• Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Skip to footer

Mosaic MennonitesMosaic Mennonites

Missional - Intercultural - Formational

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami
  • English (Inggris)
  • Español (Spanyol)
  • Indonesia

Hendy Matahelemual

Mengikut Yesus di Tahun 2022

January 5, 2022 by Cindy Angela

Apa menjadi resolusi anda di tahun baru ini? Harapan harapan apa yang anda miliki? Ibrani 6:19 berkata Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir. Harapan adalah sesuatu yang membuat kita meninggalkan masa lalu dan hidup menyambut masa depan. Dan Tuhan Yesuslah pribadi dimana kita menaruh harapan hidup kita, baik sekarang maupun di masa depan.

Sebagai Anabaptis-Mennonite, Tuhan Yesus selalu menjadi pusat dalam kehidupan kerohaniaan kita. Baik dalam membaca Firman Tuhan, sampai dengan dalam hidup berjemaat, Tuhan Yesus adalah fokus utama dimulai dari menerima-Nya sebagai Tuhan dan juru selamat, sampai dengan meneladani pelayanan beliau, memikul salib dan menjadi agen rekonsiliasi dan pendamai di dunia ini.

Karena Tuhan Yesuslah yang pertama kali memperbaiki hubungan kita dengan Allah Bapa disurga, oleh sebab itu ia pun memanggil kita untuk menjadi pendamai di dunia yang hancur karena dosa ini. Ditengah tengah pergumulan hidup kita, pandemi, ketidakadilan rasial dan sosial, krisis kemanusiaan dan ekonomi, kekerasan bersenjata, bencana alam, Janji Tuhan memberikan harapan bahwa kelak Ia akan datang memulihkan secara sempurna dan menjadi Raja yang adil bagi dunia ini. Inilah yang kita nanti nantikan sebagai orang Kristen, saat dimana Anak Domba Allah dipermuliakan dan ditinggikan di seluruh bumi.

Menjadi Mennonite Anabaptis bukan berarti kita harus mengadopsi gaya hidup orang kulit putih keturunan Swiss-Jerman, tetapi hendaknya kita menjadi saksi Yesus dan agen rekonsiliasi dengan keunikan budaya masing masing dimana Tuhan membentuk kita sejak dari kecil sampai dengan hari ini. Sekali lagi kesatuan bukanlah keseragaman, kita adalah Mosaik indah ciptaan-Nya berbeda tetapi tetap satu.

Pastor Jaye dan Pastor Hendy menggunakan seragam tim footbal kota asal masing-masing.

Menjadi pengikut Yesus bukan berarti kita menjauhkan diri dari keramaian dan berusaha hidup sebagai pertapa, melainkan hendaknya kita menjawab kebutuhan orang orang yang memerlukan pertolongan di tempat dimana mereka berada. Orang orang terhilang, terbelakang dan terakhir yang memerlukan kasih Yesus melalui kasih dan keperdulian kita.

Pembagian bahan makanan di kota Makasar,Indonesia untuk keluarga yang terdampak Covid-19, menggunakan sebagian dana Shalom Fund Mosaic Conference.

Sebuah kesempatan baik di tahun 2022 untuk kembali memfokuskan hidup kita kepada Tuhan Yesus, baik kerohaniaan pribadi dan meneladani pelayanan beliau 2000 tahun yang lalu, Dia datang untuk melayani bukan dilayani, Dia datang untuk mengasihi bukan menguasai. Mari memasuki tahun 2022 dengan sauh yang kuat yang tidak akan pernah goyah. Amin.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Pertemuan Bangsa-Bangsa dan Generasi

December 2, 2021 by Cindy Angela

Pada tanggal 18 November 2021, delapan orang pelayan Indonesia dan satu hispanik bergabung dalam acara Pertemuan “bangsa-bangsa dan generasi” yang ketiga. Dari berbagai penjuru Amerika Serikat, baik dari Philadelphia, Allentown, California bahkan dari Dallas, TX kami bertemu melalui Zoom.

Acara ini merupakan acara tahunan yang diadakan oleh Mosaic Mennonite Conference untuk menjalin solidaritas dan membuat ruang yang aman bagi pemimpin kulit berwarna / mayoritas global / non kulit putih untuk dengan berani saling berbagi cerita dan saling menguatkan satu sama lain.

Pertemuan yang sama juga diadakan dalam grup dan bahasa yang berbeda, bahasa Inggris dan bahasa Spanyol yang diadakan di hari dan jam yang berbeda. Kami melakukan pertemuan ini via zoom dikarenakan alasan kesehatan. Kami sebenarnya rindu untuk bertemu langsung, semoga tahun depan kita bisa melakukannya.

