Selalu akan ada hal baru yang kita pelajari ketika kita mengambil bagian dalam pekerjaan rekonsiliasi yang Tuhan Yesus kerjakan. Salah satu hal yang baru saya pelajari yang erat kaitanya dengan rekonsiliasi adalah adalah Praktek Pengakuan tanah, atau “Land Acknowledgment”.
Pengakuan Tanah atau Land Acknoledgment adalah sebuah praktek memberikan pernyataan formal yang mengakui dan menghormati penduduk asli yang terlebih dahulu memelihara tanah ditempat dimana kita berada dan juga hubungan yang tetap ada antara penduduk asli dan tanah tersebut.
Praktek ini menjadi suatu hal yang dilakukan ketika terjadi kesadaran baru di Amerika Serikat mengenai penindasan sistemik, anti-rasisme, dan supremasi kulit putih terhadap penduduk asli dan orang kulit berwarna. Meski bersifat simbolik tetapi ini sangat membantu kesadaran khususnya mengenai sejarah penindasan dan dominasi yang perlu diingat dan tidak boleh dilupakan agar supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang.
Ketika saya menulis artikel ini, saya sedang berada di kota Philadelphia, PA yang merupakan tanah yang dimiliki dan dipelihara oleh suku Lenni Lenape sebelum pendatang dari Eropa menduduki wilayah ini dan memaksa suku Lenape untuk keluar dari wilayahnya. Suku Lenni Lenape adalah satu dari 574 suku, penduduk asli Amerika, yang menduduki wilayah yang sekarang adalah negara bagian Pennsylvania Timur, New Jersey, Delaware, dan New York.
Konflik perebutan tanah antara pendatang dan penduduk asli bukanlah yang baru dan bahkan masih terjadi sampai dengan saat ini di berbagai belahan dunia. Yang memiliki kekuatan lebih besar biasanya akan menyingkirkan yang paling lemah.
Pengakuan tanah penting supaya kita bisa menyadari bahwa konflik dan krisis terkadang tidak terlihat dan tersembunyi dibalik budaya, norma, dan kekuasaan yang sedang berjalan. Dan menyadari bahwa ada “dosa”, “krisis” dan “konflik” yang perlu didamaikan dan diselesaikan secara tuntas, dimana kecenderungan yang ada adalah untuk melupakan dan menutup nutupi. Luka jika belum kering ditutupi akan menjadi borok, dan inilah yang menjadi akar permasalahan yang ada di masa datang.
Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus menulis,” Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. (2 Korintus 5:18)
Sebagai agen perdamaian pengakuan akan penderitaan yang seseorang / kelompok / budaya alami adalah sebuah langkah awal dari perjalanan transformasi bersama sama. Pengakuan tanah adalah salah satunya, mengakui bahwa pada suatu masa di dalam sejarah terjadi penindasan, pencurian, dominasi yang terjadi oleh pendatang terhadap penduduk asli.
Tanpa pengakuan “dosa” (baik dosa pribadi, kelompok) pertobatan tidak akan terjadi. Mari menyadari bahwa kita adalah bagian dari sistem dunia yang penuh dengan dosa, dan hanya dengan pengakuan, pertobatan, dan penebusan Yesus dikayu saliblah rekonsiliasi bisa terjadi.
Sebagai bagian dari komunitas pendatang di Amerika Serikat pemahaman mengenai pengakuan ini menjadi suatu cermin bagi kita, bagaimana menjadi agen perdamaian dalam menghadapi konflik dan krisis yang terjadi di tanah ini dimana antar budaya / kelompok saling bergesekan satu sama lain. Berita baiknya adalah, Tuhan ada bersama sama dengan kita, Tuhan panggil kita menjadi pembawa damai, dan Bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Tuhan Yesus memberkati.
The opinions expressed in articles posted on Mosaic’s website are those of the author and may not reflect the official policy of Mosaic Conference. Mosaic is a large conference, crossing ethnicities, geographies, generations, theologies, and politics. Each person can only speak for themselves; no one can represent “the conference.” May God give us the grace to hear what the Spirit is speaking to us through people with whom we disagree and the humility and courage to love one another even when those disagreements can’t be bridged.