• Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Skip to footer

Mosaic MennonitesMosaic Mennonites

Missional - Intercultural - Formational

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami
  • 繁體中文 (Cina)
  • English (Inggris)
  • Việt Nam (Vietnam)
  • Español (Spanyol)
  • Indonesia
  • Kreol ayisyen (Creole)

Articles

Es Krim dan Pekerjaan Intercultural

September 9, 2021 by Cindy Angela

Tidak terasa musim panas sebentar lagi berlalu, musim gugur sudah menanti di akhir bulan ini, El tiempo vuela, time flies, sebuah istilah yang sering kita dengar jika waktu terasa berjalan begitu cepat. Sedikit highlight dari pekerjaan pelayanan kami dalam musim panas tahun ini adalah ketika kami mengadakan rapat staff outdoor kami di akhir bulan Agustus.

Ditengah panasnya cuaca, tidak berlebihan jika Es Krim merupakan hidangan pencuci mulut wajib bagi kita semua. Begitu juga dalam setiap rapat kerja staff Mosaic Conference, khususnya di setiap musim panas, es krim selalu mewarnai dan memberi rasa manis tersendiri. Dimanakah tempat es krim favorit anda? Rasa apa yang selalu anda pesan? Pastikan jangan melewatkannya sebelum musim panas ini berlalu.

Berkaitan dengan bahasa, menarik jika kita melihat kata Es Krim atau Ice cream dalam bahasa Inggris, memiliki sususan huruf dan kata yang hampir mirip bahkan memiliki bunyi yang hampir sama. Hal ini terjadi karena memang Es Krim berasal dari Amerika Serikat, dan ahli bahasa memutuskan mengadopsi kata ini dengan sedikit penyesuaian.

“Bahasa dan sudut pandang melihat dunia adalah bagian dari etnisitas di dalam sebuah budaya, dan pekerjaan Intercultural adalah bagaimana kita bisa merasa menjadi bagian dalam kebersamaan ditengah perbedaan tersebut, “ ujar Joe Manickam, Presiden dari Hesston College, Kansas. Dimana pada kesempatan ini beliau diundang untuk memberikan sharing dan pengajaran Intercultural kepada para staff Mosaic.

Dr Joseph Manickam atau lebih akrab dipanggil Joe akan menjadi pembicara utama pada Pertemuan Musim gugur tahunan Mosaic Mennonite Conference kita pada awal bulan November tahun ini.

Joe Manickam, President Hesston College, Kansas membagikan sharing dalam rapat kerja staff Mosaic, di Doylestown,PA (08/25/2021)

Beliau juga mengajak kita semua untuk mencari tahu atau memberi definisi baru, Siapakah yang disebut miskin? Siapakah orang miskin disekitar kita? Seperti apa orang miskin itu? karena ketika kita mendapatkan mereka, maka kita akan mendapatkan Yesus.

Sudah pasti diperlukan tindakan nyata untuk keluar dari zona nyaman kita untuk membantu orang miskin. Besar kemungkinan apa yang kita berikan dari kelebihan kita tidak dapat mereka kembalikan kepada kita. Tetapi inilah panggilan kita sebagai pengikut Yesus. (baca Matius 25:40)

Saya percaya bahwa banyak anak anak kecil di negara negara miskin belum pernah merasakan es krim seumur hidup mereka. Dan jika melihat statistik Amerika Serikat merupakan negara yang paling banyak mengkonsumsi Es Krim di dunia ini (rata-rata 26 liter, per orang, per tahun), sudah saatnya kita berbagi.

Apa langkah konkrit yang bisa dilakukan secara individu maupun kolektif untuk bisa mengembangkan kompetensi interkultural. “Salah satunya mari menghadiri Mennonite World Conference di Indonesia 2022, dan jadikan ini sebagai langkah awal dari keterlibatan global” jawab Joe. Tentunya usul ini disambut dengan baik.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Kanaan atau Mesir

September 2, 2021 by Cindy Angela

Artikel asli dalam bahasa Inggris, dimuat di Majalah Anabaptist World : A Canaan or an Egypt? | Anabaptist World 

Seseorang bertanya kepada saya: Bagaimana Anda menjelaskan pekerjaan interkultural kepada orang yang melihat imigran sebagai sebuah ancaman, dan yang takut jika pekerjaan dan sumber daya yang mereka miliki diambil dari mereka?