Acara dibuka dengan sambutan dari Ps Aldo Siahaan, dan dilanjutkan oleh pujian penyembahan yang dipimpin oleh Ps Danilo Sanchez, yang membawakan lagu “Rohmu yang hidup”, Ya, Roh Tuhan hidup di dalam kita memberi kita kekuataan. Meskipun kami adalah imigrant dan pendatang yang berada di budaya yang asing, kami percaya Roh Tuhan akan membuat kita bertahan dan menjadi berkat bagi bangsa bangsa.

Ps Hendy, membuka sharing singkat dengan Mengutip dari Pengakuan Iman Mennonite artikel ke 10 : Orang Kristen adalah orang asing dan pendatang dalam semua budaya. Namun gereja sendiri adalah bangsa Tuhan,yang mencakup orang orang yang datang dari setiap suku dan bangsa. Misi gereja adalah untuk mendamaikan kelompokkelompok yang berbeda, menciptakan satu umat manusia baru dan memberikan visi di masa depan bahwa suatu hari semua bangsa akan datang ke gunung Tuhan dan berdamai.

Transformasi dan Rekonsiliasi antar budaya diperlukan karena mengutip kutipan dari Dr. Martin Luther King Jr yang berkata “Kita harus menghadapi kenyataan menyedihkan bahwa pada pukul sebelas pada hari Minggu pagi ketika kita berdiri untuk bernyanyi. Kita berdiri di jam dimana umat Kristen paling terpisah di Amerika.” Setelah sharing singkat, pertanyaan diskusi dibagikan, “Apa harapan kita untuk masa depan gereja dan generasi kita masing masing sebagai pendatang dan minoritas?

Ps Virgo Handojo membagikan hasil penelitiannya, mengenai gereja pendatang. Dalam penelitian beliau mengungkapkan bahwa ada 4 jenis model, yang pertama adalah Gereja Separasi, gereja yang misalnya sangat Indonesia sekali dan tidak mau ikut campur dengan budaya lokal di Amerika, model kedua, adalah model Marginal, dimana sama sekali tidak mau menghargai identitas asli dan juga tidak mau mengikuti budaya Amerika, model ketiga adalah Asimilasi, hanya mau mengikuti budaya Amerika saja, dan yang keempat yang ideal adalah Gereja Integrasi, multikulurtural, dimana tetap menghargai identitas Indonesia tetapi juga sangat involve dan terkait dengan budaya Amerika Serikat.

Menjawab pertanyaan diskusi Ps Budi Hananto berbagi cerita pengalamannya berhadapan dengan pemimpin gereja dan jemaat dari budaya yang berbeda, dan bagaimana beliau menjelaskan bahwa kita ini adalah bagian dari tubuh Kristus yang Tuhan ciptakan unik tetapi harus bersatu.

Tema budaya dan kewarganegaraan pun sempat dibahas, bagaimana seseorang bisa saja sudah menjadi warganegara asing tetapi tetap secara budaya masih sangat Indonesia. Banyak juga pembicaraan dan pertanyaan diajukan mengenai bagaimana menjangkau generasi generasi muda yang secara budaya berada diantara dua budaya yang berbeda.

Pak Hadi Sunarto sempat juga mengatakan bahwa kita sebagai pendatang sudah mengalami apa yang dinamakan mutasi, berubah dan tidak sama lagi dengan orang Indonesia yang masih ada di Indonesia, Ps Beny Krisbianto pun menambahkan dengan sebuah guyonan bahwa, “kita ini sebagai orang Indonesia, Indonesianya sudah lewat tetapi Amerikanya belum sampai,” menggambarkan transisi antara dua identitas budaya.

Pertemuan berlangsung sangat hidup, menarik dan saya percaya kami semua yang hadir merasa terbekali dan mendapatkan dukungan dan inspirasi dari cerita-cerita yang dibagikan, banyak bahasa baru dan juga sudut pandang yang segar dalam melihat generasi dan bangsa khususnya kami sebagai pendatang di Amerika ini. Pertemuan ditutup oleh doa dari Ps Budi Hananto, dan kami mengakhiri pertemuan ini dengan harapan akan masa depan yang lebih baik bagi generasi dan bangsa bangsa.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual, Nations and Generations, Pertemuan Bangsa-Bangsa dan Generasi

Perenungan di Perbatasan

November 23, 2021 by Cindy Angela

Beberapa waktu lalu ketika saya mendapat tugas untuk pergi ke California, saya mendapat ide untuk menyempatkan diri mengunjungi perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko. Jarak yang hanya kurang lebih dua jam dari tempat saya tinggal membuat lokasi ini begitu menarik hati saya lebih dari semua tempat wisata yang ada di negara bagian ini.

