oleh Hendy Matahelemual, Indonesian Light congregation (Philadelphia, PA)
Saya ingat ketika saya masih kecil, saya ingin sekali memakai kacamata. Saya sering bermain dengan kacamata orangtua saya, memakainya, dan tentu saja saya tidak bisa melihat jelas. Orang tua saya melarang saya bermain dengan kacamata mereka. Tetapi saya merasa keren ketika memakainya. Kedua orang tua saya memakai kacamata, dan beberapa teman saya di sekolah juga ada memakai kacamata. Bagi saya Kacamata adalah sesuatu yang keren. Karena itulah saya sedikit kecewa ketika mengetahui bahwa penglihatan saya baik-baik saja, 20/20 dan saya tidak memerlukan kacamata. Hal ini tentunya terjadi sudah lama sekali.
Visi 20/20 adalah suatu istilah yang menyatakan penglihatan yang normal (kejelasan atau ketajaman dari penglihatan) diukur pada jarak 20 kaki. Oleh sebab itu ketika memasuki tahun 2020 saya cukup bersemangat karena dalam iman saya percaya Tuhan mau menyatakan “Visi yang sempurna” kepada saya, tetapi semangat itu berubah setelah terjadi pandemik. Sekarang 6 bulan telah berlalu, dan melihat visi dari Tuhan hari lepas hari tidaklah begitu mudah, atau mungkinkah yang kita perlukan sekarang adalah melihat dengan kacamata yang baru?
Apa yang menjadi visi Tuhan bagi saya di tahun 2020? Penulis Amsal berkata, “Ketika tidak ada visi maka orang binasa” (Amsal 29:18). Saya sering berdoa, “Tuhan saya ingin melihat seperti Engkau melihat, merasa seperti Engkau merasa” Terkadang saya mendapatkan pewahyuan tetapi terkadang juga tidak. Tetapi satu hal yang pasti terjadi, Tuhan selalu memberi saya kacamata yang baru, Dia selalu memperlihatkan kepada saya sudut pandang yang baru.
Tidak ada yang bisa menebak tahun 2020 akan seperti ini, pandemik, perang, kebrutalan polisi, ketidakadilan rasial, kebakaran hutan, badai, gempa bumi, krisis ekonomi dan masih banyak lagi. Tidak ada yang bisa melihat bahwa ini akan terjadi, tetapi apakah semua ini adalah hal yang baru?
Pengkhotbah 1:9 menulis, “Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” Mungkin ini benar, tidak ada sesuatu yang baru, atau mungkin alasan mengapa kita tidak bisa melihatnya adalah karena kita memilih untuk tidak melihatnya.
Setiap aspek kehidupan manusia mengalami kejatuhan. Di tengah-tengah koneksi internet cepat 5G, manusia masih tetap lambat dalam hal memaafkan dan melupakan. Kebanyakan manusia masih memilih melakukan pembalasan daripada memberikan pipi lainnya. Sepertinya keempat penunggang kuda dalam kitab wahyu sudah begitu dekat.
Teman saya berkata, di saat-saat ini dia bisa lebih mengerti mengenai ungkapan “ketidaktahuan adalah kebahagiaan”. Akan lebih mudah bagi kita untuk mengenakan kacamata kenyamanan kita daripada menggunakan kacamata kenyataan yang memperlihatkan kekacauan ini. Tuhan ingin kita memiliki “Visi yang sempurna” ini, melihat dunia sebagai sebuah kekacauan besar, kekacauan yang hanya bisa Tuhan Yesus sembuhkan (baik dalam Roh maupun melalui kedatangan-Nya yang kedua kali). Seperti perkataan teman saya, “There is no Messiah without a mess”.
Melihat dengan kacamata yang baru artinya kita melihat realita sebagaimana adanya, menerima sepenuhnya rasa sakit, rasa takut, pergumulan, dan penderitaan seutuhnya sebelum menyerahkannya kepada Tuhan. Terkadang melihat dengan “Visi yang sempurna” artinya kita melihat dengan penglihatan yang kabur dan tidak jelas, karena ada air mata. Air mata ini menetes karena pada akhirnya kita merasakan rasa sakit, pergumulan dan perjuangan di dalam kemanusiaan kita. Terkadang melihat dengan kacamata yang baru adalah melihat dengan mata yang bersedih. Seperti Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang berdukacita karena mereka akan dihibur.” (Matius 5:4)
The opinions expressed in articles posted on Mosaic’s website are those of the author and may not reflect the official policy of Mosaic Conference. Mosaic is a large conference, crossing ethnicities, geographies, generations, theologies, and politics. Each person can only speak for themselves; no one can represent “the conference.” May God give us the grace to hear what the Spirit is speaking to us through people with whom we disagree and the humility and courage to love one another even when those disagreements can’t be bridged.
This post is also available in: English (Inggris)
This post is also available in: English (Inggris)