Saya menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan. Siapa yang memiliki sumber daya di tempat pertama? Bukankah imigran seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja dan mengolah tanah?

“Siapa yang memiliki sumber daya di tempat pertama? Bukankah imigran seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja dan mengolah tanah?”

Ketika dua anak laki-laki saya memperebutkan mainan, saya memberi tahu mereka bahwa berbagi adalah sebuah bentuk kepedulian. Mengapa kita harus bertengkar, ketika Tuhan sudah mencukupkan? Bukankah Tuhan adalah penyedia kita?

Amerika Serikat (AS) menarik begitu banyak imigran karena peluang untuk pekerjaan, kepemilikan tanah, kebebasan beragama, petualangan,dan awal yang baru dalam hidup. Tetapi ada alasan lain imigran ada di sini, adalah karena AS ada di sana – di negara asal mereka. Saya dapat menyebutkan beberapa kesempatan dalam sejarah negara saya, Indonesia, di mana kepentingan AS dan Barat hadir. Dari perubahan rezim hingga dampak ekonomi, hasilnya belum seindah yang dipikirkan orang Amerika.

Saya percaya pada transformasi timbal balik dan pertukaran antar budaya, tetapi gagasan bahwa AS adalah polisi dunia, sementara menjual “American Dream” dapat dengan mudah mendominasi dan menjadi mimpi buruk khususnya bagi mereka yang terpinggirkan.

Ketika saya berencana untuk datang ke Amerika Serikat, butuh waktu bertahun-tahun untuk mewujudkannya. Saya perlu membangun kekayaan, properti, dan ikatan bisnis yang cukup di negara saya agar pemerintah AS dapat menyetujui visa saya. Tanpa aset-aset ini, tidak mungkin mendapatkan visa. Lebih sulit bagi orang asing untuk datang ke AS daripada bagi warga AS untuk pergi ke negara lain.

Sebagai orang Indonesia, saya melihat AS sebagai kekuatan ekonomi dan militer dunia, tanah kebebasan dan rumah para pemberani. Pada awalnya saya tidak mengerti bahwa kekuatan ini bukanlah tanda kemurahan Tuhan tetapi alat dominasi, intimidasi dan manipulasi. Dengan kekuatan ini mendatangkan kutukan dan bukan berkat.

Saya ingat merasa terintimidasi dan rendah diri ketika saya mempersiapkan wawancara visa saya di Kedutaan Besar AS di Jakarta. Tapi perjuangan saya tidak seberapa dibandingkan dengan kesulitan yang dialami oleh keluarga yang terpisah di perbatasan AS-Meksiko. Itu tidak seberapa dibandingkan dengan risiko yang diambil oleh ribuan orang yang telah meninggal saat mencoba menyeberangi gurun ke Amerika Serikat. Mengapa negara paling kuat di dunia begitu takut pada orang luar dan orang asing? Saya tidak yakin, tapi mungkin dengan kekuatan muncul rasa takut kehilangan kekuatan tersebut.

Xenophobia — ketidaksukaan atau prasangka terhadap orang-orang dari negara lain — bukanlah hal baru. Sekitar 1400 SM, di Mesir, orang Israel menghadapi masalah yang sama. Lama setelah era Yusuf, jumlah orang Israel bertambah banyak, dan orang Mesir merasa terancam. Firaun memerintahkan agar semua anak laki-laki yang baru lahir dari orang Ibrani yang diperbudak harus dibunuh. Satu bayi laki-laki berhasil lolos dari kekejaman, dan sisanya adalah sejarah. Umat pilihan Tuhan memperoleh kebebasan mereka.

Ketika saya melihat kekuatan dan superioritas AS, saya melihat Amerika Serikat bukan sebagai Kanaan, tanah yang dijanjikan, dan lebih seperti Mesir. Saya pikir gagasan satu bangsa di bawah Tuhan perlu ditinjau kembali dan didefinisikan ulang. Tuhan yang berada di bawah AS ini — apakah itu Tuhan Kitab Suci? Atau yang lain? Yesus berkata, “Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan; karena [kamu] akan membenci yang satu dan mencintai yang lain, atau mengabdi pada yang satu dan membenci yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kekayaan” (Matius 6:24).

