Kasih adalah inti dari ajaran Tuhan Yesus, Kekristenan adalah bagaimana kita mengasihi sesama kita dan juga mengasihi Tuhan. Dan tentunya ini semua bisa terjadi jika kita menyadari betapa besar kasih Tuhan terhadap kehidupan kita pribadi lepas pribadi. Kesadaran akan kasih Tuhan merupakan sebuah pemulihan tersendiri.
Rasul Paulus dalam kitab Efesus berdoa, “…supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah. “ (Efesus 3:19-20) Kita mengasihi bukan karena keharusan, tetapi kita mengasihi karena kita menyadari bahwa sebagai pengikut Yesus, kita terlebih dahulu telah dikasihi-Nya.
Kasih adalah sebuah gaya hidup kerajaan Allah. Dalam bahasa Indonesia, kata kasih itu sendiri identik dengan kata memberi. Seperti sebuah kutipan yang berkata, “Kamu bisa memberi tanpa mengasihi, tetapi kamu tidak bisa mengasihi tanpa memberi”, Kita bisa memberi banyak hal, perhatian, waktu, barang, uang, atau bahkan kepercayaan. Kasih adalah sebuah kata kerja dimana ada sebuah aktifitas memberi yang terjadi.
Tetapi perlu diingat pula bahwa menerima juga adalah bagian daripada kasih, karena menerima adalah bagian dari iman dan kepercayaan kita. Dalam bahasa jawa, kita mengenal kata “nrimo”, yang jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, adalah menerima apa adanya, tanpa protes, tanpa mengeluh ataupun menuntut.
Kekristenan kita, ibadah kita kepada Tuhan haruslah seimbang antara memberi dan menerima. Jika kita hanya datang ke gereja saja untuk menerima tanpa memberi apapun, maka pertumbuhan iman kita tidak akan sempurna, sama sebaliknya jika kita begitu sibuk dalam kegiatan gereja tanpa melihat bahwa sebenarnya hati kita begitu kosong akan kasih Tuhan. Dan dalam tingkatan komunitas, dalam hal ini Gereja, kita harus terus menerus belajar mengenai arti kasih yang sebenarnya sesuai dengan konteks kehidupan kita hari-hari ini.
Sebuah penelitian yang diadakan oleh Prof. Virgo Handojo, Phd, Guru besar Fakultas Psikologi California Baptist University, menemukan bahwa sebagian besar kegiatan gereja ternyata tidak ada korelasinya dengan kebahagiaan atau kesehatan mental individu. Penelitian ini juga membuktikan cinta terhadap diri sendiri (self-love) sangat membantu kebahagiaan dalam bekerja dan keluarga.
Mengutip dari penelitian beliau, “Model diri aman yang positif seperti yang dijelaskan dalam model “Kasihilah … tetanggamu sebagai dirimu sendiri” (King James Bible, 2017, Lukas 10:27), memiliki kekuatan prediksi yang kuat pada setidaknya dua jenis kesejahteraan, emosional dan eudaimonic. Temuan ini menyiratkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, komunitas Kristen di Indonesia harus mempertimbangkan untuk menambahkan komponen pendidikan sosial dan psikologis sebagai bagian dari pelayanan mereka di samping kegiatan rutin gereja mereka.”
Saya rasa baik sebagai individu maupun komunitas gereja kita perlu untuk terus menerus belajar mengenai kasih, karena kasih lebih dalam dan kompleks daripada sekedar sentimentalitas. Rasul Paulus berkata, Tanpa kasih, ibadah kita menjadi sia sia , tetapi dengan kasih kita bisa menanggung segala sesuatu.
Oleh sebab itu pada kesempatan ini saya mau menginformasikan sebuah webinar berjudul “LOVE, RELIGIOSITY & HAPPINESS, dimana Prof. Virgo Handojo, Phd, yang juga merupakan gembala dari gereja JKI Anugerah, di Sierra Madre, California akan berbagi. Acara ini diselenggarakan pada hari Jumat, 09 Juli pkl. 19.00-21.30 Waktu Indonesia bagian Barat. Tuhan Yesus memberkati kita semua.
The opinions expressed in articles posted on Mosaic’s website are those of the author and may not reflect the official policy of Mosaic Conference. Mosaic is a large conference, crossing ethnicities, geographies, generations, theologies, and politics. Each person can only speak for themselves; no one can represent “the conference.” May God give us the grace to hear what the Spirit is speaking to us through people with whom we disagree and the humility and courage to love one another even when those disagreements can’t be bridged.