Pertemuan iman dan kebenaran (Faith and Life Gathering) yang diadakan minggu lalu yang dihadiri oleh para pemimpin kredensial berakhir dengan sebuah pengertian bersama bahwa kita semua perlu duduk bersama dan melakukan lebih banyak percakapan di dalam konferensi kami terlepas dari perbedaan pandangan yang kami miliki. Dan kami semua percaya bahwa adalah lebih baik menghadapi permasalahan daripada menghindarinya.
Namun tidak dipungkiri sebagai orang Timur, orang Asia Indonesia, isu seksualitas, gender, LGBTQ, bahkan isu rasisme bukan merupakan topik yang terbuka untuk dibahas. Kecenderungan untuk menutupi dan menghindari isu isu ini untuk dibicarakan sangat tinggi. Karena masih banyak yang beranggapan bahwa isu ini adalah tabu dan pembicaraan mengenai hal ini tidak begitu pantas.
Tetapi dengan semangat Intercultural, dimana setiap ekspresi budaya bukan hanya dihormati dan dimengerti tetapi juga hidup bersama dan saling mempengaruhi, tentunya ini bisa menjadi sebuah kesempatan bagi komunitas Mosaic untuk bertumbuh bersama sama, memperkuat karakter masing masing sehingga menyerupai karakter Kristus.
Sebagai orang Timur setiap konflik dihadapi dengan secara tidak langsung, lisan, bahkan seringkali melibatkan pihak ketiga, tetapi kesatuan komunitas tetap terjaga. Tetapi dalam budaya barat konflik dihadapi secara langsung, cenderung dalam bentuk tertulis, dan komunitas terbagi atas kelompok kelompok yang terpolarisasi dalam komunitas yang berbeda.
Menjadi tantangan bagi kita semua yang berada di dalam Mosaic, untuk bisa berkomunikasi dan hidup bersama sebagai satu kesatuan tubuh Kristus yang unik. Sebagai Mosaik, yang hancur retak tetapi indah jika dipersatukan, dan saya percaya bahwa hanya meneledani Yesus dan mengandalkan kuasa Roh Kuduslah, kesatuan yang indah ini bisa terwujud.
Menyikapi isu LGBTQ khususnya mengenai pengajuan resolusi Pertobatan dan Transformasi, Moderator Konferensi Mosaic, Rev Ken Burkholder dan Rev Stephen Kriss selaku Pemimpin Pelayan Eksekutif menyatakan bahwa Konferensi Mennonite Mosaic akan tetap berpegang pada Pernyataan Bersama Gereja gereja tentang Kasih Karunia dan Kebenaran dan tetap terbuka dalam mendengarkan pendapat dan masukkan yang ada.
Saya percaya kita pengikut Yesus harus berani bergerak keluar dari zona nyaman kita masing masing untuk berani berbicara mengenai pemahaman dan perjalanan kita masing masing dalam menyikapi hal ini (LGBTQ, Racial /Criminal Justice), jika komunikasi tidak terjalin kita akan tetap berada di kotak kita masing masing. Kotak yang menghambat komunikasi dan memperbesar asumsi, yang akan mengarah bukan pada persatuan tetapi penghakiman dan perpecahan.
Pastor Charlene Smalls (Ripple) dalam salah satu pertemuan Iman dan Kebenaran, mengutip satu ayat dari Kitab Yesaya 1:18 “Marilah, baiklah kita berperkara! –firman TUHAN–Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.”
Dalam bahasa Ibrani kata berperkara adalah yakach, yang artinya mari saling berdiskusi, bertukar pikiran, berargumentasi. Dalam terjemahan New King James Version kata berperkara diterjemahkan menjadi “reason together”. Dalam menyikapi perbedaan dalam mengartikan Firman Tuhan dan juga dalam praktik kehidupan sehari hari, saling berdiskusi dan bertukar pikiran adalah sesuatu yang baik dan praktis. Inilah yang perlu kita praktekkan dalam kehidupan kita bersama-sama.
“Kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan” – 1 Yohanes 4:18. Seringkali rasa takutlah yang menjadi alasan kita tidak mau “berperkara”, rasa takutlah yang menjadi alasan kita tidak mau duduk bersama, tetapi Firman Tuhan jelas mengatakan bahwa kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan. Mari kita sama sama berdoa agar Roh yang hidup itu memberikan kita penghiburan, pemulihan, keberanian dan kasih, sehingga kita bisa hidup bersama di dalam kasih persaudaraan yang nyata. Tuhan Yesus memberkati.