“…Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kekayaan” (Matius 6:24).

Sebagai seorang imigran, saya melihat harapan di gereja. Ketika saya datang ke A.S., Tuhan membawa saya ke komunitas orang percaya yang mempraktikkan cinta persaudaraan sejati. Cinta ini bukan hanya sentimentalitas tetapi tindakan — berbagi harta benda dan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan orang. Berbagi itu berkisar dari dukungan keuangan hingga memberi saya kunci rumah di mana saya dapat tinggal selama tahun-tahun seminari saya.

Saya bersyukur bahwa Tuhan yang saya kasihi dan layani tidak menutup gerbang Kerajaan-Nya tetapi mengundang kita semua untuk datang dan berbagi. Mari kita bantu semua yang tertindas dan terpinggirkan, agar kita bisa membawa berkah bagi negeri ini.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Kemerdekaan: Sebuah Renungan

August 18, 2021 by Cindy Angela

“Tujuh belas Agustus tahun empat lima itulah hari kemerdekaan kita, Hari Merdeka Nusa dan Bangsa hari lahirnya bangsa Indonesia, Mer-de-ka…”, kutipan lagu Tujuh belas Agustus karya H.Mutahar, yang kemudian dibawakan lagi dengan sentuhan rock oleh band asal kota Bandung, Cokelat. Ya, beberapa hari lalu bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke 76 tahun.

Sebagai seorang Anabaptis-Mennonite, yang percaya bahwa cinta akan Tuhan tidak akan pernah bisa disejajarkan dengan kecintaan terhadap negara, perayaan dan patriotisme yang berlebihan akan memiliki resiko menjadikan nasionalisme sebagai berhala tersendiri. Dan saya percaya kita sebagai anak-anak Allah tidak terbatas oleh batas geografis dan kewarganegaraan yang cenderung membatasi dan eksepsional (menganggap negaranya lebih baik dari negara lain).

Kasih persaudaraanlah yang harus menjadi perwujudan dari iman kita kepada Tuhan Yesus, bukan perlombaan pengaruh, ekonomi, dan persenjataan. Jembatan harus mulai dibangun dan pintu pintu tertutup harus mulai dibuka. Dan tentunya hal ini memerlukan pemulihan dari trauma-trauma yang terjadi di masa lalu. Tanpa pemulihan luka, perdamaian dunia tidak akan mungkin tercapai, dan jalan kekerasan selalu akan menimbulkan luka yang sulit pulih dalam satu generasi.

Dalam Pengakuan Iman Mennonite tahun 1995 pasal 10 disebutkan bahwa: “Misi gereja tidak memerlukan perlindungan dari suatu bangsa atau suatu pemerintahan. Orang-orang Kristen adalah orang-orang asing dan pendatang-pendatang dalam semua budaya. Namun gereja itu sendiri adalah bangsaNya Allah, meliputi orang-orang yang datang dari setiap suku dan bangsa. Memang, misinya adalah untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang berbeda, menciptakan manusia yang baru”

Gereja memiliki misi untuk menjadi pendamai ditengah tengah konflik, biarlah perlombaan yang ada adalah perlombaan untuk mencapai kesatuan dan persaudaraan, dan bukan perpecahan. Kesadaran mengenai gerakan perdamaian tanpa senjata dan tanpa kekerasan perlu menjadi sesuatu kesadaran baru.

Tidak semua yang dianggap asing adalah jelek, dan tidak semua yang berasal dari lokal itu tidak perlu mengalami perubahan. Kita menjadi baik bukan karena kita memperburuk keadaan orang lain, kita menjadi manusia yang baik dengan cara bekerja sama dan bukan menjatuhkan sesama kita. Terlebih di dalam Kristus kita semua bersaudara. Tidak ada dominasi, intimidasi dan manupulasi di dalam Kerajaan Tuhan.

