By Hendy Matahelemual
Dibesarkan di dalam sebuah keluarga Kristen di Indonesia, negara mayoritas Muslim, sangat jarang saya melihat dekorasi Natal di luar rumah kecuali di gereja. Tapi pada waktu itu kami selalu tahu di mana kami bisa menemukan pajangan Natal. Di sebuah dealer mobil di sebuat sudut kota. Pemiliknya pasti orang Kristen.
Setiap tahun pada akhir November, saya dan keluarga saya sangat bersemangat untuk mengetahui pameran Natal seperti apa yang akan dipasang oleh pemilik dealer tersebut: Sinterklas dan kereta luncurnya, manusia salju, kandang Natal. Setiap tahun pasti berbeda.
Mereka juga memasang lampu warna-warni, jadi pada malam hari sangat indah untuk dilihat – dekorasi Natal yang sakral dan sekuler, termasuk simbol musim dingin dan salju, di iklim tropis. Tidak pernah turun salju di Indonesia!
Seiring berlalunya waktu, dealer mobil tersebut pun pindah dan tidak ada lagi pameran Natal di sudut itu. Tetapi lampu warna-warni dan manusia salju akan bertahan selamanya dalam kenangan masa kecil Natal saya.
Kurang puas dengan gambaran mental dari ingatan, saya membuka Google Maps untuk melihat seperti apa sudut Bandung itu sekarang. Ketika saya menggulir sekeliling, sesuatu muncul. Saya menyadari bahwa tepat di seberang jalan berdiri salah satu Masjid Agung di kota itu.
Sebagai seorang anak, saya tidak pernah memperhatikan bahwa ada sebuah masjid disitu. Tidak pernah menjadi suatu yang berarti. Tetapi sekarang berbeda, hal tersebut menjadi berarti.
Sebagai pengikut Yesus, kita perlu mengubah sikap kita terhadap orang yang berbeda keyakinan.
Dalam pelayanannya, Yesus berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang: orang Romawi yang percaya pada banyak tuhan, orang Kanaan yang menyembah Baal, orang Samaria yang menyembah Yahweh di Gunung Gerizim daripada di Kuil di Yerusalem.
Yesus tidak berusaha meyakinkan orang untuk bergabung dengan agamanya. Dia menyembuhkan orang sakit, membebaskan orang yang ditindas setan, mengatakan kepada orang-orang untuk memberi tahu orang lain apa yang telah Tuhan lakukan bagi mereka, memuji orang-orang karena iman mereka dan mengumumkan bahwa mereka akan berpesta di surga bersama para nabi.
Yesus hanya mengasihi mereka, memuji kebaikan dalam diri mereka dan menjawab pertanyaan yang mereka ajukan — terkadang dengan mengarahkan mereka untuk menemukan jawaban bagi diri mereka sendiri.
Mesach Krisetya, seorang pemimpin Mennonite Indonesia yang meninggal awal tahun ini, mengatakan misionaris Kristen di Indonesia sering melakukan strategi penaklukan. Adalah umum bagi orang Kristen untuk merasa terancam oleh Islam dan bagi orang Muslim untuk merasa tersinggung oleh kekuatan kolonial, politik dan arogansi budaya sebelumnya. Krisetya mendesak kepekaan pluralis, sadar bahwa baik Muslim maupun Kristen tidak kehilangan identitas melalui pertukaran yang hati-hati.
Baru-baru ini kami mengundang seorang rabi Yahudi untuk berbicara di rapat staf Konferensi Mosaic Mennonite kami. Jemaatnya hanya berjarak dua blok dari jemaat saya di Philadelphia Selatan.
Kami mengundangnya untuk membagikan pengetahuannya tentang chesed, kata Ibrani yang berarti kasih setia Tuhan. Itu adalah tema pertemuan konferensi kami tahun ini. Chesed setara dengan agape Yunani.
Saat dia menjelaskan tentang kasih Tuhan dan praktik chesed, saya kagum dengan wawasannya tentang Perjanjian Lama. Dia mengundang kami ke makan malam Shabbat mereka, yang sangat ingin saya alami.
Selama Adven tahun ini, saya akan mencoba untuk menyadari lingkungan saya. Saya akan berusaha menemukan Tuhan dalam diri orang lain dan dalam setiap sudut hidup saya. Aku akan mencoba untuk mencintai bahkan ketika itu menyakitkan. Saya akan mencoba memberikan rahmat kepada semua orang, terlepas dari tindakan, keyakinan, status, politik, atau kebangsaan mereka.
Pujilah TUHAN, hai segala bangsa, megahkanlah Dia, hai segala suku bangsa! Sebab kasih-Nya hebat atas kita, dan kesetiaan TUHAN untuk selama-lamanya. Haleluya! (Mazmur 117)
Saya percaya satu hal yang mempersatukan kita sebagai -manusia: kasih Allah yang tetap, teguh, dan setia.
Mari kita tunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah pengikut Yesus bukan dengan berapa banyak dekorasi Natal yang kita pasang tetapi dengan seberapa besar kita mencintai orang asing maupun teman.
Editor’s note: This article originally appeared in Anabaptist World on Nov. 18 and is used here by permission. To read the original article, please click here.
Hendy Matahelemual
Hendy Matahelemual is the Associate Minister for Community Engagement for Mosaic Conference. Hendy Matahelemual was born and grew up in the city of Bandung, Indonesia. Hendy lives in Philadelphia with his wife Marina and their three boys, Judah, Levi and Asher.
The opinions expressed in articles posted on Mosaic’s website are those of the author and may not reflect the official policy of Mosaic Conference. Mosaic is a large conference, crossing ethnicities, geographies, generations, theologies, and politics. Each person can only speak for themselves; no one can represent “the conference.” May God give us the grace to hear what the Spirit is speaking to us through people with whom we disagree and the humility and courage to love one another even when those disagreements can’t be bridged.
This post is also available in: English (Inggris)
This post is also available in: English (Inggris)