oleh Hendy Matahelemual
Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”
1 Samuel 16:7
Dalam “the State of Pastors 2024 Summit” yang diadakan oleh Barna Group, Pastor Gabriel Salguero dari Orlando, FL mengatakan, “Salah satu hal penting yang perlu dipisahkan adalah antara citra dan karakter. Terkadang, tanpa disadari, kita mengajarkan orang untuk membangun citra.”
Beliau menambahkan, “Banyak orang lebih terampil dalam membangun citra dan membuat konten daripada fokus pada pembentukan karakter serta memberikan makanan rohani dan moral kepada jiwa.”
Perkembangan teknologi membuat semua orang bisa mengakses internet. Baik menjadi konsumen maupun menjadi pembuat konten. Dalam bidang pelayanan, fenomena ini membuat lebih banyak lagi orang yang terekspos pelayanannya, dan secara sengaja maupun tidak sengaja membuat orang tersebut menjadi “artis Rohani”. Dan inilah dimana karakter benar-benar menjadi sangat diuji.
Tidak sedikit “artis Rohani” mengalami burnout dan akhirnya kehilangan dirinya dalam pelayanannya. Karena ada fokus yang bergeser, dari menyenangkan Tuhan menjadi menyenangkan massa.
Tetapi marilah kita semua menjadi pemimpin yang berfokus membangun karakter, bukan citra. Karena integritas, kebaikan, dan ketangguhan kita dalam menghadapi pencobaan dan tantangan inilah yang akan membentuk diri kita jauh daripada tampilan luar kita.
Demikian juga kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan.
MATIUS 23:28
Sebagai seorang pelayan Tuhan, saya menyadari perangkap tampilan luar ini, kita harus terus memperbaiki, memperhatikan dan memperbarui apa yang ada di dalam hati sama dengan kita memperbarui social media kita.
Dalam buku, “Strengthening the Soul of Your Leadership”, Ruth Haley Barton, mengambil cerita model kepemimpinan Musa dimana Musa mengambil keputusan untuk pergi melarikan diri, menyendiri dan mendapatkan ketenangan.
Setelah pergi meninggalkan Mesir, ia ditemukan ada di tepi sumur (Kel 2:15). Sumur sudah lama dikenal sebagai metafora jiwa manusia. Tidak heran banyak orang merasa sedikit takut jika melihat sumur. Mungkin ada bagian dari diri kita yang berusaha untuk ditutupi sebisa mungkin. Namun dalam cerita Musa, Ia tidak lagi bisa lari dari dirinya sendiri, Ia memilih untuk berdamai, berdamai dengan trauma-trauma masa lalunya. Musa belajar menerima dirinya sebagaimana dia adanya.
Musa tidak menambahkan citra-citra lain, tetapi melucuti segala “identitas” yang bukan miliknya, ia adalah seorang Ibrani. Ia berdamai dengan identitas dirinya.
Menemukan ketenangan sejati dimulai dengan mengakui kerentanan dan sisi gelap kita. Itulah cara kita membuka diri untuk membiarkan kasih Yesus menyembuhkan kita dari dalam.
Sebagai seorang pelayan Tuhan yang pernah bergumul dengan depresi, saya menyadari bahwa ekspektasi dunia membuat kita mudah lelah, ketika standar pelayanan mulai berfokus pada performa dan citra.
Firman Tuhan begitu jelas berkata, “Apa untungnya bagi seseorang, kalau seluruh dunia ini menjadi miliknya tetapi ia kehilangan hidupnya? – Matius 16:26”
Saya menyadari bahwa untuk pulih saya harus berdamai dengan diri saya sendiri, menjadi diri saya apa adanya, tidak perlu harus menjaga citra dan berusaha untuk menyenangkan semua orang.
Menjadi pribadi yang tertanam di dalam komunitas gereja yang mau menerima kita apa adanya, tertanam dalam Firman Tuhan adalah jalan menuju perubahan dan harapan.
Ada sebuah lagu yang saya rasa bisa juga menjadi sebuah renungan dan doa bagi kita:
Selidiki aku lihat hatiku Apakah ku sungguh mengasihi-Mu Yesus
JPCC WORSHIP
Kau yang maha tau Dan menilai hidupku Tak ada yang tersembunyi bagi-Mu
Telah kulihat kebaikanMuYang tak pernah habis dihidupku
Ku berjuang sampai akhirnyaKau dapati aku tetap setia
Ini menjadi perenungan dan koreksi pribadi saya, bahwa dalam melayani menyenangkan Tuhan adalah hal yang pertama dan utama daripada menyenangkan dan memenuhi ekspektasi orang dan pelayanan, yang terkadang tidak realistis.
Menyadari bahwa diri kita memiliki kemampuan yang terbatas, membuat kita menyadari kasih karunia Tuhan dan kuasa-Nya yang tanpa batas. Inilah yang membuat kita semakin tertanam didalam Tuhan.
Daripada kawatir akan produktivitas, marilah belajar seperti Maria yang duduk diam di kaki Yesus, dimana dia telah memilih bagian yang terbaik dalam pelayanan. Berdiam di kaki Yesus.
Kapan terakhir kali dalam kesibukan pelayanan dan pekerjaan kita sehari hari kita berdiam di kaki Yesus, tenang dan tidak melakukan apapun selain mensyukuri dan merenungkan kebaikkan Tuhan.
Di masa prapaskah ini mari mengambil waktu yang biasa kita gunakan untuk bermain social media, handphone, membaca berita dan lain sebagainya dan menggantinya dengan mengambil saat teduh dan merenungkan Firman Tuhan.
Saya percaya bahwa dalam saat teduh kita, Tuhan akan menyegarkan kita dengan Firman dan Roh-Nya, yang akan melucuti gambaran palsu yang membebani kita semua, sehingga kita bisa beroleh istirahat yang sejati di dalam-Nya. Tuhan Yesus memberkati.
The opinions expressed in articles posted on Mosaic’s website are those of the author and may not reflect the official policy of Mosaic Conference. Mosaic is a large conference, crossing ethnicities, geographies, generations, theologies, and politics. Each person can only speak for themselves; no one can represent “the conference.” May God give us the grace to hear what the Spirit is speaking to us through people with whom we disagree and the humility and courage to love one another even when those disagreements can’t be bridged.