Mari terus berdoa buat setiap bangsa dan negara di seluruh dunia, semoga Damai Tuhan boleh melingkupi seluruh dunia. Mari terus mengusahakan kesejahteraan kota dimana Tuhan tempatkan kita, dengan juga memperhatikan orang orang yang terpinggirkan, mari mencari Kerajaan Allah dan Kebenaran Tuhan disetiap kesempatan yang ada, mari bangun kesadaran akan anti kekerasan dan saya percaya Kemerdekaan yang sejati dari Tuhan akan kita miliki dimanapun Tuhan tempatkan kita.

Filed Under: Articles

Dapatkah anda merasakan kasih? Dan bertindak secara nyata?

July 29, 2021 by Cindy Angela

Artikel ini awalnya ditulis dalam Bahasa Inggris dan diterbitkan oleh majalah Anabaptist World. Anda bisa membaca versi aslinya disini.


How deep is your love? Lagu tahun 1977 karya Bee Gees muncul dalam pikiran ketika saya sedang mempersiapkan artikel ini. Saya memikirkan lagu ini bukan sebagai romansa antara kekasih tetapi sebagai cara untuk merefleksikan seberapa dalam kasih saya terhadap sesama dan saudara-saudara saya dalam Kristus.

Sebelum saya menjadi pendeta penuh waktu, saya adalah seorang musisi profesional. Menjadi musisi yang baik tidak hanya membutuhkan keterampilan teknis tetapi juga kemampuan untuk memproyeksikan emosi. Tugas saya sebagai musisi adalah menyerap energi emosional lagu dan membuatnya sendiri, sehingga penonton juga bisa merasakannya.

Saya sengaja membahas ini karena saya ingin membedakan antara cinta sejati dan sentimentalitas. Sebagai musisi, saya bisa menjadi sentimental. Saya dapat mentransfer sentimen atau emosi kepada penonton. Tapi itu tidak membuat saya otomatis menjadi orang yang penuh kasih. Cinta lebih dari sekedar perasaan atau sensasi. Cinta lebih dari sekedar mentransfer emosi.

Ketika kita bermimpi tentang masyarakat inklusif di mana semua budaya dihormati dan dirayakan, ini tampaknya terasa seperti sebuah ide yang baik, kan? Tetapi jika perasaan itu adalah tujuan akhir dan bukan transformasi yang sebenarnya, kita tidak akan ke mana-mana.

Di Amerika Serikat ada banyak perayaan keanekaragaman budaya. Tahun ini kami telah menambahkan Juneteenth (Hari emansipasi orang Afrika-America di AS). Perayaan itu luar biasa, tetapi tanpa aksi dan kesediaan untuk diubah bersama, ekspresi cinta kita hanyalah sentimentalitas.

Ketika saya menerima panggilan untuk melayani di Amerika Serikat, saya sangat senang dengan keragaman yang akan saya alami di sini. Tetapi selama tahun pertama pelayanan saya, saya menemukan saya tinggal di gelembung budaya tanpa pengetahuan atau pengalaman nyata tentang budaya di sekitar saya. Saya adalah orang Indonesia naif yang tinggal di Queens, New York, mungkin lingkungan yang paling beragam di dunia. Tapi saya hampir tidak tahu bahkan sebuah kata dalam bahasa Spanyol. Saya tidak memiliki hubungan yang mendalam dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Saya hidup dengan gagasan sentimental tentang keragaman tetapi tanpa transformasi yang sebenarnya.

Bagi saya, cinta sejati adalah tentang melangkah keluar dari zona nyaman saya dan bersedia melakukan pekerjaan untuk mengenal orang. Itulah sebabnya, ketika saya mendapat kesempatan untuk melakukan pekerjaan antar budayal di lingkungan yang beragam, saya mengambilnya. Saya bersyukur bahwa saya meninggalkan sentimentalitas saya di belakang dan mulai melakukan pekerjaan cinta yang sebenarnya.

Drew Hart, dalam bukunya baru-baru ini, Who Will Be a Witness?, mengatakan bahwa agape – bentuk kasih tertinggi, yang berasal dari Allah – bukan tentang sentimentalitas. Dia mengatakan, “Arti cinta telah dijinalisasi dan dimanipulasi dan sering dipersenjatai.” Saya setuju: Kita perlu mendefinisikan kembali cinta sekali lagi. Kasih Tuhan itu konstruktif, bukan mengutuk dan melecehkan. Kasih Tuhan adalah restoratif, bukan hukuman.

