oleh Virgo Handojo
Masa kecil saya dipenuhi dengan tradisi dan ritus kebudayaan Tionghoa yang masih berakar di hati saya. Hormatilah dan kasihilah orang tuamu, keluargamu, dan sesamamu, maka engkau akan beroleh berkat. Sayang, kenangan indah itu tidak berlangsung lama. Perubahan kebijaksanaan politik di Indonesia pada waktu itu melarang pengembangan tradisi Tionghoa, bahkan membaca karakter Mandarin pun dianggap suatu kejahatan politik. Meskipun begitu ajaran dan tradisi Tionghoa masih membekas di batin saya.
SD dan SMP merupakan tempat kedua di mana saya mengenal Tuhan. Saya dididik di sekolah Katolik. Di sini saya belajar bahwa mengikuti misa di gereja lebih penting dari pengetahuan tentang Tuhan atau belajar dari Alkitab. Setiap hari tertentu kami diwajibkan untuk ke gereja. Tidak heran, sewaktu duduk di bangku SMP saya kemudian mengikuti katekisasi selama satu tahun untuk dibaptis menjadi Katolik.
Senin sore 5 Maret di tahun 1979 memang hari biasa, namun luar biasa bagi hidup saya. Tuhan menjamah hidup saya. Tiong Gie, teman sekampung dan sepermainan mengajak saya ke sebuah persekutuan doa dimana saya mengalami kelahiran baru (Yoh 3:7-8; 2Kor.5:17). Sulit digambarkan dengan kata-kata, namun saya telah merasakan jamahan tangan Ilahi (2009: 80-81).Sejak itu saya mulai belajar mendengar dan menaati suara Tuhan dan hidup bersama dengan-Nya.
Sementara itu, Tuhan mulai memperluas pelayanan dan hubungan saya dengan orang Kristen yang lain. Lewat Keluarga Sangkakala yang dipimpin oleh Bapak Adi Sutanto dengan persekutuan doa di Kapuran 45, Semarang, Tuhan mulai melatih hidup saya bersama dengan pemuda-pemudi sebaya saya.
Secara bergiliran kami berkhotbah, menjadi penginjil keliling ke desa-desa dan kota-kota lain. Adik-adik sayapun semuanya menjadi aktivis dalam pelayanan dan memimpin persekutuan doa rumah tangga di kampung-kampung, sekolah-sekolah, dan di rumah-rumah. Melalui jaringan keluarga, pekerjaan, sekolah, dan pelayanan yayasan Sangakakala, kegerakan rohani dan persekutuan-persekutuan doa ini menyebar ke kota-kota lain seperti Kudus, Pati, Ungaran, Jogya, dll.
Lewat pelayanan-pelayanan ini saya bertumbuh baik secara rohani ataupun pengalaman dalam pelayanan. Pada waktu itu kami juga mulai merintis gereja-gereja, baik di desa maupun di kota, di dalam maupun di luar negeri. Lewat gerakan pemuda-pemudi ini bermunculan banyak yayasan misi, sinode dan gereja-gereja baru baik di dalam ataupun di luar negeri.
Saya sendiri terlibat dalam perintisan Sinode Jemaat Kristen Indonesia (Sinode JKI) yang secara teologis berafiliasi dengan gerakan Anabaptist Kharismatik. Di tahun 1986 saya ditahbiskan dan melayani di gereja Jemaat Kristen Indonesia Maranatha, Ungaran. Bersama sinode JKI kami merintis Sekolah Alkitab Maranatha yang menjadi benih dari Sekolah Tinggi Sangkakala, Salatiga.
Tahun 1987 berbekal uang $65 saya mendarat di Los Angeles untuk sekolah di Fuller Theological Seminary. Atas anugerah Tuhan saya berhasil menyelesaikan tiga Master degree di bidang Intercultural Studies, Theology, dan Leadership dan di tahun 2000 Ph.D. Marriage and Family Studies dari School of Psychology. Tahun 1989 Tuhan mempertemukan saya dan istri dengan Ibu Dina Boon dari kota Sierra Madre, CA. Kami diminta untuk membersihkan rumah Ibu Dina Boon dari kuasa-kuasa gelap. Lewat pelayanan ini lahirlah International House Fellowship di rumah Ibu Dina Boon. Akhir 1990 persekutuan keluarga ini berkembang menjadi 30-50 orang dari 10-13 macam bangsa. Lewat persekutuan ini, lahirlah Jemaat Kristen Indonesia Anugerah (JKIA) pada tanggal 19 September 1992 di gereja Free Methodist Church, Pasadena. Kebaktian Perdana di mulai hari Minggu 20 September 1992. Beberapa bulan kemudiaan gereja pindah ke Sierra Madre Congregational Church, 191 W. Sierra Madre, CA 91024.
Di San Jose Mennonite General Assembly (4 Juli, 2007) JKIA bersama dengan dua gereja Indonesian Mennonite di LA dan Philadelphia Praise Center (PPC), mendirikan Indonesian Mennonite Association (IMA). Hari ini IMA telah menjadi salah satu anggauta dari Racial Ethnic Council dari Mennonite Church USA bersama dengan African American Mennonite Association, Iglesia Menonita Hispaña, Native Mennonite Ministries, dan African Belizean Caribbean Mennonite Mission Association. Sungguh, Tuhan itu ada, ajaib, dan sangat mengasihi kita semua. Amin.
The opinions expressed in articles posted on Mosaic’s website are those of the author and may not reflect the official policy of Mosaic Conference. Mosaic is a large conference, crossing ethnicities, geographies, generations, theologies, and politics. Each person can only speak for themselves; no one can represent “the conference.” May God give us the grace to hear what the Spirit is speaking to us through people with whom we disagree and the humility and courage to love one another even when those disagreements can’t be bridged.
This post is also available in: English (Inggris)
This post is also available in: English (Inggris)