Oleh Hendy Matahelemual
Sebagai generasi pertama orang Indonesia-Amerika di Amerika Serikat perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 77 kemarin memberi arti yang unik. Identitas bangsa serasa masih tetap melekat meski kita sudah bertahun tahun tinggal di Amerika Serikat. Mulai dari tema merah putih, budaya berpakaian, musik, makanan dan bahasa yang serasa tidak bisa ditinggalkan begitu saja dari masyarakat Indonesia di Amerika Serikat.
Namun berbeda cerita dengan generasi kedua atau bisa dibilang generasa satu setengah, dimana generasi ini terdiri dari anak anak Indonesia yang dibawa ke Amerika Serikat ketika mereka masih kecil. Banyak dari mereka masih fasih berbahasa Indonesia, namun tidak sedikit yang sudah tidak bisa berbahasa Indonesia lagi, karena bahasa pertama mereka bukan lagi bahasa Indonesia melainkan Bahasa Inggris.
Bahkan unik anak immigrant dari Indonesia yang kebetulan orang tua mereka tidak bisa atau sedikit bisa berbahasa Inggris, anak anak mereka malah bisa lebih fasih berbahasa Indonesia. Karena mau tidak mau bahasa yang dipakai dirumah adalah bahasa Indonesia, sehingga anak anak ini menjadi lebih terbiasa.
Generasi satu setengah ini hidup di dua budaya yang berbeda. Budaya Indonesia dan budaya Amerika. Budaya Indonesia kental dalam hubungan mereka di dalam keluarga dan komunitas gereja. Peran komunitas gereja sangat penting disini karena mereka memiliki fungsi kalau saya boleh menggunakan istilah tempat “pengungsian” atau tempat yang aman dimana budaya budaya Indonesia masih ada, bahkan dipelihara.
Sedangkan ketika anak anak ini berinteraksi dengan lingkungan di sekolah maka mereka akan berada di budaya Amerika. Dimana mereka belajar berkomunikasi dengan budaya Amerika. Tidak jarang konflik budaya terjadi antara kedua budaya ini. Dalam artikel saya minggu lalu saya membahas mengenai budaya iklim panas dan dingin,yang sangat penting untuk disadari.
Konflik antara kedua budaya ini jika bisa disikapi dengan baik justru akan menambah perbendaharaan cara berkomunikasi dan memperkaya budaya masing masing. Mengubah cara berpikir bahwa budaya yang berbeda bukanlah ancaman tetapi menjadi sebuah tantangan dan kesempatan untuk bertransformasi adalah sebuah langkah awal yang baik.
Namun perlu juga dicatat dan digaris bawahi bahwa budaya Amerika, memiliki pengaruh yang juga kuat untuk mengasimilasi budaya asing tanpa harus mengubah budaya aslinya sendiri. Hal inilah yang perlu diwaspadai dari budaya dominan. Oleh sebab itu hubungan perlu secara sengaja dibangun dan kesadaraan akan adanya budaya dominan perlu disikapi dengan baik.
Tanpa kesadaran akan budaya dominan, maka budaya Indonesia akan dianggap sebagai budaya inferior, lebih rendah, dan minoritas, dan budaya dominan akan dianggap sebagai budaya yang lebih superior, relevan, dan baik. Tentunya perlu juga dicatat bahwa budaya Indonesia sendiri terdiri dari berbagai macam budaya budaya dan tradisi, bukan hanya satu budaya saja dan bermacam macam.
Artikel ke 10 dari Pengakuan Iman dalam perspektif Mennonite menyatakan:
“Orang Kristen adalah orang asing dan asing dalam semua budaya. Namun gereja itu sendiri adalah bangsa Tuhan, yang mencakup orang-orang yang berasal dari setiap suku dan bangsa. Sesungguhnya, misinya adalah untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang berbeda, menciptakan satu umat manusia baru dan memberikan pratinjau tentang hari itu ketika semua bangsa akan mengalir ke gunung Tuhan dan berada dalam damai.”
Dominasi tentunya bukan kehendak dari Tuhan melainkan kehendak manusia yang ingin berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai macam cara.
Bersyukur bahwa Konferensi Mosaic memiliki visi untuk menjadi jemaat yang berkomitmen dalam keadilan rasial dan transformasi interkultural. Dan saya percaya bersama sama kita bisa menjaga harmoni dalam komunitas Mosaic yang “hancur” namun tetap Indah bersama dengan Tuhan, dipersatukan oleh darahnya sebagai saudara saudari, dari berbagai bangsa bahasa dan budaya.