Yesus berkata, “Tidak ada yang memiliki kasih yang lebih besar dari ini, untuk meletakkan kehidupan seseorang untuk teman-teman seseorang” (Yohanes 15:13). Yesus bukanlah bintang rock yang membawakan lagu-lagu cinta sentimental. Dia turun dari surga dan menjadi manusia – pasti langkah paling tidak nyaman yang pernah diambil. Dia ditolak, disalahpahami, dikhianati, dipermalukan, disiksa dan dibunuh. Hanya cinta sejati yang bisa menyebabkan dia menanggung semua itu.

Yesus bergabung dengan kita dalam penderitaan kita. Dia bersedia mengambil langkah terbesar yang bisa dibayangkan untuk menunjukkan kepada kita bagaimana hidup bersama sebagai komunitas tercinta.

Seberapa dalam kasih Yesus? Sangat dalam.

Seberapa dalam cinta kita? Saya pikir kita perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini:

Seperti apa cinta bagi kita, di momen budaya kita hari ini, di saat perpecahan, kecurigaan dan ketegangan?

Apakah kita mencintai orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda?

Tindakan apa yang akan menunjukkan cinta sejati kepada tetangga kita?

Apakah kita berhenti mencintai ketika akan menjadi sulit?

Saya ingat betapa tidak nyamannya saya pertama kali seseorang kedalam apartemen saya dengan masih mengenakan sepatunya. (Di Indonesia kami meninggalkan sepatu kami di pintu.) Tapi itu tidak menggangguku saya sekarang. Ini mungkin tampak seperti hal kecil.

Tapi cinta dalam aksi dimulai dengan hal-hal kecil. Mungkin, pada awalnya, tindakan kecil cinta kita akan membuat kita tidak nyaman. Tetapi jika kita terus melakukannya, saya percaya kita dapat tumbuh lebih dalam dalam kasih kita kepada Allah dan orang lain.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Berdoa untuk Indonesia

July 22, 2021 by Cindy Angela

Pandemi mempunyai episentrum baru yaitu Indonesia, itulah headline harian New York Times beberapa hari lalu. Angka kematian melonjak, rumah sakit tidak bisa menampung pasien dan oksigen yang habis adalah hal yang harus dihadapi.

“Indonesia telah menjadi episentrum baru pandemi, melampaui India dan Brasil untuk menjadi negara dengan jumlah infeksi baru tertinggi di dunia. Lonjakan ini merupakan bagian dari gelombang di seluruh Asia Tenggara, di mana tingkat vaksinasi rendah. Vietnam, Malaysia, Myanmar, dan Thailand juga sedang menghadapi wabah terbesar mereka dan telah memberlakukan pembatasan baru, termasuk penguncian dan perintah tinggal di rumah, ” dikutip harian New York Times.

Gereja Jemaat Kristen Indonesia Injil Kerajaan Allah (Holy Stadium) dikota Semarang Indonesia, bekerja sama dengan pemerintah kota Semarang, membuka pintunya untuk menjadi pusat vaksinasi covid19 di kota Semarang. Dengan target memvaksinasi 6000-7000 orang perharinya. Meski pemerintah menjamin ketersediaan vaksin, namun ternyata masih terbatas stoknya hanya untuk 2 minggu kedepan.

Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi saat meninjau persiapan vaksinasi di Holy Stadium, Marina, Rabu 30 Juni 2021. (Photo credit: Suara Merdeka)

Oleh sebab itu inisiatif datang dari pihak Gereja JKI, dan juga gereja-gereja Indonesia di Mosaic Conference untuk menyumbang vaksin untuk dibagikan secara cuma-cuma. “Dengan hanya 99 cent, bisa untuk satu kali suntikan,” ujar Ps Aldo Siahaan dalam mengencourage jemaatnya Philadelphia Praise Center untuk mengambil bagian dalam program bantuan ini. Pastor Virgo Handojo (JKIA Anugerah) pun memonitor perkembangan jumlah orang yang divaksin di JKI Semarang melalui whatsapp group.