Bertempat disebelah selatan kota San Diego, adalah kota Tijuana, Meksiko, dimana uniknya perbatasan ini disebelah barat membelah satu pantai menjadi terletak di dua negara yang berbeda. Pemandangan yang menarik melihat sisi Meksiko yang begitu ramai wisatawan dan tampak lebih menarik dan hidup, sedangkan sisi Amerika begitu sepi, tidak terawat dan hanya ada penjaga perbatasan saja.

Sangat dimaklumi perbatasan bukanlah tempat menarik di negara bagian California, jauh jika dibandingkan dengan Disneyland dan Hollywood. Tetapi disinilah saya memutuskan untuk mengambil waktu untuk berdoa, mengambil saat teduh dan merenungkan firman Tuhan.

Bagian barat perbatasan As-Meksiko menghadap samudra pasifik. Foto diambil dari Taman Border Field diluar San Diego. Foto oleh Hendy Matahelemual.

Ayat yang menjadi perenungan saya diambil dari Imamat 19:33-34 “Apabila seorang asing tinggal padamu di negerimu, janganlah kamu menindas dia. Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir; Akulah TUHAN, Allahmu.”

Meski ayat ini diperuntukan untuk bangsa Israel kurang lebih 3000 tahun lalu, tetapi saya percaya ayat ini sangat relevan ditujukkan bagi kita semua pada hari ini. Terlebih lagi bagi kita yang percaya kesatuan dan otoritas tertinggi ada di dalam iman kita sebagai pengikut Yesus Kristus.

Tembok Perbatasan Amerika Serikat-Meksiko dari sisi Amerika Serikat. Foto oleh Hendy Matahelemual.

Menjadi orang asing dan minoritas dalam sebuah budaya dominan memiliki tantangan tersendiri yang tidak mudah. Dimulai dari bahasa sampai dengan peraturan yang tidak memanusiakan manusia demi memuaskan rasa aman mengatasnamakan kepentingan kolektif, supremasi hukum dan kedaulatan negara. Tentunya inilah sistem yang ada di dunia ini, sistem negara kesejahteraan, yang bertujuan mensejahterakan warga negaranya, dengan konsekuensi logis tentunya menomor duakan pendatang.

Tetapi tentunya kedaulatan setiap negara memiliki dinamika kekuatan yang berbeda. Sebagai contoh seseorang yang memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat akan sangat jauh lebih mudah masuk ke Indonesia, daripada warga negara Indonesia masuk ke Amerika Serikat.

Hal seperti inilah yang memicu banyak sekali orang melewati perbatasan khususnya menuju Amerika Serikat secara tidak resmi dan tidak melewati prosedur hukum yang ditentukan. Dikarenakan kecilnya kemungkinan mereka diperbolehkan untuk masuk jika mengikuti prosedur.

Data menunjukkan pada tahun 2021 sendiri ada sebanyak lebih dari 550 orang meninggal karena berupaya masuk ke Amerika Serikat melalui perbatasan AS-Meksiko. Dan dalam rentang tahun 1998 sampai dengan 2020 ada sebanyak 7000 kasus kematian, dan tentunya organisasi kemanusiaan memperkirakan bahwa angka ini jauh lebih tinggi dari yang tercatat.

Inilah yang ada dipikiran saya ketika saya berjalan menyusuri tembok pembatas yang ada, dengan hati yang sedih, saya juga terpikir betapa banyak anak dan orang tua yang terpisah di perbatasan. Presiden boleh berganti tetapi tetap sistem tidak terlalu banyak berubah.

Tembok Perbatasan Amerika Serikat-Meksiko dari sisi Amerika Serikat. Foto oleh Hendy Matahelemual.

Meninggalkan rumah menuju tanah asing merupakan keputusan yang sulit untuk diambil. Mencari rumah baru, melarikan diri dari bahaya, mencari keamanan dengan resiko yang besar guna mencari nafkan dan kehidupan yang lebih layak di tanah asing bukanlah pengalaman yang mudah.

Tuhan Yesus berkata,” Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40). Tuhan Yesus mati buat seluruh umat manusia, marilah meneledani hidup Yesus.

Apa yang bisa kita lakukan sekarang? Saya mau mengajak kita terus berdoa dan berpikir kritis tentang masalah kemanusiaan ini dan tentunya sedapat mungkin mari mengambil bagian menjadi tuan rumah yang baik di dalam konteks kehidupan kita masing masing. Siapakah orang asing pendatang yang ada disekitar kita? Siapakah orang yang terakhir, terkecil dan terhilang yang kita bisa lihat dan bantu? Tuhan Yesus memberkati mereka semua.

