukan pembicaraan tentang apa yang mungkin terjadi jika kantor perlu ditutup. Kami akan dapat diakses sebagai staf seperti biasanya, meskipun beberapa staf dapat memilih lebih dari jarak sosial yang normal.

Kami dapat membatalkan. Dan kita mungkin tidak. Kasih yang sempurna menghilangkan semua ketakutan, tetapi cinta untuk tetangga kita mungkin mengharuskan kita untuk mempertimbangkan kembali jadwal dan latihan kita untuk sementara waktu. Dan untuk mempercayai Tuhan, bahkan jika rencana kita berubah, untuk terus bekerja di dalam kita dan di sekitar kita di saat-saat kecemasan ini. Kami adalah orang-orang beriman. Kami menganggap tindakan kasih kami di musim ini sebagai kontribusi terhadap kebaikan bersama. Sementara itu, kami terus melakukan pemantauan, berdoa, dan tetap waspada tanpa merasa takut.

Untuk mendukung komunitas kami, Everence telah mengembangkan lembar informasi (dalam bahasa Inggris dan Spanyol) untuk membantu gereja-gereja dan kelompok-kelompok lain menanggapi dan mengelola isu-isu yang terkait dengan epidemi coronavirus di komunitas mereka. Jangan ragu untuk membagikan sumber ini dengan tim kepemimpinan, pemimpin konferensi, dll.

Catatan: Everence menunda Perayaan Kepemimpinan Stewardhip yang akan datang di tengah-tengah penyebaran global COVID-19 (coronavirus). Mereka meminta maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan, tetapi kesehatan dan kesejahteraan anggota, jemaat, dan komunitas kami adalah perhatian utama kami.

Filed Under: Articles, Blog

Membuka diri untuk Hadiah dari Tuhan

February 3, 2020 by Conference Office

Oleh Jennifer Syetlik, Gereja Salford

“Hal yang paling membuat saya senang dari pekerjaan saya,” ucap Pemimpin Kepelayanan Aldo Siahaan, “adalah berbagi sukacita, tantangan dan sekaligus belajar dari cerita perjalanan gereja-gereja. Saya merasa sangat bersemangat bisa mendukung mereka menghadapi berbagai macam tantangan yang ada”

Aldo telah bekerja sebagai Pemimpin Kepelayanan selama lima tahun dan saat ini ia mendampingi Vietnam Gospel (Allentown), Bethany Elevation (Queens,NY), dan Indonesian Light (Philadelphia). “Masing-masing dari ketiga gereja ini meskipun secara jumlah jemaat kecil, tetapi mereka memiliki keunikan masing masing, mereka sangat terbuka, ramah, dan juga memiliki hasrat untuk membawa lebih banyak jiwa kepada Kristus,”ucap Aldo. Ia juga terhubung secara rutin dengan para pendeta mereka dan membantu juga memecahkan masalah masalah yang ada.

Beberapa waktu ini, salah satu konggregasi ingin mengadakan acara penting tetapi mereka tidak menemukan tempat yang cocok. Aldo menghubungkan mereka dengan kamp Mennonite di daerah mereka untuk menjadi tuan rumah acara dengan biaya rendah dan dia juga membantu mereka mencari dana untuk menutupi biaya acara. “Saya bersyukur bisa menjadi jembatan  penghubung antara gereja-gereja dan Konferensi dalam hal ide dan sumber daya”

Selama 15 tahun, Aldo melayani sebagai pendeta di Philadelphia Praise Center (PPC), sebuah jemaat multi-etnis di Selatan Philadelphia yang bergabung dengan konferensi pada tahun 2007. Anggota gereja kebanyakan terdiri dari para imigran baru, sehingga isu-isu seputar imigrasi merupakan hal yang sangat amat penting.

Aldo tahu benar bagaimana rasanya menjadi seorang imigran. Pada tahun 1998, Aldo dan saudara lelakinya berimigrasi dari rumah mereka di Jakarta, Indonesia ke AS. Setelah kerusuhan terhadap orang-orang Kristen di kota kelahirannya, membuatnya merasa tidak aman lagi untuk tinggal di sana. Tuhan membuka pintu bagi mereka untuk terhubung dengan komunitas Kristen Indonesia di New York, dan kemudian Aldo terlibat dalam upaya perintisan gereja di Philadelphia. Setelah enam tahun, ia dan beberapa teman merasa tergerak untuk menciptakan komunitas gereja baru, yang menjadi PPC.

Aldo with Viviani & Eden

Sangat dimengerti jika Aldo memiliki banyak empati terhadap para imigran lain yang ia layani “Sebagai seorang Kristen di Indonesia. Saya adalah minoritas. Sebagai imigran di sini, kami juga minoritas. Tuhan masih mengajari saya bahwa terlepas dari kondisi seseorang sebagai minoritas, kami dapat membantu orang lain dan membuat perbedaan,” ucap Aldo.

Sebagai pemimpin, Aldo dan PPC selalu memikirkan cara-cara baru untuk melayani masyarakat dan membagikan Kristus di kota Philadelphia. Pekerjaan ini termasuk menghubungkan dengan organisasi terkait imigrasi seperti “Ketahui Hak Anda” dan berbagi informasi tentang kemungkinan serangan ICE di masyarakat.

“Menjadi seorang pendeta bukanlah impian saya,” ucap Aldo. Sebelum datang ke Amerika Serikat, ia bekerja sebagai penyiar radio di Jakarta. Ketika tiba di Philadelphia, Ia bekerja untuk Pan Asian Radio dan sebagai paralegal untuk sebuah firma hukum imigrasi. Tetapi teman-temannya terus bersikeras bahwa ia adalah pemimpin gereja baru mereka. “Kami tahu bahwa kami perlu membentuk gereja ini,” kenang Aldo, “tetapi pertanyaannya tetap tentang siapa yang akan memimpinnya. Tuhan menggunakan orang-orang di sekitar saya untuk memanggil saya  menjadi seorang pendeta. Saya tidak tahu akan panggilan ini, tetapi Tuhan menggunakan orang lain untuk memberi tahu saya. Dan Tuhan perlahan membuka hadiah untuk saya sebagai seorang pendeta. ”

Di waktu luangnya, Aldo suka menonton komedian dan komentator politik Stephen Colbert dan Trevor Noah. “Ini menyegarkan saya untuk bisa tertawa dan mendengar komentar mereka tentang peristiwa terkini,” kata Aldo. Dia juga menikmati menghabiskan waktu bersama istrinya, Viviani, dan bermain dengan putra kecil mereka, Eden.

Filed Under: Articles, Blog Tagged With: Aldo Siahaan

  • « Go to Previous Page
  • Go to page 1
  • Interim pages omitted …
  • Go to page 15
  • Go to page 16
  • Go to page 17

Primary Sidebar

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami

Footer

  • Home
  • Hubungi Kami
  • Pertemuan Konferensi
  • Visi & Misi
  • Sejarah
  • Formasional
  • Antar Budaya
  • Tim Misi
  • Institut Mosaic
  • Memberi
  • Penatalayanan
  • Keamanan Gereja
  • Artikel

Copyright © 2025 Mosaic Mennonite Conference | Privacy Policy | Terms of Use