Photo credit: Harian Tribun Jateng

Gereja Jemaat Kristen Indonesia Injil Kerajaan Allah di kota Semarang inilah yang juga akan menjadi tuan rumah Mennonite World Conference tahun 2022 yang bertema “Bersama Mengikut Yesus Melintas Batas”.

Mari terus berdoa buat bangsa Indonesia dan juga negara negara lainnya agar cepat mengalami pemulihan. Dan juga mari juga mendukung program vaksinasi yang ada. Semoga Tuhan memberikan shalom bagi bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain ditengah tengah pandemi COVID-19 ini.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual, JKIA, Philadelphia Praise Center, Vaksinasi

Seputar #Mennocon21

July 8, 2021 by Cindy Angela

Minggu ini, 6-10 July 2021, Mennocon21 berlangsung di Duke Energy Convention Center di kota Cincinnati, Ohio. Konvensi Mennonite Church USA atau lebih dikenal dengan Mennocon adalah pertemuan dua tahunan dari Gereja Mennonite Amerika Serikat (MC USA). Tujuan konvensi ini adalah untuk mengumpulkan Gereja gereja yang tergabung dalam Gereja Mennonite AS (MC USA) untuk berkumpul dalam komunitas, beribadah dan pembentukan iman bersama sama.

Mennocon21 kali ini dilakukan secara hybrid dengan 590 orang datang secara langsung dan 454 lainnya terdaftar secara online, Sebagai perbandingan jumlah kehadiran sebelum per dua tahunan berkisar dari 2800 pada tahun 2019 hingga 8600 pada tahun 2005. “Ini adalah konvensi paling kecil dalam sejarah, oleh sebab itu marilah bersorak sorai dan menikmati konvensi ini” ujar Glen Guyton, Executive Minister, MC USA memberi semangat para peserta Mennocon.

Membawa Perdamaian menjadi tema dalam konfensi kali ini. Ibadah akan fokus pada banyak aspek perdamaian termasuk Merasakan Perdamaian, Yesus adalah Damai dan Menghidupi Perdamaian itu sendiri. Seminar akan mengeksplorasi topik seputar perdamaian dan keadilan, membongkar rasisme sistemik, dan kemiskinan. Pameran-pameran interaktif juga diadakan untuk menantang peserta untuk terlibat dalam perdamaian dengan cara yang unik.

Worship Leaders Mennocon21 sebelum acara berlangsung, foto diambil oleh Glen Guyton.

Malam pertama ibadah, dibuka dengan pujian penyembahan dan pengakuan tanah dimana konvensi ini berlangsung, mengingat bahwa tanah ini diambil secara paksa oleh pemukim kulit putih pertama kali dari tangan suku asli Amerika yaitu suku Shawnee jauh sebelum kota Cincinnati berdiri.

Pastor Lesley McClendon dan Pastor Caleb McClendon, dari C3 Church, Hampton, VA mengingatkan kita semua, untuk jangan lupa melakukan R.E.P dalam pekerjaan kita membawa damai. R.E.P adalah, Receive Peace (Menerima Damai dari Tuhan Yesus sendiri), Extend Peace (Memperluas damai kepada sesama) dan Protect Peace (Menjaga damai dalam hati kita).

Pembelajaran Alkitab pada pagi hari, dipimpin oleh Safwat Marzouk, wakil professor Perjanjian Lama/Alkitab Ibrani di Anabaptist Mennonite Biblical Seminary, Elkhart, Indiana, dengan topik, “Keadilan Shalom di Tengah Pandemi dan Rasisme.” Menekankan pentingnya pertobatan bagi pihak yang menyalahgunakan kekuasaan dan ratapan bagi pihak yang mengalami penindasan.

Pada ibadah malam kedua, Pastor Meghan Good membagikan pesan bahwa Yesus adalah magnet yang akan membawa setiap orang yang pada dasarnya adalah berbeda atau bahkan tidak saling menyukai satu sama lain bisa bersatu di dalam sebuah kesatuan, Yesus adalah damai itu sendiri.  