Filed Under: Articles, Blog Tagged With: Hendy Matahelemual

Jangan melupakan akarmu

September 16, 2021 by Cindy Angela

Kapan nenek moyangmu pertama kali mendarat di Amerika Serikat? Dan dari mana mereka? Adalah pertanyaan interkultural yang pernah ditanyakan di dalam sebuah pertemuan staff. Jawabannya bermacam macam, mulai dari generasi pertama dari Indonesia, sampai dengan generasi yang berasal dari kapal Mayflower ratusan tahun lalu. Intinya dari pertanyaan ini adalah mengingatkan semua pada kita semua ini adalah pendatang.

Mengapa ini penting? dalam bukunya Gereja Intercultural / Intercultural Church, Safwat Marzouk menulis bahwa kita perlu membaca alkitab dengan kacamata pendatang / orang yang hanya singgah (sojourner). Karena Alkitab sendiri ditulis oleh komunitas percaya dimana hidupnya terbiasa dengan perantauan, diaspora, pengasingan, dan pengucilan.

Karena banyak pembaca Alkitab yang nenek moyangnya perantau sudah menetap disatu negara / daerah puluhan tahun bahkan abad. Sebagai akibatnya mereka membaca Alkitab dari kacamata orang yang menetap (settlers), sehingga mereka kehilangan rasa sebagai orang asing / pendatang. Dan isu mereka mengani imigrasi dan integrasi diwarnai dengan paling sedikit rasa takut dan keraguan atau bahkan rasisme dan xenophobia.

Kita perlu membaca Alkitab sebagai orang asing, pendatang dan ini cukup mudah bagi orang yang baru saja bermigrasi, dan mungkin cukup sulit bagi orang yang sudah menetap cukup lama. Oleh sebab itu akar atau asal muasal tidak boleh kita lupakan.

Bagaimana caranya kita tetap mengingat asal kita tanpa kita mengalami kesulitan dalam berbaur dengan masyarakat baru? Mungkin salah satunya adalah dengan tetap mengingat budaya dari asal kita. Pada setiap acara vacation bible school pada waktu musim panas, Philadelphia Praise Center bekerja sama dengan Gamelan Gita Santi dari Philadelphia Folklore Project. Dimana para peserta bukan saja diajarkan bagaimana bermain gamelan, tetapi juga diajarkan filosofi dan juga bahasa.

Hal ini sangat menarik melihat bagaimana anak anak yang orang tuanya berasal dari Indonesia diajarkan tradisi Indonesia dimana sebenarnya hal ini cukup asing bagi mereka yang sudah terbiasa hidup dengan budaya Amerika diluar rumah.

Dimulai dengan membuka sepatu, memberi salam tata krama sederhana yang saya rasa tidak boleh hilang dari generasi diaspora Indonesia di Amerika Serikat. Tentunya tantangan generasi muda begitu kompleks dan rumit dimana mereka hidup di dua dunia, disatu sisi mereka dipaksa berasimilasi tetapi disatu sisi mereka tetap berbeda dan dipaksa juga mengikuti budaya orang tua mereka, ini tentunya perlu disikapi dengan bijaksana.

Seseorang tanpa pengetahuan akan sejarah masa lalu, asal dan budaya adalah seperti pohon tanpa akar

Marcus Garvey

Kita tidak boleh lupa akan akar kita tetapi kita tetap harus berbuah supaya bisa memberkati. Ibarat pohon, biji jika berakar dan tertanam di tanah yang baik dengan baik akan menghasilkan buah yang manis dan unik. Biji Jeruk tidak bisa menghasilkan buah Apel, tetapi buah Jeruk, seringkali tekanan pergaulan memaksa mereka Biji Jeruk menjadi buah Apel dan akhirnya pohon tersebut tidak berbuah baik. Kesatuan bukanlah keseragaman, tetapi keunikan, perbedaan bukanlah perpecahan tetapi kekayaan.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Es Krim dan Pekerjaan Intercultural

September 9, 2021 by Cindy Angela

Tidak terasa musim panas sebentar lagi berlalu, musim gugur sudah menanti di akhir bulan ini, El tiempo vuela, time flies, sebuah istilah yang sering kita dengar jika waktu terasa berjalan begitu cepat. Sedikit highlight dari pekerjaan pelayanan kami dalam musim panas tahun ini adalah ketika kami mengadakan rapat staff outdoor kami di akhir bulan Agustus.

