by Hendy Matahelemual
Sebuah gereja meminta saya untuk berkotbah sebagai bagian dari rangkaian khotbah tentang para nabi. Pada minggu yang dijadwalkan, nabi yang diangkat adalah Yesus. Ketika saya berdoa mengenai apa yang harus dibagikan, saya merasa Roh Kudus menginginkan saya untuk berbicara tentang bagaimana memimpin seperti Tuhan Yesus. Saya terkejut. “Kalau bisa topik lain saja jangan kepemimpinan,” pikir saya.
Kepemimpinan adalah salah satu topik yang paling sulit bagi saya cukup sulit untuk dibagikan. Mungkin ini karena saya kesulitan dengan rasa percaya diri saya sendiri. Karena jujur terkadang saya merasa tidak menjadi pemimpin yang baik.
Tetapi Buku Henry Nouwen, “In the Name of Jesus: Reflections on Christian Leadership,” memberi saya semangat. Nouwen menulis bahwa seorang pemimpin cenderung untuk menjadi relevan, spektakuler, dan berkuasa. Dalam peran kepemimpinan saya, saya cenderung mencoba menjadi segalanya bagi semua orang. Terutama dalam komunitas imigran, peran seorang pastor tidak terbatas pada berkotbah dan memimpin studi Alkitab. Kami diharapkan menjadi lebih dari itu: tukang, sopir, penerjemah, penasihat hukum, agen real estat, dan hotline darurat dan informasi 24/7. Komunitas mungkin memiliki harapan yang tidak realistis. Jika kita tidak berhati-hati, kelelahan dan depresi sudah mengintai.
Ketika Yesus dicobai di padang gurun, setan mencoba membuatnya menggunakan kuasanya untuk alasan yang salah. Saya pikir setan menggunakan trik yang sama pada pemimpin hari ini. Saya telah terjebak dalam perangkap “relevansi” karena saya ingin diakui sebagai seorang pastor yang membantu orang. Ada dorongan di dalam diri saya untuk menjadi berguna bagi jemaat, konferensi, dan komunitas saya.
Tidak ada yang salah dengan membantu memenuhi kebutuhan orang. Tetapi motifnya haruslah kasih yang tulus, bukan keinginan untuk mengesankan orang lain atau mengisi kekosongan dalam hati kita. Memenuhi kebutuhan dunia mungkin memecahkan masalah segera tetapi tidak memenuhi kebutuhan manusia yang paling dalam: kasih Tuhan.
“Kasih Tuhan dapat diwujudkan melalui hubungan personal,” tulis Nouwen. “Kita hidup dalam budaya di mana segalanya diukur dari hasil, prestasi, dan angka, tetapi ada kurangnya penekanan pada hubungan, rekonsiliasi dan koneksi. Sebagai pemimpin, kita perlu menjadi tidak relevan dengan budaya ini dengan menjadi rentan sebagai individu yang juga membutuhkan kasih dari Tuhan dan perhatian dari komunitas.”
Cobaan berikutnya adalah menjadi spektakuler. Di Indonesia, saya bekerja sebagai seorang pastor di sebuah gereja besar. Kami memiliki rata-rata kehadiran lebih dari 2.000 orang dan sekitar 40 staf. Setiap tahun, kami membaptis sekitar 100 orang.
Ketika saya pindah ke Amerika Serikat, segalanya berubah. Saya menjadi pastor di sebuah jemaat kecil. Pada satu titik, kami hanya memiliki kurang dari sepuluh orang dalam ibadah Minggu kami. Saya harus bekerja dua atau bahkan tiga pekerjaan untuk mendukung pelayanan saya. Dalam tiga tahun pertama, kami membaptis tiga orang. Istri saya dan saya merasa seperti gagal. Teman-teman di tanah air bertanya mengapa kami membuang waktu dan energi kami. Mereka mengatakan kami seharusnya kembali ke Indonesia.
Kami senang kami tetap tinggal. Saya belajar banyak memimpin jemaat kecil. Jemaat melihat saya seperti apa adanya. Saya tidak bisa bersembunyi di belakang mimbar di panggung besar, di luar jangkauan. Orang lain melihat kerentanan saya dan hidup kita menjadi terkait. Jemaat melihat perjuangan kita dalam pernikahan, menjadi orang tua, dan mencari nafkah. Pada awalnya, ini tampak seperti kelemahan. Tetapi kita tumbuh untuk memahaminya sebagai berkat. Orang lain mencintai kita seperti kita.
Nouwen mengatakan seorang pemimpin membutuhkan orang sebanyak yang mereka butuhkan pemimpin. Saya mencoba tumbuh sebagai pemimpin sambil dipimpin oleh orang lain, dan memimpin seperti Yesus dengan tidak tunduk pada godaan untuk menjadi relevan, spektakuler, atau berkuasa. Saya berharap kita semua bisa belajar dari teladan Tuhan Yesus, Tuhan memberkati kita semua.
A version of this article originally appeared in Anabaptist World and is reprinted with permission.
Hendy Matahelemual
Hendy Matahelemual is the Associate Minister for Community Engagement for Mosaic Conference. Hendy Matahelemual was born and grew up in the city of Bandung, Indonesia. Hendy lives in Philadelphia with his wife Marina and their three boys, Judah, Levi and Asher.
The opinions expressed in articles posted on Mosaic’s website are those of the author and may not reflect the official policy of Mosaic Conference. Mosaic is a large conference, crossing ethnicities, geographies, generations, theologies, and politics. Each person can only speak for themselves; no one can represent “the conference.” May God give us the grace to hear what the Spirit is speaking to us through people with whom we disagree and the humility and courage to love one another even when those disagreements can’t be bridged.
This post is also available in: English (Inggris)
This post is also available in: English (Inggris)