Konvensi masih akan berlanjut hingga hari Sabtu. Sesi bisnis delegasi, yang biasanya akan terjadi sepanjang minggu, akan diringkas menjadi pertemuan online dua setengah jam pada Sabtu sore, setelah kebaktian terakhir.  

Filed Under: Articles

Kasih, Ibadah dan Kebahagiaan

June 17, 2021 by Cindy Angela

Image by Sajjad Saju from Pixabay

Kasih adalah inti dari ajaran Tuhan Yesus, Kekristenan adalah bagaimana kita mengasihi sesama kita dan juga mengasihi Tuhan. Dan tentunya ini semua bisa terjadi jika kita menyadari betapa besar kasih Tuhan terhadap kehidupan kita pribadi lepas pribadi. Kesadaran akan kasih Tuhan merupakan sebuah pemulihan tersendiri.

Rasul Paulus dalam kitab Efesus berdoa, “…supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah. “ (Efesus 3:19-20) Kita mengasihi bukan karena keharusan, tetapi kita mengasihi karena kita menyadari bahwa sebagai pengikut Yesus, kita terlebih dahulu telah dikasihi-Nya.

Kasih adalah sebuah gaya hidup kerajaan Allah. Dalam bahasa Indonesia, kata kasih itu sendiri identik dengan kata memberi. Seperti sebuah kutipan yang berkata, “Kamu bisa memberi tanpa mengasihi, tetapi kamu tidak bisa mengasihi tanpa memberi”, Kita bisa memberi banyak hal, perhatian, waktu, barang, uang, atau bahkan kepercayaan. Kasih adalah sebuah kata kerja dimana ada sebuah aktifitas memberi yang terjadi.

Tetapi perlu diingat pula bahwa menerima juga adalah bagian daripada kasih, karena menerima adalah bagian dari iman dan kepercayaan kita. Dalam bahasa jawa, kita mengenal kata “nrimo”, yang jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, adalah menerima apa adanya, tanpa protes, tanpa mengeluh ataupun menuntut.

Kekristenan kita, ibadah kita kepada Tuhan haruslah seimbang antara memberi dan menerima. Jika kita hanya datang ke gereja saja untuk menerima tanpa memberi apapun, maka pertumbuhan iman kita tidak akan sempurna, sama sebaliknya jika kita begitu sibuk dalam kegiatan gereja tanpa melihat bahwa sebenarnya hati kita begitu kosong akan kasih Tuhan. Dan dalam tingkatan komunitas, dalam hal ini Gereja, kita harus terus menerus belajar mengenai arti kasih yang sebenarnya sesuai dengan konteks kehidupan kita hari-hari ini.

Sebuah penelitian yang diadakan oleh Prof. Virgo Handojo, Phd, Guru besar Fakultas Psikologi California Baptist University, menemukan bahwa sebagian besar kegiatan gereja ternyata tidak ada korelasinya dengan kebahagiaan atau kesehatan mental individu. Penelitian ini juga membuktikan cinta terhadap diri sendiri (self-love) sangat membantu kebahagiaan dalam bekerja dan keluarga.

Mengutip dari penelitian beliau, “Model diri aman yang positif seperti yang dijelaskan dalam model “Kasihilah … tetanggamu sebagai dirimu sendiri” (King James Bible, 2017, Lukas 10:27), memiliki kekuatan prediksi yang kuat pada setidaknya dua jenis kesejahteraan, emosional dan eudaimonic. Temuan ini menyiratkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, komunitas Kristen di Indonesia harus mempertimbangkan untuk menambahkan komponen pendidikan sosial dan psikologis sebagai bagian dari pelayanan mereka di samping kegiatan rutin gereja mereka.”

Saya rasa baik sebagai individu maupun komunitas gereja kita perlu untuk terus menerus belajar mengenai kasih, karena kasih lebih dalam dan kompleks daripada sekedar sentimentalitas. Rasul Paulus berkata, Tanpa kasih, ibadah kita menjadi sia sia , tetapi dengan kasih kita bisa menanggung segala sesuatu.