Ditengah panasnya cuaca, tidak berlebihan jika Es Krim merupakan hidangan pencuci mulut wajib bagi kita semua. Begitu juga dalam setiap rapat kerja staff Mosaic Conference, khususnya di setiap musim panas, es krim selalu mewarnai dan memberi rasa manis tersendiri. Dimanakah tempat es krim favorit anda? Rasa apa yang selalu anda pesan? Pastikan jangan melewatkannya sebelum musim panas ini berlalu.

Berkaitan dengan bahasa, menarik jika kita melihat kata Es Krim atau Ice cream dalam bahasa Inggris, memiliki sususan huruf dan kata yang hampir mirip bahkan memiliki bunyi yang hampir sama. Hal ini terjadi karena memang Es Krim berasal dari Amerika Serikat, dan ahli bahasa memutuskan mengadopsi kata ini dengan sedikit penyesuaian.

“Bahasa dan sudut pandang melihat dunia adalah bagian dari etnisitas di dalam sebuah budaya, dan pekerjaan Intercultural adalah bagaimana kita bisa merasa menjadi bagian dalam kebersamaan ditengah perbedaan tersebut, “ ujar Joe Manickam, Presiden dari Hesston College, Kansas. Dimana pada kesempatan ini beliau diundang untuk memberikan sharing dan pengajaran Intercultural kepada para staff Mosaic.

Dr Joseph Manickam atau lebih akrab dipanggil Joe akan menjadi pembicara utama pada Pertemuan Musim gugur tahunan Mosaic Mennonite Conference kita pada awal bulan November tahun ini.

Joe Manickam, President Hesston College, Kansas membagikan sharing dalam rapat kerja staff Mosaic, di Doylestown,PA (08/25/2021)

Beliau juga mengajak kita semua untuk mencari tahu atau memberi definisi baru, Siapakah yang disebut miskin? Siapakah orang miskin disekitar kita? Seperti apa orang miskin itu? karena ketika kita mendapatkan mereka, maka kita akan mendapatkan Yesus.

Sudah pasti diperlukan tindakan nyata untuk keluar dari zona nyaman kita untuk membantu orang miskin. Besar kemungkinan apa yang kita berikan dari kelebihan kita tidak dapat mereka kembalikan kepada kita. Tetapi inilah panggilan kita sebagai pengikut Yesus. (baca Matius 25:40)

Saya percaya bahwa banyak anak anak kecil di negara negara miskin belum pernah merasakan es krim seumur hidup mereka. Dan jika melihat statistik Amerika Serikat merupakan negara yang paling banyak mengkonsumsi Es Krim di dunia ini (rata-rata 26 liter, per orang, per tahun), sudah saatnya kita berbagi.

Apa langkah konkrit yang bisa dilakukan secara individu maupun kolektif untuk bisa mengembangkan kompetensi interkultural. “Salah satunya mari menghadiri Mennonite World Conference di Indonesia 2022, dan jadikan ini sebagai langkah awal dari keterlibatan global” jawab Joe. Tentunya usul ini disambut dengan baik.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Kanaan atau Mesir

September 2, 2021 by Cindy Angela

Artikel asli dalam bahasa Inggris, dimuat di Majalah Anabaptist World : A Canaan or an Egypt? | Anabaptist World 

Seseorang bertanya kepada saya: Bagaimana Anda menjelaskan pekerjaan interkultural kepada orang yang melihat imigran sebagai sebuah ancaman, dan yang takut jika pekerjaan dan sumber daya yang mereka miliki diambil dari mereka?

Saya menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan. Siapa yang memiliki sumber daya di tempat pertama? Bukankah imigran seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja dan mengolah tanah?

“Siapa yang memiliki sumber daya di tempat pertama? Bukankah imigran seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja dan mengolah tanah?”

Ketika dua anak laki-laki saya memperebutkan mainan, saya memberi tahu mereka bahwa berbagi adalah sebuah bentuk kepedulian. Mengapa kita harus bertengkar, ketika Tuhan sudah mencukupkan? Bukankah Tuhan adalah penyedia kita?

Amerika Serikat (AS) menarik begitu banyak imigran karena peluang untuk pekerjaan, kepemilikan tanah, kebebasan beragama, petualangan,dan awal yang baru dalam hidup. Tetapi ada alasan lain imigran ada di sini, adalah karena AS ada di sana – di negara asal mereka. Saya dapat menyebutkan beberapa kesempatan dalam sejarah negara saya, Indonesia, di mana kepentingan AS dan Barat hadir. Dari perubahan rezim hingga dampak ekonomi, hasilnya belum seindah yang dipikirkan orang Amerika.

