Kata transformasi merupakan kata yang sering sekali saya dengar. Tetapi pertanyaan muncul ketika pertama kali saya mendengar kata interkultural. Apa yang membedakan interkultural dengan multikultural? Apakah ini hal yang serupa? Sering juga saya mendengar kata cross-cultural apa yang membedakan ketiga hal ini?
Berdasarkan definisi dari Spring Institute, Interkultural menggambarkan sebuah komunitas dimana ada pemahaman dan rasa hormat yang mendalam terhadap semua budaya. Fokus dalam komunikasi interkultural adalah terjadinya sebuah pertukaran ide, norma budaya, dan dibangunnya hubungan yang mendalam. Dalam komunitas Interkultural tidak ada yang tidak berubah karena masing masing saling bertumbuh dan belajar dari satu dengan yang lain.
Dalam komunitas multikultural / masyarakat plural, keanekaragaman terlihat dalam masyarakat, tetapi tidak berarti terjadinya hubungan yang mendalam antara budaya yang berbeda. Sedangkan istilah cross-cultural / lintas budaya berbicara mengenai perbandingan antar budaya, dimana budaya dihargai dan dimengerti. Tetapi dalam cross-cultural ada sebuah budaya yang telah dijadikan norma, dan setiap budaya lain dibandingkan secara kontras dengan budaya dominan yang ada.
Dalam masyarakat plural kesatuan dijaga dengan toleransi, dalam cross-cultural transformasi terjadi secara individu dan bukan secara kolektif, tetapi dalam komunitas interkultural transformasi terjadi secara bersama-sama.
Interkultural adalah salah satu dari nilai utama yang dimiliki oleh Konferensi Mennonite Mosaic. Kami percaya bahwa sebagai manusia yang diciptakan segambar dengan Tuhan, kita diberi pengetahuan, memiliki, dan menghargai perbedaan budaya. Hal ini mengijinkan diri kita untuk berubah dengan membangun hubungan lewat perbedaan kebudayaan yang sejalan dengan pekerjaan memperjuangkan keadilan rasial.
Separuh dari pekerjaan membangun komunitas interkultural adalah dengan membangun komunitas yang anti-rasis. Karena tidak mungkin adanya transformasi bersama ketika masih ada salah satu budaya dominan yang dijadikan norma. Budaya lain akan dianggap lebih inferior dan minoritas akan kembali menjadi pihak yang harus beradaptasi ketika berhadapan dengan budaya dominan. Budaya dominan harus bisa dilucuti dan budaya minoritas harus bisa diakomodir, sehingga masyarakat yang eksklusif bisa bergerak menjadi masyarakat yang inklusif.
Hal ini diperlukan usaha yang sengaja atau intensional dari setiap kita, karena tanpa kesengajaan dan usaha kita hanya akan mengikuti norma dominan yang ada disekitar kita. Meski perjuangan keadilan rasial dan anti rasisme bukan merupakan hal yang baru, tidak bisa dipungkiri bahwa pandemi 2020, membawa kesadaran baru akan realita masyarakat yang perlu mengalami transformasi.
Ibarat ulat yang sedang masuk kedalam kepompong, begitu pula kita semua yang sudah memiliki kesadaran akan pentingnya membangun masyarakat interkultural dan anti-rasis. Dengan tujuan yang indah dimana setiap ekspresi budaya terwujud dan saling membangun satu dengan yang lain. Kelak kepompong akan menjadi kupu kupu yang indah ketika transformasi bersama terjadi.
Martin Luther King Jr, pernah berkata waktu dimana masyarakat Amerika Serikat dipisahkan berdasarkan ras dan etnik adalah jam 11 hari minggu pagi. Dan ini adalah waktu dimana biasanya ibadah gereja berlangsung. Ini adalah realita yang kita hadapi sebagai bagian dari tubuh Kristus. Kesadaran dan berita baik perlu untuk diberitakan bahwa dengan keanekaragaman dan hubungan mendalam kita bisa mengalami perubahan baik secara individu maupun secara kolektif.
Sehingga kelak visi dari Wahyu 7:9 dapat terwujud di dalam komunitas gereja Tuhan. Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru: “Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!”
Mari kita membangun komunitas Interkultural di dalam gereja kita masing masing, dimulai dari hubungan antar individu-individu. Jangan berhenti belajar termasuk mempelajari budaya lain, juga jangan menjadikan keterbatasan bahasa sebagai alasan karena ada banyak cara komunikasi dan hubungan yang dalam bisa terjadi. Mari hancurkan prasangka dan stereotip dengan hubungan personal yang dalam. Saya percaya bahwa transformasi bersama dalam komunitas interkultural bukan hanya membawa perubahan tetapi juga membawa pemulihan bagi setiap kita dan masing masing budaya yang ada.
The opinions expressed in articles posted on Mosaic’s website are those of the author and may not reflect the official policy of Mosaic Conference. Mosaic is a large conference, crossing ethnicities, geographies, generations, theologies, and politics. Each person can only speak for themselves; no one can represent “the conference.” May God give us the grace to hear what the Spirit is speaking to us through people with whom we disagree and the humility and courage to love one another even when those disagreements can’t be bridged.