Oleh sebab itu pada kesempatan ini saya mau menginformasikan sebuah webinar berjudul “LOVE, RELIGIOSITY & HAPPINESS, dimana Prof. Virgo Handojo, Phd, yang juga merupakan gembala dari gereja JKI Anugerah, di Sierra Madre, California akan berbagi. Acara ini diselenggarakan pada hari Jumat, 09 Juli pkl. 19.00-21.30 Waktu Indonesia bagian Barat. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Filed Under: Articles

Pemuda-Pemudi adalah Harapan Gereja

June 10, 2021 by Cindy Angela

Pada hari Sabtu kemarin tanggal 5 Juni 2021, untuk pertama kali sejak pandemi acara youth gabungan diadakan di South Philadelphia, dimana Philadelphia Praise Center (PPC) menjadi tuan rumah. Acara youth gabungan kali ini diikuti oleh youth dari Ripple dan Whitehall dari Allentown, Centro de Alabanza dan PPC. Dimana kali ini acara youth gabungan dikemas dalam bentuk “Art and Service Project”, dimana mereka akan berkarya menghias tatakan yang akan di gunakan di kantor Mosaic Conference.

Foto oleh Cindy Angela.

Acara ini dimulai dengan games yang dipimpin oleh Ps Jenna dan Ps Chemma Villantoro dari PPC, diikuti oleh renungan dan sharing oleh Ps Hendy Matahelemual, dengan topik menjadi garam dan terang. Setelah itu barulah mereka diberi pengenalan dan penjelasan bagaimana menghias dengan baik oleh Ibu Donna Backues bagaimana memilih warna dan menghias dengan baik.

Rasul Paulus berkata kepada Timotius,Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.

Foto oleh Cindy Angela.

Generasi muda terkadang dianggap sebelah mata oleh generasi yang lebih tua. Tidak jarang kita mendengar generasi lebih tua menjelekkan generasi muda atau bahkan sebaliknya, hal ini memperlihatkan bahwa ada jurang pemisah yang cukup besar antar generasi ini.

Generasi muda adalah masa depan dari gereja kita. Tanpa generasi muda tidak akan ada regenerasi dan pergerakan akan berubah menjadi monumen semata mata. Banyak gereja diperkotaan berubah fungsi atau bahkan tutup dikarenakan tidak ada lagi penerusnya. Bersyukur untuk gereja gereja yang memiliki generasi muda, diperlukan tindakanya nyata bagi jajaran kepemimpinan di gereja untuk mempersiapkan generasi muda sebagai pemimpin sejak dini.

Foto oleh Cindy Angela.

Selain unsur regenerasi, ada unsur lain yang membuat mereka unik dibandingkan generasi sebelumnya, khususnya generasi muda yang berasal dari keluarga imigran di Amerika Serikat. Mereka terbiasa hidup dengan dua atau tiga budaya yang berbeda sekaligus. Dan ini adalah sebuah keunikan yang membuat mereka berbeda dengan yang lain. Dan inilah yang perlu generasi muda sadari dan generasi sebelumnya mengingatkan bahwa peran mereka penting di dalam gereja.

Bahasa Inggris, Indonesia, Spanyol dan Karen adalah bahasa yang dipakai oleh youth yang hadir pada acara gabungan ini. Ini menggambarkan uniknya budaya yang ada dan juga besarnya potensi yang bisa dihasilkan dari sinergi mereka dalam gereja. Hendaklah pemuda boleh menjadi teladan bagi yang lain khususnya teladan bagaimana hidup bersatu dalam perbedaan dan melayani Tuhan.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

  • « Go to Previous Page
  • Go to page 1
  • Interim pages omitted …
  • Go to page 11
  • Go to page 12
  • Go to page 13
  • Go to page 14
  • Go to page 15
  • Interim pages omitted …
  • Go to page 17
  • Go to Next Page »

Primary Sidebar

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami

Footer

  • Home
  • Hubungi Kami
  • Pertemuan Konferensi
  • Visi & Misi
  • Sejarah
  • Formasional
  • Antar Budaya
  • Tim Misi
  • Institut Mosaic
  • Memberi
  • Penatalayanan
  • Keamanan Gereja
  • Artikel

Copyright © 2025 Mosaic Mennonite Conference | Privacy Policy | Terms of Use