Saya percaya pada transformasi timbal balik dan pertukaran antar budaya, tetapi gagasan bahwa AS adalah polisi dunia, sementara menjual “American Dream” dapat dengan mudah mendominasi dan menjadi mimpi buruk khususnya bagi mereka yang terpinggirkan.

Ketika saya berencana untuk datang ke Amerika Serikat, butuh waktu bertahun-tahun untuk mewujudkannya. Saya perlu membangun kekayaan, properti, dan ikatan bisnis yang cukup di negara saya agar pemerintah AS dapat menyetujui visa saya. Tanpa aset-aset ini, tidak mungkin mendapatkan visa. Lebih sulit bagi orang asing untuk datang ke AS daripada bagi warga AS untuk pergi ke negara lain.

Sebagai orang Indonesia, saya melihat AS sebagai kekuatan ekonomi dan militer dunia, tanah kebebasan dan rumah para pemberani. Pada awalnya saya tidak mengerti bahwa kekuatan ini bukanlah tanda kemurahan Tuhan tetapi alat dominasi, intimidasi dan manipulasi. Dengan kekuatan ini mendatangkan kutukan dan bukan berkat.

Saya ingat merasa terintimidasi dan rendah diri ketika saya mempersiapkan wawancara visa saya di Kedutaan Besar AS di Jakarta. Tapi perjuangan saya tidak seberapa dibandingkan dengan kesulitan yang dialami oleh keluarga yang terpisah di perbatasan AS-Meksiko. Itu tidak seberapa dibandingkan dengan risiko yang diambil oleh ribuan orang yang telah meninggal saat mencoba menyeberangi gurun ke Amerika Serikat. Mengapa negara paling kuat di dunia begitu takut pada orang luar dan orang asing? Saya tidak yakin, tapi mungkin dengan kekuatan muncul rasa takut kehilangan kekuatan tersebut.

Xenophobia — ketidaksukaan atau prasangka terhadap orang-orang dari negara lain — bukanlah hal baru. Sekitar 1400 SM, di Mesir, orang Israel menghadapi masalah yang sama. Lama setelah era Yusuf, jumlah orang Israel bertambah banyak, dan orang Mesir merasa terancam. Firaun memerintahkan agar semua anak laki-laki yang baru lahir dari orang Ibrani yang diperbudak harus dibunuh. Satu bayi laki-laki berhasil lolos dari kekejaman, dan sisanya adalah sejarah. Umat pilihan Tuhan memperoleh kebebasan mereka.

Ketika saya melihat kekuatan dan superioritas AS, saya melihat Amerika Serikat bukan sebagai Kanaan, tanah yang dijanjikan, dan lebih seperti Mesir. Saya pikir gagasan satu bangsa di bawah Tuhan perlu ditinjau kembali dan didefinisikan ulang. Tuhan yang berada di bawah AS ini — apakah itu Tuhan Kitab Suci? Atau yang lain? Yesus berkata, “Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan; karena [kamu] akan membenci yang satu dan mencintai yang lain, atau mengabdi pada yang satu dan membenci yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kekayaan” (Matius 6:24).

“…Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kekayaan” (Matius 6:24).

Sebagai seorang imigran, saya melihat harapan di gereja. Ketika saya datang ke A.S., Tuhan membawa saya ke komunitas orang percaya yang mempraktikkan cinta persaudaraan sejati. Cinta ini bukan hanya sentimentalitas tetapi tindakan — berbagi harta benda dan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan orang. Berbagi itu berkisar dari dukungan keuangan hingga memberi saya kunci rumah di mana saya dapat tinggal selama tahun-tahun seminari saya.

Saya bersyukur bahwa Tuhan yang saya kasihi dan layani tidak menutup gerbang Kerajaan-Nya tetapi mengundang kita semua untuk datang dan berbagi. Mari kita bantu semua yang tertindas dan terpinggirkan, agar kita bisa membawa berkah bagi negeri ini.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Dapatkah anda merasakan kasih? Dan bertindak secara nyata?

July 29, 2021 by Cindy Angela

Artikel ini awalnya ditulis dalam Bahasa Inggris dan diterbitkan oleh majalah Anabaptist World. Anda bisa membaca versi aslinya disini.


How deep is your love? Lagu tahun 1977 karya Bee Gees muncul dalam pikiran ketika saya sedang mempersiapkan artikel ini. Saya memikirkan lagu ini bukan sebagai romansa antara kekasih tetapi sebagai cara untuk merefleksikan seberapa dalam kasih saya terhadap sesama dan saudara-saudara saya dalam Kristus.

