oleh Hendy Matahelemual
Suatu hari saya bertanya kepada anak saya “Kamu itu orang Indonesia atau orang Amerika sih?” dan ia menjawab, “Both, Daddy, I’m American and also Indonesian”. Ini adalah jawaban yang wajar didengar dari anak berusia 6 tahun, meski sebenarnya saya tahu bahwa secara status kewarganegaraan dia bukanlah warga negara Amerika tetapi Indonesia. Karena Indonesia tidak menganut dwi kewarganegaraan.
Identitas Nasional dan Politik merupakan identitas yang tidak bisa terlepas dalam kehidupan manusia. Bahkan ketika seseorang sudah meninggalkan tanah kelahiran atau bahkan berpindah kewarganegaraan, identitas tersebut masih melekat. Sebagai pendatang di Amerika Serikat dan sebagai mahasiswa seminari saya tertarik untuk belajar, khususnya bagaimana kita menempatkan identitas nasional dan politik sesuai dan sejalan dengan Firman Tuhan.
Saya tidak ada masalah dengan identitas nasional tetapi kita harus hati hati dengan ultranasionalisme, atau dimana seseorang lebih mengedepankan kepentingan suatu negara dan masyarakatnya di atas segala hal. Dan hal ini tentunya menjadikan negara sama atau lebih tinggi daripada Tuhan itu sendiri. Oleh sebab itu sebagai pengikut Tuhan Yesus kita percaya bahwa kewarganegaraan kita adalah kewarganegaraan surga. (Filipi 3:20) dan kita mengandalkan Tuhan dan tidak men-Tuhankan negara, status kewarganegaraan, atau bahkan men-Tuhankan partai politik ataupun tokoh politik tertentu.
Pengakuan Iman Mennonite, pada artikel ke-23 berkata demikian:
“Kami percaya bahwa gereja adalah “bangsa yang kudus,” milik Allah yang dipanggil untuk memberikan kesetiaan penuh kepada Kristus, yang menjadi kepalaNya dan unuk bersaksi kepada semua bangsa tentang kasih Allah yang menyelamatkan… Gereja tidak mengenal batas-batas geografis dan tidak perlu kekerasan untuk perlindungan. Satu-satunya bangsa Kristen adalah gereja Yesus Kristus, yang terdiri dari orang-orang dari berbagai-bagai suku dan bangsa, dipanggil untuk menjadi saksi kemuliaan Allah.”
Sudah menjadi hal yang umum jika seseorang mengandalkan negara untuk memberi kita kesejahteraan, rasa aman dan nyaman. Di banyak negara, sejak kecil kita diajar untuk menyanyikan lagu kebangsaan, dan mengikuti berbagai macam aktivitas patriotism lainya. Oleh sebab itu sangat penting kita kembali kepada perkataan Rasul Paulus di Roma 12, “Janganlah menjadi serupa dengan dunia ini tetapi berubahlah dengan pembaharuan budimu, sehingga engkau mengerti kehendak-Ku, mana yang baik, berkenan dan sempurna.”
Sebagai seseorang yang lahir dan besar bukan dari tradisi Anabaptis-Mennonite, saya merasa mengalami lahir baru kembali di dalam Yesus karena selama ini saya menempatkan Institusi negara dan identitas nasional tidak pada tempatnya. Tetapi sekarang dengan kasih karunia Tuhan saya yakin bahwa apapun kewarganegarannya, identitas saya adalah warga negara surga, dan setiap orang percaya di semua bangsa adalah rekan sekerja tanpa dibatasi oleh identitas nasional dan politik. Sehingga seharusnya tidak menjadi masalah yang dibesar besarkan jika seseorang berlutut ketika lagu nasional dinyanyikan, dan disatu sisi lain seharusnya menjadi masalah besar bagi kita jika ada permasalahan terjadi di negara lain. Karena kita sebagai orang Kristen, kita adalah satu bangsa yang kudus milik Allah.
Mari terus bertahan dalam iman kita, khusunya di masa-masa yang sulit ini, saya percaya kasih karunia Tuhan tak berkesudahan, kasih, sukacita, damai sejahtera dari Tuhan lah yang akan mengobati rasa rindu kita akan kampung halaman kita, yang juga akan memenuhi kekosongan hati kita, dan yang akan meyakinkan kita akan identitas kita yang sejati, identitas kita sebagai anak-anak Allah, ahli waris Kerajaan Surga.
Saya juga berharap topik mengenai identitas nasional dan politik tidak lagi menjadi tabu untuk dibahas di gereja gereja., Saya percaya setiap suara kita berarti untuk bisa saling membangun, dan menguatkan gereja Tuhan, bangsa yang kudus yang tersebar diseluruh penjuru dunia ini.
The opinions expressed in articles posted on Mosaic’s website are those of the author and may not reflect the official policy of Mosaic Conference. Mosaic is a large conference, crossing ethnicities, geographies, generations, theologies, and politics. Each person can only speak for themselves; no one can represent “the conference.” May God give us the grace to hear what the Spirit is speaking to us through people with whom we disagree and the humility and courage to love one another even when those disagreements can’t be bridged.
This post is also available in: English (Inggris)
This post is also available in: English (Inggris)