Sebelum saya menjadi pendeta penuh waktu, saya adalah seorang musisi profesional. Menjadi musisi yang baik tidak hanya membutuhkan keterampilan teknis tetapi juga kemampuan untuk memproyeksikan emosi. Tugas saya sebagai musisi adalah menyerap energi emosional lagu dan membuatnya sendiri, sehingga penonton juga bisa merasakannya.

Saya sengaja membahas ini karena saya ingin membedakan antara cinta sejati dan sentimentalitas. Sebagai musisi, saya bisa menjadi sentimental. Saya dapat mentransfer sentimen atau emosi kepada penonton. Tapi itu tidak membuat saya otomatis menjadi orang yang penuh kasih. Cinta lebih dari sekedar perasaan atau sensasi. Cinta lebih dari sekedar mentransfer emosi.

Ketika kita bermimpi tentang masyarakat inklusif di mana semua budaya dihormati dan dirayakan, ini tampaknya terasa seperti sebuah ide yang baik, kan? Tetapi jika perasaan itu adalah tujuan akhir dan bukan transformasi yang sebenarnya, kita tidak akan ke mana-mana.

Di Amerika Serikat ada banyak perayaan keanekaragaman budaya. Tahun ini kami telah menambahkan Juneteenth (Hari emansipasi orang Afrika-America di AS). Perayaan itu luar biasa, tetapi tanpa aksi dan kesediaan untuk diubah bersama, ekspresi cinta kita hanyalah sentimentalitas.

Ketika saya menerima panggilan untuk melayani di Amerika Serikat, saya sangat senang dengan keragaman yang akan saya alami di sini. Tetapi selama tahun pertama pelayanan saya, saya menemukan saya tinggal di gelembung budaya tanpa pengetahuan atau pengalaman nyata tentang budaya di sekitar saya. Saya adalah orang Indonesia naif yang tinggal di Queens, New York, mungkin lingkungan yang paling beragam di dunia. Tapi saya hampir tidak tahu bahkan sebuah kata dalam bahasa Spanyol. Saya tidak memiliki hubungan yang mendalam dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Saya hidup dengan gagasan sentimental tentang keragaman tetapi tanpa transformasi yang sebenarnya.

Bagi saya, cinta sejati adalah tentang melangkah keluar dari zona nyaman saya dan bersedia melakukan pekerjaan untuk mengenal orang. Itulah sebabnya, ketika saya mendapat kesempatan untuk melakukan pekerjaan antar budayal di lingkungan yang beragam, saya mengambilnya. Saya bersyukur bahwa saya meninggalkan sentimentalitas saya di belakang dan mulai melakukan pekerjaan cinta yang sebenarnya.

Drew Hart, dalam bukunya baru-baru ini, Who Will Be a Witness?, mengatakan bahwa agape – bentuk kasih tertinggi, yang berasal dari Allah – bukan tentang sentimentalitas. Dia mengatakan, “Arti cinta telah dijinalisasi dan dimanipulasi dan sering dipersenjatai.” Saya setuju: Kita perlu mendefinisikan kembali cinta sekali lagi. Kasih Tuhan itu konstruktif, bukan mengutuk dan melecehkan. Kasih Tuhan adalah restoratif, bukan hukuman.

Yesus berkata, “Tidak ada yang memiliki kasih yang lebih besar dari ini, untuk meletakkan kehidupan seseorang untuk teman-teman seseorang” (Yohanes 15:13). Yesus bukanlah bintang rock yang membawakan lagu-lagu cinta sentimental. Dia turun dari surga dan menjadi manusia – pasti langkah paling tidak nyaman yang pernah diambil. Dia ditolak, disalahpahami, dikhianati, dipermalukan, disiksa dan dibunuh. Hanya cinta sejati yang bisa menyebabkan dia menanggung semua itu.

Yesus bergabung dengan kita dalam penderitaan kita. Dia bersedia mengambil langkah terbesar yang bisa dibayangkan untuk menunjukkan kepada kita bagaimana hidup bersama sebagai komunitas tercinta.

Seberapa dalam kasih Yesus? Sangat dalam.

Seberapa dalam cinta kita? Saya pikir kita perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini:

Seperti apa cinta bagi kita, di momen budaya kita hari ini, di saat perpecahan, kecurigaan dan ketegangan?

Apakah kita mencintai orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda?

Tindakan apa yang akan menunjukkan cinta sejati kepada tetangga kita?

Apakah kita berhenti mencintai ketika akan menjadi sulit?

Saya ingat betapa tidak nyamannya saya pertama kali seseorang kedalam apartemen saya dengan masih mengenakan sepatunya. (Di Indonesia kami meninggalkan sepatu kami di pintu.) Tapi itu tidak menggangguku saya sekarang. Ini mungkin tampak seperti hal kecil.

Tapi cinta dalam aksi dimulai dengan hal-hal kecil. Mungkin, pada awalnya, tindakan kecil cinta kita akan membuat kita tidak nyaman. Tetapi jika kita terus melakukannya, saya percaya kita dapat tumbuh lebih dalam dalam kasih kita kepada Allah dan orang lain.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual

Berdoa untuk Indonesia

July 22, 2021 by Cindy Angela

Pandemi mempunyai episentrum baru yaitu Indonesia, itulah headline harian New York Times beberapa hari lalu. Angka kematian melonjak, rumah sakit tidak bisa menampung pasien dan oksigen yang habis adalah hal yang harus dihadapi.

“Indonesia telah menjadi episentrum baru pandemi, melampaui India dan Brasil untuk menjadi negara dengan jumlah infeksi baru tertinggi di dunia. Lonjakan ini merupakan bagian dari gelombang di seluruh Asia Tenggara, di mana tingkat vaksinasi rendah. Vietnam, Malaysia, Myanmar, dan Thailand juga sedang menghadapi wabah terbesar mereka dan telah memberlakukan pembatasan baru, termasuk penguncian dan perintah tinggal di rumah, ” dikutip harian New York Times.

Gereja Jemaat Kristen Indonesia Injil Kerajaan Allah (Holy Stadium) dikota Semarang Indonesia, bekerja sama dengan pemerintah kota Semarang, membuka pintunya untuk menjadi pusat vaksinasi covid19 di kota Semarang. Dengan target memvaksinasi 6000-7000 orang perharinya. Meski pemerintah menjamin ketersediaan vaksin, namun ternyata masih terbatas stoknya hanya untuk 2 minggu kedepan.

Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi saat meninjau persiapan vaksinasi di Holy Stadium, Marina, Rabu 30 Juni 2021. (Photo credit: Suara Merdeka)

Oleh sebab itu inisiatif datang dari pihak Gereja JKI, dan juga gereja-gereja Indonesia di Mosaic Conference untuk menyumbang vaksin untuk dibagikan secara cuma-cuma. “Dengan hanya 99 cent, bisa untuk satu kali suntikan,” ujar Ps Aldo Siahaan dalam mengencourage jemaatnya Philadelphia Praise Center untuk mengambil bagian dalam program bantuan ini. Pastor Virgo Handojo (JKIA Anugerah) pun memonitor perkembangan jumlah orang yang divaksin di JKI Semarang melalui whatsapp group.

Photo credit: Harian Tribun Jateng

Gereja Jemaat Kristen Indonesia Injil Kerajaan Allah di kota Semarang inilah yang juga akan menjadi tuan rumah Mennonite World Conference tahun 2022 yang bertema “Bersama Mengikut Yesus Melintas Batas”.

Mari terus berdoa buat bangsa Indonesia dan juga negara negara lainnya agar cepat mengalami pemulihan. Dan juga mari juga mendukung program vaksinasi yang ada. Semoga Tuhan memberikan shalom bagi bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain ditengah tengah pandemi COVID-19 ini.

Filed Under: Articles Tagged With: Hendy Matahelemual, JKIA, Philadelphia Praise Center, Vaksinasi

  • « Go to Previous Page
  • Go to page 1
  • Interim pages omitted …
  • Go to page 5
  • Go to page 6
  • Go to page 7
  • Go to page 8
  • Go to page 9
  • Go to Next Page »

Primary Sidebar

  • Halaman Utama
  • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Staff
    • Dewan & Komite
    • Petunjuk Gereja & Pelayanan
    • Memberi
    • Tautan Mennonite
  • Media
    • Artikel
    • Informasi Berita
    • Rekaman
    • Audio
  • Sumber daya
    • Tim Misi
    • Antar Budaya
    • Formasional
    • Penatalayanan
    • Keamanan Gereja
  • Peristiwa
    • Pertemuan Konferensi
    • Kalender Konfrens
  • Institut Mosaic
  • Hubungi Kami

Footer

  • Home
  • Hubungi Kami
  • Pertemuan Konferensi
  • Visi & Misi
  • Sejarah
  • Formasional
  • Antar Budaya
  • Tim Misi
  • Institut Mosaic
  • Memberi
  • Penatalayanan
  • Keamanan Gereja
  • Artikel

Copyright © 2025 Mosaic Mennonite Conference | Privacy Policy | Terms of Use